Mengeja
Tanda Baca Kiai Sepuh
Akh Muzakki ; Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Guru Besar UIN Sunan
Ampel, Surabaya
|
JAWA
POS, 29
Mei 2017
ADA dua kata yang beririsan makna: mengeja dan membaca.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengeja berarti melafalkan
(menyebutkan) huruf-huruf satu demi satu. Membaca bermakna melihat serta
memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam
hati).
Tentu membaca memiliki derajat kualitas yang lebih tinggi
daripada mengeja. Namun, ujung dari dua kata itu adalah memahami atau
mendapatkan pemahaman yang baik atas suatu objek. Untuk sampai ke pemahaman
yang baik itu, ada prasyarat yang harus dipenuhi. Ada ejaan yang harus
diikuti.
Beberapa hari belakangan, publik penasaran dengan ikhtiar
para kiai sepuh se-Jawa Timur. Diawali dengan pertemuan 21 kiai sepuh yang
kemudian melahirkan surat bersama yang ditujukan kepada Gus Halim Iskandar
dalam kapasitasnya sebagai ketua DPW PKB Jawa Timur serta calon gubernur Jawa
Timur pada pilkada 2018. Selanjutnya, isi surat tersebut lebih dikonkretkan
lagi melalui serangkaian pertemuan para kiai sepuh di sejumlah titik di Jawa
Timur: Pesantren Lirboyo, Kediri, dan Pesantren Genggong, Probolinggo
(24/5/2017); lalu Pesantren Bumi Sholawat Lebo, Sidoarjo (25/5/2017).
Nah, untuk sampai pada pemahaman yang baik terhadap
langkah para kiai sepuh itu, ada sejumlah ”tanda baca” yang harus dieja dan
dibaca dengan penuh saksama. Dalam perspektif pakar linguistik Ferdinand de
Saussure, sejumlah tanda baca tersebut berisi sekaligus berfungsi sebagai
penanda (signifier) atas sejumlah kecenderungan yang menjadi petanda
(signified).
Langkah para kiai sepuh itu ibarat tulisan-tulisan yang
tersusun dengan maksud tertentu. Ada dua tanda baca penting yang dikirim para
kiai sepuh melalui langkah-langkah itu. Pertama, tanda hubung. Tanda baca itu
dikirim untuk menyambungkan unsurunsur internal yang berjumlah lebih dari
satu. Dalam konteks Pilgub Jatim 2018, nama-nama yang mengemuka dari kalangan
internal NU antara lain Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Halim Iskandar, dan
Khofifah Indar Parawansa. Karena itulah, surat 21 kiai sepuh hanya ditujukan
kepada Gus Halim Iskandar sebagai tokoh NU pimpinan partai yang sudah
menyatakan diri sebagai cagub Jatim 2018, bukan ke partai lain walau kader NU
tersebar lintas partai.
Tanda hubung dipakai para kiai sepuh untuk menyambungkan
tokoh-tokoh politik NU. Kepentingannya, agar tidak bertabrakan, lalu
berserakan. Jadi, pesan tanda hubung oleh para kiai sepuh sederhana: Mereka
tidak memikirkan selain urusan rumah tangga keluarga NU sendiri.
Tidak ditemukan pernyataan dan atau klausul hasil
musyawarah para kiai sepuh yang mengajak, apalagi memaksa-maksa, rumah tangga
lain untuk mengikuti keputusan dan atau kesepakatan mereka. Yang mereka
pikirkan dan tekankan hanya urusan rumah tangga sendiri yang jumlahnya sangat
besar.
Tanda baca itu sekaligus menampik tudingan sejumlah
pemerhati sementara ini bahwa para kiai sepuh sedang melakukan intervensi
politik kepada masyarakat. Sebab, para kiai sepuh itu tidak sedang mengajak
dan memaksa rumah tangga ”orang lain” untuk taklid buta. Bahwa kemudian yang
lain menjadikan tanda baca itu sebagai referensi, sungguh keputusan itu
merupakan pilihan rasional yang sangat dimungkinkan.
Tanda baca yang berupa tanda hubung tersebut terasa
penting untuk dikirimkan para kiai sepuh menyusul besarnya jumlah
kepengikutan (followership) NU. Akibatnya, NU muncul ibarat gadis cantik yang
diperebutkan banyak pria, sejati atau bahkan hidung belang sekalipun. Yang
datang mendekati NU dalam kaitan dengan kontestasi politik memiliki motif
macam-macam. Mulai yang tulus, setulus pria sejati yang sedang mengharapkan
cinta sejati sang gadis, hingga yang abal-abal.
Tanda hubung itu makin berarti saat dikaitkan dengan
kebutuhan sinergi daripada kompetisi. Bahkan, PKB pun mengafirmasi fakta
tersebut. Penjelasan Thoriqul Haq dari DPW PKB Jatim (Jawa Pos, 26/5) bisa
menjadi bukti. ”Komunikasi sudah terjalin dengan baik antara Pak Halim dari
legislatif dan Gus Ipul sebagai eksekutif. Para kiai tidak ingin kombinasi
yang sudah klop itu terganggu dengan adanya perpecahan kubu dalam pemilih
NU.”
Kedua, para kiai sepuh juga sedang mengirimkan tanda seru
sebagai bagian dari tanda baca yang penting untuk diperhatikan. Tanda seru
itu dikirim para kiai sepuh untuk menyeru dan memerintahkan kesungguhan buat
merespons tantangan dan ancaman yang ada di depan mata.
Penggunaan tanda seru tersebut bisa dilihat dari delapan
hasil musyawarah kubro para kiai sepuh di Pesantren Bumi Sholawat Lebo,
Sidoarjo. Mayoritas membicarakan kondisi serta ancaman bangsa dan negara,
mulai maraknya radikalisme-terorisme, mendesaknya penegakan keadilan, hingga
pen- tingnya pendidikan keagamaan. Hanya satu bagian akhir yang membicarakan
pilkada Jatim.
Alih-alih pecah keluarga, para kiai sepuh menyeru kaum
nahdliyin beserta tokoh politiknya untuk mewaspadai tantangan dan ancaman
itu. Tanda seru tersebut bak gayung bersambut. Gus Halim Iskandar yang
awalnya didorong kader PKB Jatim untuk maju sebagai cagub akhirnya menerima
pesan penting para kiai sepuh.
Dengan mendasarkan diri pada kaidah ushul fiqh ”
assiyasatu mabniyatun ’ala ’aqidatiha (politik dibangun di atas dasar
ideologi yang diyakini)”, dia menerima sepenuhnya dawuh para kiai sepuh.
”Saya yakin sebagai seorang santri, kader-kader PKB akan patuh pada dawuh-
nya para kiai dan menjunjung tinggi garis keputusan partai,” tulis Gus Halim
Iskandar dalam kolom opini Khidmat PKB kepada NU (Jawa Pos, 27/5/2017).
Tanda baca telah digelontorkan para kiai sepuh. Mengeja
tanda baca itu adalah awal untuk bisa memahami makna simbolis yang terdalam
di baliknya. Selanjutnya, pertanyaannya bersentuhan dengan bagaimana tanda
baca itu digunakan? Dan, itu kembali kepada kecerdasan dan kebijaksanaan para
pemangku kepentingan secara keseluruhan. Wallahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar