Semua
Jalan Menuju Beijing
Peter F Gontha ; Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh Republik Indonesia di Polandia
|
KOMPAS, 24 Mei 2017
Hampir setahun yang lalu, 21 Juni 2016, di Warsawa digelar
Silk Road Forum sekaligus pertemuan bisnis antara Polandia dan China.
Saya terperanjat melihat Presiden China Xi Jinping datang
membawa 1.200 pengusaha. Yang lebih mengagetkan saya di samping banyaknya
pembicara dari Eropa dan China, ada satu pembicara Asia, yakni Jusuf Wanandi
dari Indonesia. Dalam pertemuan tersebut kembali Presiden Xi mempromosikan
inisiatif pembangunannya yang terkenal, One Belt One Road (OBOR) atau Satu
Sabuk Satu Jalan.
China menyalakan obor
Mulai saat itu saya terus mengikuti perkembangan usaha
China dalam "menyalakan" OBOR dan usaha mereka untuk membangun
kembali jalur sutra.
Presiden Xi pada September 2013 memperkenalkan inisiatif
membangun jejaring Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt/SREB)
dan juga memperkenalkan konsep Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21 (The 21st
Century Maritime Silk Road/CMSR).Perpaduan kedua konsepsi inilah yang
kemudian diperkenalkan saat berkunjung ke Indonesia pada Oktober 2013 sebagai
OBOR.
Jika SREB berfokus pada pembangunan infrastruktur jalur
sutra di daratan Eropa dan Asia, CMSR berfokus pada jalur laut yang
menghubungkan China dengan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Asia Selatan,
Afrika Timur, Asia Barat, Afrika Utara, hingga Eropa. Mulai tahun 2014, China
membangun proyek yang disebut Jalur Sutra Baru (New Silk Road).
Selain melakukan diplomasi dengan banyak negara, mereka
juga meresmikan berdirinya Asian Infrastructure Development Bank (AIIB) di
Beijing pada Januari 2016.
Baru-baru ini, pada 14-15 Mei 2017, para pemimpin dari 130
negara Asia, Amerika Latin, Afrika, Eropa, dan Timur Tengah berkumpul di
Beijing untuk membahas langkah lanjut perwujudan OBOR, dengan agenda utama
apa yang saya sebut "Marshall Plan untuk Asia". "Dan, di situ
akan dibangun jalan bebas hambatan dari China bagian barat ke Eropa.
Permulaan tahun depan Anda dapat jalan langsung tanpa hambatan ke Rotterdam.
Jaraknya hanya 10.000 kilometer," kata Guo Jianbin, fungsionaris Partai
Komunis dari Provinsi Xinjiang.
Ia menunjuk ke sebuah lapangan terbuka di mana pada waktu
matahari terbenam di barat terlihat jalur kereta cepat yang menyilaukan mata.
Masih menurut Guo, jalur sutra telah tertimbun pasir. Kini jalan tersebut
dijaga ketat pasukan China dan Kazakhstan. Pagar besi, kawat berduri, dan
serdadu bermuka dingin memisahkan China Horgos dan suku Kazakhstan Khorgos.
Penguasa Horgos dan Khorgos bersiap mewujudkan OBOR.
Menurut saya, OBOR ini akan menjadi proyek pembangunan terbesar dalam sejarah
Asia, bahkan terbesar di dunia. Dananya telah disiapkan dan pembangunannya
akan dilakukan sendiri oleh China. Lebih dari 1.000 miliar dollar AS telah
dianggarkan dan disiapkan melalui AIIB untuk membangun infrastruktur di
negara- negara tetangga yang akan dilalui Jalur Sutra Baru.
Mengatasi ketakutan pada ekstremis
Menurut Guo, sesudah terjadinya beberapa serangan teror
oleh kelompok Uighur, suku dari Turki, daerah otonomi Xinjiang sangat
mencekam dan menegangkan. Ia meyakini tidak ada investor China yang mau
berinvestasi ke provinsinya, ibaratnya kalau tidak ada pengamanan yang ketat.
Namun, para investor tidak perlu takut untuk masuk di kawasan "Khorgos
Gateway", perusahaan yang menyediakan lahan penyimpanan kontainer
barang. Kita memerlukan mereka untuk menumbuhkan perekonomian kawasan ekonomi
terpadu yang tengah kami dirikan, ujar Asset Seisenbeck, Direktur Komersial.
Diharapkan bahwa dengan pengembangan ekonomi secara merata
dengan mengikutsertakan semua kelompok yang berbeda aliran, maka kekerasan
dan ancaman teror dapat dihindari.
"Investor akan kami terima dengan tangan terbuka,
sama seperti perusahaan Belanda, Unilever, yang akan mendirikan pabrik
makanan dan kosmetik," kata Seisenbeck. Telah diputuskan untuk memakai
jalur kereta api menuju China. Waktu yang diperlukan untuk mengangkut barang
dari Rotterdam ke Chengdu dan Chongqing juga lebih singkat hanya 12 hari.
Visi jauh Presiden Jokowi
OBOR atau dalam bahasa China, Yi Dai, Yi Lu, singkatan
dari penanaman modal dan investasi China dalam bidang infrastruktur di luar
negeri, pertama kali diungkapkan oleh Presiden Xi pada 2013 dalam
kunjungannya ke Indonesia. Tidaklah mengherankan bahwa Presiden Joko Widodo
menghadiri pertemuan OBOR di Beijing 14-15 Mei lalu.
Kehadiran tersebut untuk memastikan bahwa Indonesia
menjadi bagian penting dari pelaksanaan inisiatif yang bakal mengubah tatanan
dunia. Mungkin dampaknya tidak terasakan pada era Presiden Joko Widodo,
tetapi visi yang jauh hingga 20-30 tahun dari seorang pemimpin patut didukung
dalam rangka meletakkan dasar peradaban baru yang kelak terwujud seiring
dengan terealisasinya Jalur Sutra Baru.
Apakah Indonesia siap menghadapi perubahan zaman? Apakah
kita siap untuk mempelajari keikutsertaan kita dalam the great reset tatanan
dunia, seperti yang dikatakan Mahpudi Sukirman, seorang peneliti dari
Bandung, atau apakah kita menyia-nyiakan visi jangka jauh seorang Presiden
Joko Widodo, yang melihat pentingnya Indonesia aktif dan turut serta dalam
dialog Yi Dai, Yi Lu ini, ataupun dilibatkannya secara aktif para peneliti
dari Indonesia, seperti Jusuf Wanandi dalam perbincangan internasional tentang
OBOR.
Sementara, Presiden RI bergegas untuk ambil bagian dari
"penyalaan" OBOR serta dunia dan Asia di bawah kepemimpinan China
mulai meletakkan cetak biru bagi terbangunnya semua jalan peradaban menuju
Beijing, ternyata orang-orang di Tanah Air, terutama para pemimpin politik,
anggota badan legislatif, tokoh bangsa, dan agama masih sibuk dengan
kepentingan kelompok masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar