Puasa
dan Kehendak untuk Terus Belajar
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Mei 2017
PUASA itu sangat sulit jika paradigmanya ialah puasa
khusus versi Al-Ghazali, yaitu seseorang menyadari dan menjalani dengan
sekuat tenaga dan pikiran untuk menahan diri dari keinginan duniawi yang
memasung jiwa manusia. Puasa itu sulit bagi orang awam karena urusan
meletakkan keinginan dan hawa nafsu hanya bisa dilakukan manusia itu sendiri.
Karena kendali hawa nafsu hanya dimiliki seseorang, niat berpuasa menjadi
penting untuk meneguhkan tujuan berpuasa, yaitu takwa. Dalam takwa, berasal
dari derivasi waqoya, memang
bermakna menjaga diri dari perbuatan keji dan munkar.
Bukan seperti ibadah lainnya yang secara kasatmata bisa
dilihat, puasa sangat unik dilihat dari laku dan tujuannya. Jika salat, haji,
dan zakat tampak dari gerakan, perjalanan, dan harta yang diberikan, puasa
benar-benar hanya jiwa kita dan Allah yang tahu. Di sinilah makna adanya jiwa
atau ruh yang menempati ruang raga ini menjadi penting untuk disadari karena
nanti ketika wafat pun yang akan kembali kepada Tuhan ialah ruh dan jiwa
kita.
Inti berpuasa
Kenikmatan berpuasa Ramadan sesungguhnya hanya bisa
dimaknai secara mutual perspective, yaitu sebagai pembelajar kita harus terus
menggali kesucian Ramadan.
Jika dalam perspektif bisnis berlaku adagium a happy
customer is a return customer, dalam berpuasa berlaku pula adagium a happy
learner is a return learner.
Di bulan puasa, kita bisa belajar tentang awal dan akhir.
Apa yang diawali kesadaran yang lurus akan berakhir bagus.
Apa yang berakhir dengan kebaikan pasti diawali
serangkaian niat baik.
Siklus ini seolah mengajari kita bahwa hidup memang
berawal dari ketidaktahuan dan harus berakhir dengan sebanyak mungkin
pengetahuan.
Jika ketidaktahuan merupakan sifat dasar bayi, mungkinkan
pengetahuan bisa membawa manusia kembali dalam kesucian seorang bayi?
Jawabannya bisa, asalkan kita memercayai dan menjalani
proses kehidupan secara bersungguh-sungguh dengan terus belajar.
Bersungguh-sungguh (man jadda) tampak sekali ketika
Ramadan tiba. Pada titik ini kita sesungguhnya sedang belajar mengembalikan
kefitrian jiwa yang memiliki janji primordial hakiki dengan Tuhan.
Namun, ketika Ramadan berakhir nanti, kita pun kembali
tersadar untuk bersungguh-sungguh kembali belajar arti kefitrian selama 11
bulan lainnya.
Sebagai salah satu dari beberapa bulan mulia, Ramadan
ialah oasis bagi setiap jiwa yang rindu akan kebenaran hakiki.
Kehadirannya sungguh dirindu jutaan umat, dan kepergiannya
selalu dirayakan dengan suka cita seperti tecermin dalam Idul Fitri.
Ramadan, seperti biasa, tampaknya tak akan meninggalkan
jejak positif bagi kehidupan sosial masyarakat kita.
Ini berarti kita akan gagal untuk belajar kembali makna
penting eksistensi Ramadan yang sesungguhnya. Penandanya bisa jadi dari masih
mengembaranya sikap primordialistis yang mengental, kebencian antarentik dan
golongan masih tumbuh subur.
Kekerasan antariman juga kerap terjadi, Ramadan tak
memberi efek terhadap perubahan sosial.
Selo Soemardjan (1998) pernah berujar perubahan sosial
merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan yang
mempengaruhi sistem sosialnya.
Termasuk nilai, sikap, pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam konteks pasca-Ramadan, jika nilai-nilai yang
terkandung di dalam ibadah puasa tak menyebabkan terjadinya perubahan pola
perilaku sosial dan rendahnya sikap kebersamaan, dapat dipastikan tak akan
muncul kesalehan sosial.
Kesalehan sosial sesungguhnya merupakan efek positif
setiap ibadah yang berlaku secara terus-menerus dan menumbuhkan kohesi sosial
yang kuat.
Secara simbolis kesalehan sosial ditandai kesadaran saling
membuka diri, memberi sekaligus meminta maaf, membuka kembali keran-keran
saluran komunikasi yang selama ini terhambat, baik sengaja maupun tidak
disengaja.
Belajar ikhlas
Banyak orang tak meyakini tanggung jawab lahir dari kerja
keras setiap hari secara ikhlas.
Hanya kerja keras dengan keikhlasan yang akan melahirkan
sikap rendah hati dan menumbuhkan sikap selalu ingin berbagi.
Dari sudut ini, tanggung jawab akan memperoleh padanannya,
yaitu tumbuhnya spiritualitas yang memancarkan kemurnian jiwa seseorang dalam
menjalani hidup.
Kazuo Inamori dalam A
Compass to Fulfillment: Passion and Spirituality in Life and Business
(2010) menunjukkan banyak contoh bahwa keberhasilan seseorang meraih
kesuksesan sesungguhnya lebih banyak ditentukan kerja keras yang ikhlas.
Ketika ada banyak guru di sekolah yang saya bina bertanya
tentang kompleksitas persoalan yang mengganggu karier dan keikhlasannya dalam
mengajar, saya katakan penyebab semua itu ialah kita tidak meyakini bahwa
fokus bekerja ialah bentuk tanggung jawab.
Dalam bahasa Robin Sharma (2012), seseorang memerlukan
singularity focus untuk sukses dalam karier dan usaha, karena tanpa fokus
yang memadai seseorang tidak akan mampu menemukan jati dirinya.
Sebagaimana Picasso yang tidak pernah belajar bermain
piano kecuali melukis, gambaran kesetiaan terhadap pilihan karier secara
bertanggung jawab menunjukkan spiritualitas seseorang.
Menjadi guru, misalnya, jika tak didasari kerja keras
secara ikhlas yang ditunjukkan dengan banyak membaca dan mengkaji bahan
secara kreatif pasti tak akan memiliki nilai spiritualitas sama sekali.
Hanya dengan membaca, menulis dan mengkaji setiap bahan
yang akan diajarkan kepada siswa secara cerdaslah yang membawa seorang guru
pada bentuk spiritualitas yang tinggi, baik di mata manusia, apalagi dimata
Sang Mahapencipta.
Mungkin ada banyak orang yang membayangkan bahwa
membersihkan jiwa harus melulu melibatkan laku ritual keagamaan tertentu
sehingga kita merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Namun bukti empiris di
lapangan menunjukkan ternyata mencintai pekerjaan secara bertanggung jawab
justru akan lebih cepat mengantarkan seseorang memiliki kedalaman spiritual.
Mengajar, sebagaimana bekerja, jika dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan ikhlas pasti membawa guru pada evolusi secara alami dalam
jiwa yang akan memperkuat karakter para guru. Dengan demikian, pada akhirnya
kita akan memperoleh kemuliaan hidup dunia dan akhirat.
Jika para guru memiliki kesimpulan bahwa proses
belajar-mengajar merupakan laku sipiritual yang tinggi nilai kemuliaannya,
secara semantik akan berakibat pada pemahaman, bahwa proses pendidikan seharusnya
dipenuhi sikap kritis, dan daya-cipta guru yang berorientasi pada
pengembangan bahasa pikiran siswa dalam rangka mengasah daya jelajah
imajinasinya sesuai dengan lingkungan, mereka bertempat tinggal.
Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar
guru harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran siswa mereka yang
terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar