Tragedi
Mei dan Hak Minoritas
Mimin Dwi Hartono ; Staf
Senior Komnas HAM; Tulisan ini
pendapat pribadi
|
DETIKNEWS, 12 Mei 2017
Setiap 13-15
Mei, memori bangsa kembali diingatkan oleh sebuah peristiwa yang menistakan
kemanusiaan dan keadilan, yaitu Tragedi Mei.
Tragedi Mei
adalah peristiwa kerusuhan massal yang terjadi pada 1998, ketika amukan massa
pecah di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya seperti Solo dan Medan yang
mengakibatkan kerusakan masif, dan diduga menelan ribuan korban.
erkas penyelidikan
dugaan pelanggaran HAM berat dalam Tragedi Mei oleh Komnas HAM telah
diserahkan ke Kejaksaan Agung sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, seolah
ada keenganan dari negara untuk menuntaskan kasus yang diantaranya
mengorbankan hak-hak etnis minoritas China itu.
Penyelidikan
Komnas HAM berdasarkan mandat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM, adalah tidak lanjut dari rekomendasi Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 23 Juli 1998 oleh Presiden BJ
Habibie.
Berdasarkan
temuan TGPF, Tragedi Mei diduga mengakibatkan lebih dari seribu orang
meninggal akibat terjebak dalam bangunan yang dibakar, ratusan orang
luka-luka, penculikan terhadap beberapa orang, pemerkosaan atau pelecehan
seksual terhadap perempuan yang sebagian besar dari minoritas etnis tertentu
khususnya China, serta pembakaran ribuan bangunan.
Di masa
kepemimpinan Presiden Joko Widodo sebenarnya masyarakat, khususnya korban,
berharap ada titik terang atas penyelesaian Tragedi Mei oleh karena ia adalah
presiden dari kalangan sipil. Namun, harapan itu tampaknya harus disimpan
dulu karena pemerintahan saat ini diduga tersandera oleh kepentingan dan
tarik menarik politik kekuasaan.
Sistematis dan Terencana
Tragedi Mei
diduga adalah gerakan sistematis dan terencana untuk membuat kacau situasi
ibukota negara dan kota-kota besar lainnya di tengah situasi pemerintahan
yang tidak stabil kala itu. Ada pihak yang tidak rela dengan terjadinya
proses transisi kekuasaan dari Presiden Soeharto yang kemudian menyatakan
mengundurkan diri akibat tekanan masyarakat dan gerakan moral mahasiswa pada
21 Mei 1998.
Gerakan
sistematis dan terencana itu diantaranya menarget kaum perempuan minoritas
keturunan China untuk menciptakan kekacauan dan kepanikan serta menimbulkan
kebencian etnis. Akibatnya, terjadi gelombang eksodus kelompok minoritas
etnis China ke luar negeri demi mencari perlindungan dan keamanan baik jiwa
maupun hartanya.
Dalam
peristiwa itu, ada upaya untuk mengalihkan isu perebutan kekuasaan dan
politik menjadi isu SARA karena selama ini minoritas etnis China menguasai
perekonomian nasional. Dengan menjadikan mereka sebagai target sasaran, maka
ada upaya membenturkan dan menciptakan konflik antarmasyarakat khususnya
terhadap etnis China sehingga bisa mengaburkan masalah yang sebenarnya.
Kesadaran Kolektif
Sejak
peristiwa Tragedi Mei, secara berangsur-angsur muncul kesadaran kolektif
bangsa untuk menghormati dan melindungi hak-hak kelompok minoritas, supaya
memiliki kesetaraan hak dengan kelompok mayoritas. Serta, demi meleburnya
ekslusivitas etnis China ke dalam kehidupan keseharian masyarakat di berbagai
bidang.
Hak-hak
kelompok minoritas mulai mendapatkan perhatian dan pengakuan dari negara.
Dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, agama Khonghucu diakui
sebagai agama resmi oleh negara. Jaminan atas kebebasan beribadah dan
menjalankan keyakinan juga dipenuhi oleh negara. Hari Raya Imlek ditetapkan
sebagai hari libur nasional untuk menghormati umat yang merayakan.
Pada ranah hak
untuk berkumpul dan berserikat, banyak muncul organisasi-organisasi sebagai
bentuk eksistensi minoritas etnis China. Organisasi ini tidak hanya bergerak
di bidang kemasyarakatan, agama, pendidikan, kesehatan, namun juga partai
politik.
Minoritas
etnis China mendapatkan haknya untuk berpendapat, berekspresi, dan
memilih/dipilih sebagai pejabat publik. Hal ini misalnya terjadi pada Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok, yang karier politiknya melesat dari jabatan
sebagai Bupati Belitung Timur, Wakil Gubernur DKI Jakarta hingga Gubernur DKI
Jakarta.
Namun, dari
sisi keadilan hukum, mereka masih harus berjuang mendapatkan haknya,
khususnya sebagai minoritas etnis yang menjadi korban dalam Tragedi Mei.
Apalagi dengan kasus yang menimpa Ahok yang divonis penjara dua tahun dan langsung
ditahan karena divonis bersalah menista agama.
Dalam konteks
pemenuhan dan perlindungan hak atas keadilan dan persamaan hukum ini,
kelompok minoritas etnis/agama masih harus berjuang keras supaya negara tidak
ragu menjalankan mandatnya melindungi seluruh masyarakat Indonesia tanpa
kecuali sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi.
Sembilan belas
tahun Tragedi Mei telah mengubah wajah bangsa ini menjadi lebih akomodatif
terhadap pemenuhan hak-hak kelompok minoritas di berbagai bidang. Namun, hak
mereka atas keadilan dan kebenaran dalam Tragedi Mei masih harus ditagih ke
negara supaya tidak menjadi utang bangsa yang mewaris dan menahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar