Sinergitas
TNI dan KPK
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum; Kepala Pusat Studi
Pancasila UGM 2013-2015
|
KORAN
SINDO, 29
Mei 2017
Patut diapresiasi langkah TNI mengajak KPK bersama-sama
mengusut dugaan korupsi pengadaan helikopter militer Agusta Westland (AW) 101
yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp220 miliar, dari nilai kontrak
sebesar Rp738 miliar.
Diwartakan berbagai media (26/5/17), bahwa Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo, Ketua KPK Agus Rahardjo, KSAU Marsekal TNI Hadi
Tjahjanto, Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto, dan Juru Bicara KPK Febri Diansyah
tampil bersama dalam jumpa pers untuk mengumumkan adanya dugaan korupsi di
tubuh TNI itu. Penetapan tersangka telah dilakukan tim POM TNI dan KPK
terhadap 6 saksi dari TNI dan 7 warga sipil/nonmiliter.
Penyidik POM TNI juga sudah memblokir rekening atas nama
PT Diratama Jaya Mandiri, sebuah perusahaan jasa peralatan militer nonsenjata
pemegang lisensi dari AS dan lisensi (Big Trade Business Licensi SIUP).
Terbongkarnya kasus korupsi itu tentu merupakan aib bagi TNI yang selama ini
tergolong institusi bersih. Akan tetapi, langkah awal dan keberhasilan
sementara mengungkap kasus tersebut serta ketegasan sikap untuk menyelesaikannya
secara hukum merupakan sikap ksatria TNI, sekaligus bukti bahwa TNI amanah
dalam mengemban tugas-tugasnya.
Sikap ksatria sungguh merupakan modal sosial (social
capital) amat penting untuk menjaga soliditas TNI, memelihara kepercayaan
masyarakat (social trust), dan kesatuan antara TNI dan rakyat. Perlu dipahami
bersama bahwa TNI merupakan bagian penting dari negara Republik Indonesia.
Ketika negeri ini bermasalah dalam hukum dan birokrasi, maka kerentanan TNI
untuk terkena imbasnya amat terbuka lebar. Oknum-oknum TNI yang tidak siap
mental menghadapi kelabunya hukum justru ”menari-nari” di atasnya, menilap
uang rakyat untuk keuntungan pribadi, seraya mengorbankan kepentingan negara.
Perilaku korup ini amat disayangkan, perlu dikutuk,
sekaligus ditindak tegas. Kilas balik ke belakang menunjukkan, sebenarnya
negeri ini dulu (antara 1950-an sampai 1960-an) pernah memiliki hukum relatif
adil, tegas, fair trial, birokrat bersih. Sayang, selepas masa itu mulai ada
menteri (Djodi Gondokoesoemo) didakwa korupsi, diadili, diputus bersalah,
sehingga dipenjara. Jenderal AH Nasution pada 1967 mulai gelisah dan
mengkhawatirkan adanya peningkatan korupsi secara masif ketika ditengarai
negara tidak hadir dan tidak tegas memberantasnya.
Prognosis Sekjen MPRS itu benar. Era reformasi korupsi
ngedab- edabi, merupakan extraordinary crime. Label korupsi sebagai
extraordinary crime, mestinya membawa konsekuensi pentingnya cara, metode,
dan paradigma baru dalam pemberantasan korupsi, yaitu tidak lagi
konvensional, melainkan harus progresif. Pemberantasan korupsi konvensional
selalu bertumpu pada peraturan perundangundangan dan dijalankan secara
prosedural. Ini hanya benar dari perspektif kepastian hukum, tapi dalam
banyak hal kurang fokus pada substansi dan esensi pemberantasan korupsi itu
sendiri.
Secara empiris, banyak oknum-oknum tertentu diduga
melakukan korupsi, tapi tidak mudah dijerat hukum, diadili, dan dipersalahkan
karena terbentur hal-hal yang prosedural. Pemberantasan korupsi menjadi
kurang/tidak efektif. Alih-alih efektif justru para koruptor dibantu oknum
aparat penegak hukum dan ”pengacara hitam” semakin piawai menyiasati
kelabunya hukum prosedural tersebut. Dalam bingkai pemberantasan korupsi
secara progresif, perlu ada langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas ini antara lain berwujud
sinergitas antara KPK dan lembaga lain terkait.
Dimaksud sinergitas di sini adalah kultur yang mendorong
terwujudnya aktivitas bersama untuk saling mengisi dan melengkapi kekuatan
dan kelemahan masing-masing, demi pencapaian hasil yang optimal. Dalam
konteks pemberantasan korupsi, sinergitas berlangsung melalui kerja sama
saling pengertian antara kepolisian, TNI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung,
Peradi, lembaga pemasyarakatan, dan lembaga lain, seperti BPK, DPR, PPATK.
Layak diketahui bahwa sinergitas antarberbagai institusi
itu bukan hal baru, apalagi mengada-ada. Di AS, dalam rangka membangun
negerinya agar menjadi modern, Mahkamah Agung AS pernah melakukan rule
breaking. MA AS menempatkan pengadilan sebagai lembaga berwenang membuat
putusan eksekutif (government by the
judiciary). MA AS tampil elegan, tegar, dan tidak gusar atas langkah
tersebut, walaupun komunitas hukum lain negara mengkritiknya. Putusan itu sah
dan mampu membawa perubahan AS secara signifikan.
Bukan bermaksud mengekor AS, tetapi bila sinergitas
pemberantasan korupsi dapat terwujud di Indonesia, maka tidak ada lagi
kepolisian dicurigai masyarakat, tidak ada lagi ”pertempuran” antara advokat
melawan jaksa di pengadilan, tidak ada lagi koruptor tersenyum melambaikan
tangan seusai diperiksa KPK, tidak ada lagi ”hotel mewah” bagi koruptor di
lembaga pemasyarakatan. Koruptor merupakan musuh bersama, musuh bangsa dan
negara. Semua pihak wajib bersinergi memberantasnya. Jangan lagi ada
kasak-kusuk menafsir fakta-fakta hukum. Jangan lagi ada ”perang saudara”
antarsesama penegak hukum.
Progresivitas dan sinergitas itu kini telah dicontohkan
TNI dan KPK. Lembaga-lembaga pemerintahan yang selama ini merasa kebal hukum
mestinya mengikuti langkah-langkah TNI. Ketika anggotanya diduga terlibat
korupsi perlu didorong agar segera diproses hukum, jangan dilindungi,
disembunyikan dengan berbagai cara, jangan ada serangan balik, atau upaya
pelemahan KPK.
Bila kultur sinergitas terus dikembangkan dan
diaktualisasikan, dipastikan masa depan bangsa tertolong dari kehancuran
karena maraknya korupsi. Semoga! Wallahu’alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar