Guratan
Stigma Badan Baru Perpajakan
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 29
Mei 2017
Wacana mengenai penyerahan otonomi penuh kepada institusi
perpajakan semakin bergerak bebas dalam beberapa tahun terakhir.
Rencananya Direk torat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) akan
dipisah dari Kementerian Keuangan dan dilanggengkan sebagai Badan Penerimaan
Negara (BPN). Proses ini terus di kembangkan untuk mendukung proyek reformasi
perpajakan yang sedang digalakkan pemerintah pusat.
Terlepas dari perbincangan seputar prokontranya, penulis
merasa ide otonomi sangat menarik untuk tujuan meningkatkan kinerja
perpajakan. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tampak sangat
vokal menyeret pemahaman masyarakat agar satu frame dengan kalangan internal
di Kementerian Keuangan.
Menkeu bergeming bahwa perubahan kelembagaan ini menekankan
diri pada cara struktural agar fungsi instansi perpajakan ke depan bisa
berbicara lebih lantang. Sumber kekuatannya diharapkan berasal dari kredibilitas
para punggawa perpajakan agar lebih bersih dari tuduhan korupsi serta lebih
mampu bekerja dengan cara-cara efektif. Selain itu juga untuk meningkatkan
efisiensi sistem administrasi perpajakan yang lebih baik dan lebih kedap dari
campur tangan politik praktis. Redistribusi kewenangan melalui otonomi kepada
otoritas pajak memang bukanlah sesuatu yang baru di kancah dunia.
Dalam dua dekade terakhir, praktis terjadi tren perubahan
yang mendorong agar otoritas pajak memiliki kinerja yang efisien dan
kompetitif untuk menjamin ketersediaan anggaran pembangunan. Sebagai contoh,
negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) sudah menunjuk Internal Revenue
Service (IRS) sebagai badan otonom perpajak - an, bahkan itu terjadi sejak me
- dio 1950-an. Jika berpijak pada pemikiran William Crandall (2010),
peningkatan otonomi memang akan sedikit me - ngaburkan kontrol peme rin tah.
Sebab arah otonomi akan diikuti dengan kewenangan se cara
mandiri untuk menyusun aturan perpajakan, kewenang an kelembagaan, kewenangan
untuk merancang dan melak - sanakan kebijakan operasional, serta struktur
organisasi dan tanggung jawab operasional. Namun dari sisi yang lain, inter -
dependensi yang diterima se cara normatif juga akan me macu peningkatan
akunta bilitas dan transparansi terhadap badan/ lembaga tersebut. Data me nun
- jukkan bahwa kemandirian otoritas pajak memang meng - hasilkan kinerja
perpajakan yang lebih baik.
Parameter se der - hana yang digunakan biasa nya diukur
berdasarkan real isasi tingkat tax base dan tax ratio. Contoh sukses ialah
Selandia Baru dan Cile yang berhasil meningkatkan tax ratio setelah
memberikan otonomi kepada otoritas pajak. Beberapa negara ber kem - bang lain
seperti Peru dan Malaysia juga pernah menye rah - kan kewenangan bagi oto
ritas pajak meskipun masih da lam level semiotonomi. Peme rintah Peru pada
1991 mem berikan kewenangan terhadap otoritas pajak untuk merapikan sistem
kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya ma nusia
yang kompetitif.
Pada saat itu terjadi pemangkasan besar-besaran jumlah
pegawai pajak hingga ter - sisa hanya se perempatnya dan skema pen danaan
juga diukur dari kinerja penerimaan pajak. Hasilnya pada awal-awal periode
1992-1997, tax ratio Peru men - capai rata-rata hingga 14,80%, jum lah wajib
pajak ikut me - ningkatdari hanya895.000pada 1993 hingga mencapai 1,8 juta di
akhir 1997. Jumlah ini terus me - ningkat hingga 2,66 juta sampai akhir 2003.
Namun performa ini mulai berjalan tidak konsisten pada 1999 yang ditandai
dengan terus menurun nya tax ratio. Penyebabnya karena proses peng awasan
yang lemah dari pihak eksternal se hingga men - dorong masuknya kepentingan
politik, terjadi penyimpangan integritas apa rat, dan sederet konflik dengan
Kementerian Keuangan.
Berangkat dari fenomena terebut, patut kita telisik ber -
sama apakah rencana penye rah - an otonomi ini murni karena perjuangan nilai
substansi ataukah sekadar “latah” dengan fenomena-fenomena di negara lain.
Pemerintah perlu juga mempertimbangkan sejauh mana tingkat urgensinya.
Pertama, tax ratio dan tax base di Indonesia masih ter golong kerdil.
Kemenkeu (2017) men - catat tax ratio kita pada 2016 kemarin tercapai 10,36%
dan lebih rendah dari tahun sebe - lum nya yang mencapai 11,90%. Sementara
itu indikator tax base bisa kita ukur dari jumlah nomor pokok wajib pajak
(NPWP) yang baru mencapai 36 juta (dari total 60 juta yang seharusnya me -
miliki NPWP).
Kecenderungan realisasi kinerja yang lemah konon
disebabkan kelemahan struktural yang harus ditang - gung Ditjen Pajak dalam
proses pengelolaan. Secara berurutan, kendala yang dihadapi Ditjen Pajak
ialah belum kuatnya database, proses pengawasan yang rendah, SDM yang kurang
memadai, dan sistem pe layan - an (terutama elektronifikasi) yang masih
membutuhkan du - kungan perbaikan. Kalau me - mang adanya proses otonomi
membuat kinerja otoritas pajak semakin meningkat, upaya ini perlu kita
dukung.
Apalagi ber - dasarkan studi Price water house Coopers
(PwC, 2016) melalui kajian Paying Taxes 2017, indikator pembayaran pajak di
Indonesia sedang dalam masa progresif dengan kenaikan 44 level (peringkat
ke-104 dunia) mengungguli kinerja negara lain seperti Thailand (109) dan
Vietnam (167). Namun pering - kat Indonesia itu masih jauh di bawah Singapura
(8) dan Malaysia (61). Pertimbangan kedua ber - kait an dengan proses sin
kron - isasi antara otoritas pajak pusat dan daerah serta antara otoritas
pajak dengan stakeholders fiskal lainnya.
PwC Indonesia menilai proses sinkronisasi perpajakan
sangat penting karena jumlah komponen perpajakan kita ada 43 jenis pembayaran
pajak, terbanyak di ASEAN. Semua itu mencakup jenis pajak atas pen - dapatan
usaha, pajak peng - hasilan tenaga kerja, dan pajak lain. Sementara itu
jumlah pem - bayaran pajak di ASEAN ratarata hanya 26 jenis, sedangkan di dunia
rata-rata hanya se banyak 25 jenis. Jika sinkronisasi tidak berjalan efektif,
yang dikor ban - kan ialah masyarakat selaku pem bayar pajak.
Yang di kha - watirkan dari ketidak sinkronan ini
berkaitan dengan tumpangtindihdanpeng urusan restitusi. Sementara
sinkronisasi dengan otoritas fiskal lain berkaitan dengan proses planning dan
estimasi dalam lingkup kebijak - an makro. Jika memang oto - ritas pajak
dipisah dari Kemen - keu, perlu dipastikan bahwa akses-akses data tetap bisa
di - sinkronkan untuk meng hin - dari dampak buruk ke tidak - efektifan
kebijakan. Ketiga, berkaitan dengan ke - siapan secara total untuk proses
penyerahan otonomi. Kita bisa belajar dari pengalaman oto - risasi di Peru
yang pada akhir - nya berjalan kurang efektif.
Pengalaman otonomi yang positif justru bisa kita petik
dari Malaysia. Tahun 1995, Inland Revenue Board Malaysia (IRBM) didirikan
sebagai badan semi otonom yang menangani administrasi perpajakan di Malaysia.
Mandat yang diterima juga kurang lebih sama dengan Peru, yakni diberi otonomi
da - lam hal manajemen keuangan dan sumber daya manusia da - lam rangka
meningkatkan kua - litas dan efektivitas adminis - trasi perpajakan di
Malaysia. Hasil perubahan kelembagaan malah lebih progresif karena Pemerintah
Malaysia lebih berhati-hati dalam transfer kewenangannya.
Model semi - otonom di IRBM tidak otomatis mengubah secara
signifikan kondisi administrasi perpajak - an Malaysia dalam waktu singkat,
melainkan selama ber - tahun-tahun. IRBM meman - dang pentingnya untuk mene -
rap kan inisiatif inovasi selama proses transisi. Inovasi tersebut antara
lain pembangunan infra - struktur teknologi yang kuat untuk meningkatkan pe
layan - an secara bertahap. Penguat an teknologi berbasis jaringan ter -
sebut juga dimaksudkan untuk membangun kualitas pelayan - an bagi kepentingan
internal organisasi.
Bersamaan dengan hal itu, IRBM menerapkan mo - del
manajemen ilmu penge tahu - an (knowledge management) de - ngan melibatkan
SDM dengan kualifikasi tertentu untuk ber - temu dan merumuskan se jum - lah
input demi perbaikan orga - nisasi. Manajemen tersebut juga diwujudkan dalam
bentuk penyediaan fasilitas pem bela - jar an (e-learning) yang dapat diakses
seluruh pegawai.
Pengalaman tambahan juga dicontohkan IRS di AS yang menerapkan
fasilitas program dukungan modal sosial dengan para wajib pajak. IRS men con
- toh kan adanya inisiasi untuk membentuk semacam lembaga yang menjadi corong
peng - hubung, antara kepentingan wajib pajak dan layanan yang sedianya
diberikan IRS. IRS memfasilitasi program atau lembaga seperti Low Income
Taxpayer Clinic untuk mem - bantu pembayar pajak ber urus - an dengan IRS.
Bahkan untuk memperkarakan kinerja IRS yang dianggap buruk
juga ter - dapat Taxpayer Advocate Service (TAS) yang membantu menyalurkan
protes pembayar pajak. Lembaga ini bersifat inde - penden hasil rancangan ber
- sama stakeholder lain dan diberi bantuan dari IRS untuk ber - operasi di
IRS. Fungsi lem baga ini ditujukan untuk me wakili dan memastikan ter
penuhinya hak-hak para pem bayar pajak. Misalnya mereka membantu untuk memper
cepat penyelesai - an pemeri ksa an, keberatan, dan per mohonan lain,
termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran UU oleh pe tugas pajak.
Stigma mengenai Badan Otonomi Pajak akan berlangsung
positif jika juga diikuti reformasi struktur pelayanan pajak. Dan keempat,
sebagaiper tim - bangan penutup, jangan lan tas meninggalkan tantangan
pembiayaan yang cukup besar untuk mendirikan sebuah institusi baru.
Pengeluaran yang besar tidak hanya dibu tuh kan secara parsial (terhadap
institusi pajak), melainkan juga dibutuh - kan strategi yang andal untuk
mengefisiensi biaya transaksi yang muncul atas per ubahan kelembagaan
terhadap instansiinstansilain.
Apalagijikamelihat kondisi keuangan negara untuk saat ini,
penulis merasa momentumnya belum cukup pas karena posisi kas negara sedang
dalam masa kembangkempis. Jika sistem pajak dan SDM pengelola, termasuk
perangkat hukum, dalam kondisi stagnan (sulit berubah), lebih baik upaya
reformasinya difokuskan pada pembenahan yang lebih matang ketimbang
memaksakan adanya otonomi terhadap otoritas pajak di dalam negeri. ●
|
( Mohon maaf, karena
proses edit artikel ini belum diselesaikan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar