Mukjizat
Indonesia
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI)
|
KOMPAS, 30 Mei 2017
Hampir setahun terakhir, kian banyak kalangan—baik elite
maupun warga biasa—di Tanah Air mencemaskan masa depan Indonesia. Pemilihan
Kepala Daerah DKI Jakarta penuh ketegangan berwarna religio-politik komunal
menciptakan friksi dan pembelahan ketat (watertight split) di antara para
pemilih. Sementara itu, ancaman kekerasan yang dilakukan kelompok teroris
juga belum berakhir. Bom bunuh diri di Kampung Melayu (24 Mei 2017) yang
menewaskan tiga polisi muda—yang semuanya Muslim—beserta kedua pengebom bunuh
diri (suicide bombers) yang beragama sama.
Entah apa yang ada dalam pikiran dan hati kedua pengebom
bunuh diri beserta sel teroristiknya. Aksi bunuh diri yang menewaskan ketiga
anggota Polri itu dan melukai banyak orang lain jelas bukan jihad. Aksi bunuh
diri berujung pada dosa ganda: dosa membunuh diri sendiri dan dosa membunuh
orang lain.
Seiring puasa Ramadhan 1438 Hijriah, kaum Muslim tidak
hanya menahan diri dari makan minum dan berhubungan suami-istri sejak terbit
fajar hingga tenggelam matahari, juga diharapkan mampu mengendalikan hawa
nafsu lain, khususnya kemarahan dan angkara murka. Namun, tidak ada jaminan
di masa setelah puasa nanti, nafsu angkara murka lenyap dalam religio-politik
komunal dan aksi kekerasan. Karena itu, kewaspadaan dan ketahanan warga perlu
terus ditingkatkan.
Kecemasan terhadap masa depan Indonesia juga meningkat di
luar negeri, baik di kalangan pemerintahan, LSM, maupun aktivis. Meskipun
persepsi mereka sering tipikal bias yang terkerangka sejak lama, kekhawatiran
mereka perlu dipertimbangkan.
Banyak negara Eropa cenderung memersepsikan Indonesia atas
dasar pengalaman historis panjang dengan konflik panjang berdarah-darah di
antara negara-negara Eropa sendiri. Benua ini sebelum akhir Perang Dunia II
relatif homogen secara ras dan etnis (Kaukasian atau kulit putih) dan agama
(Kristianitas) akhirnya terbelah menjadi banyak (sekitar 52) negara besar
kecil.
Oleh karena itulah mereka mencemaskan Indonesia yang sejak
zaman ”antah-berantah” telah heterogen dari segi ras, etnis, agama, budaya,
tradisi, bahasa, dan stratifikasi sosial. Bagi mereka, semua keragaman dan
perbedaan ini pernah dan terus dapat menjadi liabilitas (sebenarnya sekaligus
menjadi aset dan potensi) Indonesia untuk terpecah belah.
Dalam konteks itu administratur dan penulis Inggris, JS
Furnivall, dalam karya klasiknya, Netherlands India: A Study of Plural
Economy (1939), mengajukan skenario kiamat (doomed scenario) bagi Hindia Belanda (Indonesia). Ia berargumen,
jika Belanda tidak dapat (kembali) berkuasa di Hindia Belanda, negara ini
bakal terpecah belah karena dalam pluralitasnya yang luar biasa, tidak ada
satu faktor pun yang dapat mempersatukan.
Skenario kelam tentang Indonesia juga berkembang di
kalangan Indonesianis ketika Indonesia mengalami transisi dari
otoritarianisme menjadi demokrasi pada 1997-1998 dan selanjutnya. Krisis ekonomi,
politik, dan sosial seputar masa kini, mereka pandang bakal menjerumuskan
Indonesia ke dalam Balkanisasi. Dalam skenario Balkanisasi, Indonesia bakal
pecah berkeping-keping seperti negara-negara Semenanjung Balkan dalam
transisi demokrasi di awal 1990-an.
Skenario Balkanisasi ini terus bertahan sampai sekarang
karena adanya gerakan separatis di Papua dan berbagai kelompok Muslim yang
aktif berusaha menciptakan negara Islam (dawlah Islamiyah) atau khilafah.
Kelompok ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dan mayoritas absolut
warga yang berkomitmen pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal
Ika.
Oleh sebab itu, Indonesia bersatu, khususnya sejak Perang
Dunia II sampai sekarang, dianggap kalangan Indonesianis sebagai keajaiban
atau mukjizat. Meski Indonesia pernah mengalami krisis politik, ekonomi, dan
sosial (pascaproklamasi kemerdekaan 1945; gerakan 30S/PKI 1965; dan krisis
moneter, ekonomi, politik, dan sosial 1997-1998); negara ini tetap utuh
bersatu—’it is indeed a miracle’, benar-benar mukjizat.
Keajaiban Indonesia bertahan. Bahkan kalangan asing juga
menyebut sejumlah alasan kuat, dengan mukjizatnya Indonesia tengah melangkah
menuju negara ekonomi ketujuh terbesar di dunia atau menjadi negara kelima
terkuat ekonominya menjelang 2025.
Akan tetapi, mencermati perkembangan politik, sosial, dan
keagamaan belakangan ini, bukan tidak mungkin mukjizat Indonesia bakal
berakhir. Keajaiban Indonesia memang tak bisa otomatis dapat terus berlanjut
mengingat pernah bertahannya mukjizat itu di masa krisis dan kritis yang
disebutkan tadi.
Oleh karena itu, sambil berharap tetap berlaku mukjizat
itu, pemerintah, organisasi kemasyarakatan, LSM, dan masyarakat sipil perlu
serius menjaga keutuhan dan kesatuan Indonesia di tengah kebinekaannya. Perlu
konsolidasi dan penguatan kembali rajutan tenunan masyarakat dan kohesi
sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi Indonesia.
Karena itu, perlu upaya komprehensif, holistik, dan
integratif. Dalam kaitan itu, perlu adanya ”strategi kebudayaan”; tidak hanya
untuk merespons berbagai perkembangan dan dinamika Indonesia hari ini, tetapi
menjangkau ke depan—Indonesia yang terbayangkan (imagined Indonesia),
misalnya 2045 ketika Indonesia mencapai kemerdekaan 100 tahun (Kompas 23/5).
Strategi Kebudayaan Indonesia menuju 2045 niscayalah
berorientasi untuk memperkuat Indonesia bersatu, demokratis, maju, berjati
diri, dan mandiri. Indonesia seperti ini adalah Indonesia yang penuh harkat
dan marwah baik ke dalam maupun ke luar.
Sebagai salah satu negara besar di dunia, strategi
kebudayaan itu sekaligus mengorientasikan Indonesia untuk memainkan peran
lebih besar di tingkat internasional. Dengan begitu, Indonesia dapat
berkontribusi lebih signifikan untuk penciptaan peradaban lebih maju, aman,
dan berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar