Keniscayaan
Presidential Threshold 0%
Moh Nizar Zahro ; Anggota Pansus RUU Pemilu
|
KORAN
SINDO, 26
Mei 2017
Beberapa minggu belakangan Panitia Khusus (Pansus)
Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) sedang mengejar target
penyelesaian RUU tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi titik perdebatan
serius dalam pansus. Salah satunya yang sangat krusial adalah mengenai ambang
batas pencalonan presiden yang biasa kita kenal dengan istilah presidential
threshold.
Dalam RUU Pemilu di Pasal 190 disebutkan mengenai aturan presidential threshold. Bunyi dari
pasal tersebut adalah, ”Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlahkursiDPRataumemperoleh
25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR
periode sebelumnya.”
Pasal itu tentu menimbulkan perdebatan di kalangan anggota
pansus yang merupakan perwakilan dari para anggota fraksi di DPR RI. Dalam
perkembangan politiknya, 7 fraksi yakni Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat,
Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PPP, dan Fraksi Hanura mengusulkan
besaran presidential threshold 0%.
Adapun tiga fraksi lain, yakni Fraksi PDIP, Fraksi Golkar,
dan Fraksi NasDem, tetap ngotot besaran presidential threshold sama seperti
sebelumnya, yakni 20% jumlah kursi DPR RI atau 25% dari suara sah nasional
pada pemilu sebelumnya.
Tentu sekalipun DPR adalah ranah politik, harus selalu ada
landasan pemikiran dan landasan akademis yang kuat atas setiap usulan. Ada beberapa alasan dari Fraksi Gerindra
dalam mengusulkan presidential threshold 0% dalam pemilihan capres-cawapres.
Pertama, mengacu pada UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum. Sebagai konstitusi tertinggi di negara ini, UUD ini tidak mengharuskan
adanya besaran persentase untuk presidential
threshold.
UUD 1945 memberikan ruang bebas kepada seluruh masyarakat
untuk berpartisipasi baik memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum
presiden. Karenanya jangan sampai RUU Pemilu memberikan syarat persentase
besaran threshold dalam pemilihan presiden. Sebab hal itu akan memberikan
diskriminasi terhadap warga negara yang memiliki kompetensi untuk menjadi
calon presiden maupun calon wakil presiden.
Oleh sebab itulah RUU Pemilu jangan sampai menjadi alat
diskriminasi terhadap warga negara.
Kedua, pilpres dan pileg digelar serentak. Di Pasal 190
RUU Pemilu, besaran presidential
threshold didasarkan pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Ini
menimbulkan tanda tanya, sebab pilpres dan pileg pada 2019 akan digelar
secara serentak. Jadi frasa berdasarkan pileg sebelumnya tidak bisa dijadikan
acuan untuk mengusung capres-cawapres.
Pilpres dan pileg serentak tersebut merupakan putusan dari
Mahkamah Konstitusi No 14/ PUU-XI/2013. Maka dari itu, dengan digelarnya
pemilu legislatif (pileg) dan pilpres secara serentak, aturan presidential threshold lemah secara
konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya, yakni 20% kursi
legislatif atau 25% suara pileg.
Apalagi sebelumnya hasil pemilu anggota DPR tahun 2014
sudah dijadikan dasar besaran presidential
threshold pada Pilpres 2014. Apa mungkin hasil Pileg 2014 kembali
dijadikan acuan besaran presidential
threshold pada 2019? Jelaslah tidak mungkin. Sebab, dalam lima tahun
terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan
masyarakat dari satu parpol ke parpol lain sehingga perolehan suara pun akan
juga berubah. Karena itulah ketiadaan presidential
threshold merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak
pada 2019.
Ketiga, presidential
threshold menimbulkan diskriminasi terhadap partai politik. Pemilihan
presiden-wakil presiden haruslah menjadi sarana untuk memunculkan negarawan-
negarawan yang berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dan partai politik
sebagai wadah untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa memiliki kewajiban
moral.
Apalagi adanya besaran presidential threshold merupakan
bentuk dari diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang dengan sendirinya
bisa diartikan sebagai diskriminasi juga terhadap warga negara.
Jika membaca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945 dengan teliti dan bijak, pasangan calon presiden-wakil
presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu
sebelum pelaksanaan pemilu.
Jika membaca dan menganalisis ketentuan tersebut,
sesungguhnya konstitusi memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap
partai yang telah dinyatakan menjadi peserta pemilu untuk mengusung pasangan
calon presiden-wakil presiden. Olehkarenaitu, menurutpenulis, ketentuan pembuatan
ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pilpres (UU No
42 Tahun 2008) sudah kehilangan relevansinya.
Logika frasa ”diusulkan oleh partai atau gabungan partai
peserta pemilu” seharusnya diterjemahkan bahwa setiap partai yang telah lolos
sebagai peserta pemilu memiliki kewenangan yang sama untuk mengusung pasangan
calon presiden dan wakil presiden di pilpres tanpa disuguhi syarat berupa presidential threshold. Jikapun
pembuat UU ”memaksakan” adanya presidential
threshold, akan sangat sulit mencari dasar penghitungannya seperti yang
juga telah dijelaskan di atas.
Ketiadaan besaran presidential threshold merupakan solusi
dari perdebatan ini. Manfaat dari ketiadaan presidential thresholdlebih besar
daripada kerugiannya. Apalagi dengan pilpres dan pileg serentak, aturan 20%
kursi legislatif atau 25% suara pileg sudah tidak relevan lagi. Besaran
presidential threshold menimbulkan ketidak setaraan politik bagi warga negara
dan bagi partai politik. Karenanya, berdasarkan UUD 1945 dan putusan Mahkamah
Konstitusi No 14/PUU-XI/2013, sudah selayaknya besaran presidential threshold
ditiadakan. Dengan tidak adanya besaran presidentialthreshold, akan banyak
capres– cawapres alternative yang muncul. Masyarakat pun memiliki banyak alternatif
pilihan dalam menentukan hak politiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar