Meninjau
Alasan Hukum Pembubaran HTI
Bayu Dwi Anggono ; Direktur Pusat Pengkajian
Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember;
Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar
HTN/HAN Indonesia
|
DETIKNEWS, 24 Mei 2017
Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik
Hukum dan Keamanan Wiranto menyampaikan niat untuk membubarkan organisasi
kemasyarakatan (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI sesuai jalur hukum.
Niat pembubaran ini dikarenakan aktivitas HTI dinilai mengancam kedaulatan
politik negara. HTI mengusung ideologi khilafah yang secara garis besar
bersifat transnasional, yang berorientasi meniadakan nation state (negara
bangsa).
Ditambahkan fakta bahwa 20 negara (termasuk negara yang
penduduknya mayoritas Islam seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania
dan Malaysia) sudah terlebih dahulu melarang kegiatan HTI di negara
mereka.
Rencana pembubaran HTI ini menarik ditinjau dari
kewenangan konstitusional yang diberikan konstitusi bagi pemerintah untuk
membatasi pelaksanaan hak asasi manusia salah satunya hak berserikat. Selain
itu perlu ditelisik apakah niat pembubaran ini telah memiliki alasan yang
kuat dan melalui prosedur yang sah.
Hak Berserikat
Keberadaan ormas merupakan salah satu wujud implementasi
hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, selain wujud lainnya
seperti partai politik. Namun, perlu diingat meskipun pembentukan ormas
dijamin oleh UUD 1945 bukan berarti aktivitasnya bisa sebebas-bebasnya.
Aktivitas ormas senantiasa terikat kepada pembatasan untuk menghormati hak
asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan
keadilan dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
Dapat dibatasinya eksistensi ormas mengingat hak untuk
bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur
dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 masuk kategori hak asasi manusia yang dapat
dibatasi pelaksanaannya. Berbeda dengan hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yang menurut Pasal
28I ayat (1) UUD 1945 masuk kategori hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogable rights).
Untuk menyeimbangkan agar pelaksanaan hak kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tidak mudah diberangus
secara sewenang-wenang maka pembatasannya oleh negara, seperti pembubaran
ormas, tetap terikat kepada kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud
ditetapkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu pembatasan ditetapkan
dengan undang-undang, dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Oleh karenanya sehubungan dengan niat pemerintah untuk
membubarkan HTI atau ormas-ormas lainnya sesungguhnya dapat saja dilakukan
sepanjang dilaksanakan dengan alasan dan melalui prosedur sebagaimana telah
ditetapkan oleh UU 17/2013 tentang Ormas. Selain itu pembubaran tersebut
dimaksudkan dalam rangka memastikan keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
Alasan Hukum
UU Ormas sesungguhnya menjamin hak bagi pemerintah dapat
membubarkan ormas yang dianggap melanggar kewajiban dan larangan dalam
menjalankan aktivitasnya. Dalam kasus niat membubarkan HTI pada dasarnya
telah terdapat ratio legis (alasan hukum) yang memadai bagi pemerintah untuk
memberikan sanksi pencabutan status badan hukum (pembubaran). Hal ini
mengingat HTI dianggap telah melakukan pelanggaran UU Ormas yaitu:
Pertama, HTI melanggar kewajiban dalam Pasal 21 huruf b
yaitu ormas berkewajiban menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aktivitas HTI yang di muka umum
menyatakan mengusung ideologi khilafah yang berarti meniadakan NKRI jelas
merupakan pelanggaran atas kewajiban ini.
Kedua, HTI melanggar kewajiban dalam Pasal 21 huruf f yang
menyebutkan ormas berkewajiban berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.
Tentu saja partisipasi ini dapat tercapai jika ormas percaya kepada sistem
nation state yang dipilih oleh para pendiri NKRI sejak 17 Agustus 1945. Tidak
mungkin ormas yang tidak percaya dengan NKRI dan ingin menggantinya dengan
sistem yang lain kemudian dapat menjalankan kewajiban berpartisipasi untuk
mencapai tujuan NKRI.
Ketiga, HTI melanggar larangan dalam Pasal 59 ayat (2)
huruf c yang mengatur ormas dilarang melakukan kegiatan separatis yang
mengancam kedaulatan NKRI. Pengertian separatis menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah "orang (golongan) yang menghendaki pemisahan
diri dari suatu persatuan/golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan".
Pengertian separatis tidak harus selalu diartikan mengangkat senjata untuk
memisahkan diri membentuk negara baru. Bentuk kampanye di muka umum untuk
mengajak orang (masyarakat) mengganti sistem negara (NKRI) dan menggantinya
dengan sistem lain yaitu khilafah pada dasarnya telah masuk kategori
separatis yang mengancam kedaulatan NKRI.
Sementara mengenai penggunaan ketentuan Pasal 59 ayat (4)
yang menyatakan Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila agak sulit diterapkan
dalam kasus HTI. Hal ini dikarenakan adanya penjelasan Pasal 59 ayat (4) yang
secara limitatif telah membatasi pengertian ajaran atau paham yang
bertentangan dengan Pancasila yaitu hanya meliputi ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme.
Prosedur Pembubaran
Atas pelanggaran Pasal 21 dan Pasal 59 UU Ormas, maka
sesuai Pasal 60 ayat (1) UU Ormas pemerintah diberikan kewenangan untuk
menjatuhkan sanksi administratif. Menurut Pasal 61 UU Ormas jenis sanksi
administratif terdiri atas: a. peringatan tertulis; b. penghentian bantuan
dan/atau hibah; c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau d. pencabutan
surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Harus dipahami dari teknik perumusan norma peraturan
perundang-undangan kata "dan/atau" yang diletakkan di belakang
rincian kedua dari rincian terakhir di Pasal 61 sesungguhnya merupakan bentuk
sanksi kumulatif alternatif. Konsekuensi jenis sanksi model ini maka
pemerintah bisa menggunakan secara berjenjang semua tahapan penjatuhan sanksi
(kumulatif). Namun, dalam keadaan tertentu atau pertimbangan tertentu bisa
juga langsung melewati beberapa tahapan dan langsung memilih salah satu
bentuk sanksi (alternatif).
Jika pemerintah memilih sanksi kumulatif maka pemberian
sanksi bagi HTI diawali pemberian sanksi peringatan tertulis 1, 2 dan 3.
Kemudian jika tidak mematuhi peringatan tertulis berlanjut ke penghentian
bantuan dan/atau hibah; dan/atau penghentian sementara kegiatan dengan
terlebih dahulu meminta pertimbangan hukum Mahkamah Agung. Sebaliknya jika
atas pertimbangan tertentu yaitu menghitung dampak bahaya bagi kedaulatan
negara jika suatu ormas tidak segera dibubarkan dalam waktu yang cepat maka
pemerintah sesuai Pasal 61 dimungkinkan memilih sanksi alternatif, yaitu
langsung menjatuhkan sanksi terberat yaitu pencabutan status badan hukum
ormas tanpa melalui 3 tahapan sebelumnya.
Jika pemerintah kemudian memutuskan untuk menjatuhkan
sanksi pencabutan status badan hukum maka dilakukan dengan menggunakan
ketentuan Pasal 70 ayat (1) UU Ormas, yaitu dengan mengajukan pembubaran HTI
ke pengadilan negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis dari Menteri
Hukum dan HAM. Melalui proses peradilan ini termohon yaitu HTI diberikan hak
untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di pengadilan
Akhirnya sebagai ciri negara hukum demokratis maka segala
sengketa haruslah diselesaikan melalui cara-cara yang diatur oleh hukum.
Sebagaimana dipraktikkan saat ini saat pemerintah memilih jalur yang diatur
oleh Konstitusi dan UU untuk menyelesaikan persoalan ormas HTI. Karena dengan
cara inilah kuasa pembubaran ormas akan dihindarkan dari tindakan
sewenang-wenang negara, dan di sisi lain dapat menjamin penghormatan hak
membela diri bagi ormas yang akan dibubarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar