Bahaya
dari Dalam
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 27 Mei 2017
Kenapa ketakutan menjadi tabir
pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan
kehidupan
Ketegangan telah mengganti
pergaulan pikiran yang merdeka
(WS Rendra, ”Aku Tulis Pamflet
Ini”, 1978)
Pesan Douglas MacArthur (1880-1964) patut direnungkan.
Jenderal Amerika Serikat yang pernah bermarkas di Pulau Morotai, Maluku
Utara, pada Perang Dunia II (1939-1945) itu mengingatkan bangsanya: ”Saya
prihatin atas keamanan bangsa kita yang besar. Ancaman dari luar tidak begitu
banyak, tetapi justru berbahaya dengan ancaman laten dari dalam.”
Ancaman dari dalam negeri memang lebih berbahaya. Sebab,
amat laten, berbaur, sulit dideteksi, sehingga kita tidak tahu siapa lawan
siapa kawan. Itulah yang belakangan ini terasa ketika Negara Republik
Indonesia (NKRI) berada dalam ancaman.
Misalnya, ada sinyalemen untuk mengganti ideologi
Pancasila. Pemerintah pun jelas bersikap tegas. Presiden Joko Widodo
memperlihatkan sinyal keras dengan menggunakan diksi ”gebuk” terhadap
pihak-pihak yang mengancam NKRI. Melihat gaya Jokowi selama ini yang kalem,
penggunaan diksi ”gebuk” sebetulnya membuat kaget. Namun, tampaknya Jokowi
memilih diksi ”gebuk” mengingat situasi kenegaraan-kebangsaan saat ini nyaris
tak karu-karuan.
Soalnya istilah ”gebuk” agak minor dan kontroversial.
Pertama kali dilontarkan Presiden Soeharto pada 13 September 1989. Di pesawat
DC-10 yang terbang setelah kunjungan ke Uni Soviet dan Yugoslavia, di
ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut, saat menjawab pertanyaan
wartawan, Soeharto mengatakan, ”Silakan
melakukan apa saja, sampai mengganti saya, jalannya sudah ada, yaitu melalui
cara konstitusional. Namun, kalau dilakukan di luar itu, apakah ia seorang
pemimpin politik atau jenderal, siapa saja akan saya gebuk!”
Jokowi melontarkan istilah ”gebuk” di depan pemimpin
redaksi di Istana Merdeka, 17 Mei 2017. Lalu di depan 1.500 anggota TNI di
Natuna, Kepulauan Riau, dua hari kemudian. ”Kalau ada yang keluar dari Pancasila, dari Undang-Undang Dasar 1945,
dari NKRI, dari kebinekaan kita, itu hal yang sangat fundamental sekali.
Kalau ada ormas yang seperti itu, ya, kita gebuk!”
Memang, ada penggunaan istilah sama. Namun, suasana batin
dan targetnya tidak sama. Jika Soeharto menyasar pihak-pihak yang hendak
menggantinya (suksesi kepemimpinan nasional) secara tidak konstitusional,
Jokowi menyasar pada kelompok tertentu yang hendak mengganti ideologi
Pancasila dan NKRI. ”Konstitusi
menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, semua harus tetap dalam
koridor konstitusi. Yang melawan konstitusi akan digebuk. Kalau PKI nongol,
gebuk saja. Ketetapan MPR jelas soal itu,” ujar Jokowi.
Tampaknya saat ini tindakan ”gebuk” (tentu dalam koridor
hukum) terasa pas terhadap aksi-aksi teror. Teraktual adalah aksi teror
peledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam.
Lima orang tewas, terdiri dari tiga polisi dan dua orang yang diduga pelaku.
Aksi teror bom tersebut makin menambah suram negeri ini setelah beberapa waktu
lalu menguat isu radikalisme atau sektarianisme di panggung politik.
Beberapa tahun ini panggung politik terlalu berisik, terkhusus
Pilkada DKI Jakarta yang baru usai April lalu. Kontestasi pilkada yang kemudian dimenangi
pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sungguh gaduh karena faktor Basuki
Tjahaja Purnama. Basuki (bersama Djarot Saiful Hidayat) memang kontroversial:
dipuja karena berkinerja bagus selama memimpin DKI Jakarta 2014-2016 sekaligus
dibenci karena dianggap bersikap kasar dan arogan.
Basuki kemudian tersandung kasus penodaan agama yang
mengakibatkan dia dihukum dua tahun penjara. Dalam Pilkada DKI Jakarta, isu
primordial dan sektarian menguat. Sampai-sampai membuat masyarakat terbelah,
kohesi sosial renggang, kebinekaan pun dikorek-korek, bahkan ideologi
Pancasila dan NKRI terancam.
Kasus Basuki seakan membuka kotak pandora. Tiba-tiba
kebinekaan menjadi sebuah kecemasan. Di beberapa daerah muncul gerakan
reaktif. Di Jayapura, Papua tiba-tiba ada kerusuhan gara-gara diisukan ada
kitab suci dibakar, Kamis (25/5).
Pemerintah pun cepat bergerak. Misalnya, menyiapkan
pembubaran ormas yang dianggap tak sesuai dengan Pancasila.
Namun, ada pihak-pihak (termasuk para pakar) mengkritik
bahwa pemerintah tidak bisa membubarkan ormas begitu saja, harus melalui
proses hukum. Alih-alih membantu pemerintah menunjukkan jalan hukum yang
mesti dilewati, mereka justru memilih menghadapi pemerintah. Seharusnya
bantu, dong, pemerintah menemukan jalur yang benar dan tepat. Bukan malah
menuding-nuding pemerintah.
Apalagi ada sinyalemen tidak sedikit orang-orang permisif
atau mungkin radikal berada di institusi negara. Barangkali mereka tidak
ingat Pancasila sebagai jiwa bangsa yang menjunjung nilai-nilai agama dan
nilai-nilai kemanusiaan karena selama 19 tahun era reformasi ini terlupakan.
Mengandalkan para politisi rasanya sulit kalau cara berpikirnya cuma
kekuasaan. Bisa jadi mereka justru memanfaatkan gerakan-gerakan tersebut demi
kuasa. Kalau sudah demikian, ancaman dari dalam yang tersembunyi tersebut—seperti
pesan MacArthur—memang membahayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar