Lirih
Jeritan Alam
Sindhunata ; Wartawan; Pemimpin Majalah Basis
|
KOMPAS, 24 Mei 2017
Wir sind nur Gast auf Erden, kami hanyalah tamu di Bumi ini.
Begitulah sebuah judul lagu religius klasik di Jerman. Lagu karangan penyair
Georg Thurmair itu biasa dinyanyikan untuk mengiringi upacara penguburan.
Tapi sebenarnya dalam lagu tersebut tersimpan rasa perlawanan terhadap rezim
Nazi yang fasis: kita bukanlah penguasa, tapi hanyalah tamu di Bumi ini.
Kita hanyalah tamu di Bumi ini! Ini juga pernah disuarakan
Surono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana. Seperti pernah
dituturkan kepada wartawan muda Regina Safitri (2015), Mbah Rono, panggilan
akrab Surono, mengatakan, Bumi ada sejak 4,5 miliar tahun lalu, sedangkan
manusia datang ke Bumi dalam hitungan ribuan tahun lalu. "Artinya,
manusia hanyalah tamu dari Bumi ini." Itulah sebabnya, tambah Mbah Rono,
dalam lagu Indonesia Raya ada kata-kata "hiduplah tanahku, hiduplah
negeriku". Tanah mendahului negeri, artinya jika tanah didahulukan,
negerinya akan makmur.
Sebagai tamu di Bumi ini, manusia haruslah hormat dan
belajar pada Bumi sebagai tuan rumah. Dengan begitu, manusia dapat berlaku
arif, sopan, bisa hidup harmonis dan beroleh kearifan lokal. "Kearifan
lokal dibentuk dari budaya setempat, diturunkan oleh nenek moyang, maka harus
dijaga. Jika dihayati, kearifan lokal pasti mengandung nilai-nilai yang baik
bagi masyarakat," tutur Mbah Rono.
Kearifan lokal adalah inti budaya yang diberikan Bumi.
Karena itu, sebenarnya budaya bukanlah semata-mata bikinan manusia, tapi juga
anugerah Bumi terhadap manusia. Dan, karena Bumi di masing-masing tempatnya
adalah khas, demikian pula budaya yang diberikannya juga khas, berbeda satu
terhadap lainnya. Maka, meski sama-sama berada di Indonesia, bumi dan budaya
Madura lain dengan bumi dan budaya Jawa, lain lagi dengan bumi dan budaya
Sumatera, atau dengan Kalimatan, Sulawesi, dan Papua.
Indonesia membentang tepat di bawah garis khatulistiwa. Di
sini matahari bersinar tiada tandingnya. Terangnya menjadikan hijau dan subur
aneka ragam hayati, menjadi zamrud khatulistiwa. Menjadi lebih elok lagi,
karena keragaman hayati itu juga memberikan keragaman budaya, yang indah dan
khas pada diri masing-masing.
Bahwa kita tidak tahu, mengapa ada keragaman hayati itu,
demikian juga kita tidak tahu mengapa ada keragaman budaya bersamaan dengan
keragaman hayati itu. Di sini baik kita ingat kata-kata filsuf sejarah Oswald
Spengler, alam itu ada dalam keindahan yang hidup seperti digambarkan oleh
penyair Goethe, bukan mati seperti dalam rumusan prinsip-prinsip Newton. Lalu
bersama alam itu tumbuhlah kultur sebagai bunga-bunganya. Kata Spengler,
"Kultur tumbuh begitu saja, tak bisa ditentukan dan seakan tanpa tujuan,
persis seperti bunga-bunga tumbuh di ladang-ladang."
Kita tak dapat mencegah bunga yang satu tumbuh berbeda
dari bunga lainnya. Maka, kita juga tak dapat mencegah kultur yang satu
tumbuh berbeda dari kultur lainnya. Menyeragamkan kultur tidaklah mungkin,
setidak mungkinnya seperti kita menyeragamkan tumbuhnya bunga-bunga. Itulah
kearifan budaya yang diberikan oleh keanekaragaman alami zamrud khatulistiwa
bumi Indonesia ini.
Usaha menyeragamkan pastilah sia-sia karena kita akan
berhadapan dengan alam Indonesia yang tak mungkin bisa dan mau diseragamkan.
Atau kalau memaksakannya, dalam istilah Mbah Rono, "Kita hanya akan
menjadi manusia yang tak beradab, kurang sopan, dan tak menghormati tata cara
hidup sebagai tamu di hadapan bumi pertiwi Indonesia ini."
Dan, alam serta keragaman hayati budayanya pun takkan
diam, bila ia diinjak-injak untuk diseragamkan, seperti terjadi belum lama
ini. Protes alam ini menitik menjadi air mata, ketika baru-baru ini kita
menangis karena mendengar di mana-mana warga menyanyikan lagu-lagu
keindonesiaan.
Dalam lagu "Indonesia Raya", "Satu Nusa
Satu Bangsa", "Rayuan Pulau Kelapa", "Indonesia Tanah Air
Beta", alam Nusantara kita akui dan syukuri, kita puja, dan keragaman
budayanya kita terima sebagai anugerah. Tapi sudah lama, alam itu kita
khianati. Kita tak mampu lagi mendengar jeritannya. Hati kita yang penuh
kepentingan ini terlalu keras untuk mendengar tangisnya. Maka, alam pun menyelinapkan
tangisnya di mata kita, memaksa kita mengaku bahwa kita telah bersalah karena
menyangkali keragaman kita. Mengapa tangis itu begitu mengharukan? Karena
tangis itu bukanlah tangis kita, tetapi tangis kedahsyatan alam Indonesia
yang sedang menjeritkan penderitaannya.
Sungai cinta
Pada dirinya alam adalah harmonis. Dan bila terganggu,
alam selalu bisa mengembalikan keharmonisan dirinya. Maka, jika kita belajar
pada alam, keharmonisan pula yang akan kita peroleh darinya. Ini misalnya
terjadi dalam fenomena menyatunya Kali Opak dan Kali Progo menjadi Selokan
Mataram di Yogyakarta pada 1981. Para sesepuh bumi Mataram percaya, suatu
saat Kali Opak dan Kali Progo akan bersatu. Bila perkawinan itu terjadi, bumi
Mataram akan makmur dan damai. Upaya "perkawinan" itu dikerjakan
sejak zaman Belanda, dilanjutkan di zaman Jepang dan awal Republik Indonesia,
tapi baru terwujud sepenuhnya pada 1981 dengan selesainya pembangunan Selokan
Mataram. Karena Selokan Mataram, irigasi menjadi lebih lancar, sawah-sawah mendapat
cukup air, dan pertanian menjadi lebih makmur.
Namun, menurut para sesepuh, perkawinan Kali Opak dan Kali
Progro itu punya makna yang lebih daripada sekadar manfaat material belaka.
Kata mereka, digali dari maknanya, Opak itu berkenaan dengan lakuning urip,
perjalanan hidup. Sedangkan Progo berkenaan dengan sangkan paran, atau tujuan
hidup. Perjalanan hidup ini harus mengarah ke satu tujuan, yaitu manunggal
atau menjadi satu dengan tujuan hidup. Itulah yang dilambangkan dengan
tempuk-nya atau kawinnya Kali Opak dan Kali Progo. Bila kemanunggalan itu
terjadi, penduduk bumi Mataram akan hidup lebih harmonis, damai dan bahagia.
Kisah serupa ternyata terjadi juga di Nigeria. Di sana ada
dua sungai, Sungai Benue yang airnya kehijau-hijauan, dan Sungai Niger yang
airnya ke kuning-kuningan. Dua sungai itu berbeda sumbernya. Toh keduanya
mengalir dan kemudian menjadi satu di Lokaja, sebelah selatan dari pusat
Nigeria. Realitas alam ini menjadi inspirasi bagi Chidi Kwubiri, seorang
seniman Nigeria, untuk menciptakan karya lukisnya. Dan ia memberi judul
lukisannya: "Aku Ada, Karena Kamu Ada".
"Juga bila asal kita berbeda, dan kita mempunyai
identitas yang berbeda-beda, kita tetaplah kita. Kita mengarah pada yang
lain, dan berkata, aku ada, karena kamu ada," kata Kwubiri. Dalam
karyanya dilukiskan dua figur manusia yang serupa. Hanya warna dan latar
belakangnya berbeda. Yang satu kehijau-hijauan, dan yang lain
kekuning-kuningan. Figur yang hijau meletakkan tangannya pada bahu figur yang
kuning, dan tangannya menjadi kuning. Sedangkan figur yang kuning meletakkan
tangannya pada bahu figur yang hijau dan tangannya menjadi hijau.
Kedua kontras warna itu menggambarkan batas yang
memisahkan. Namun, batas itu ternyata bisa menjadi jembatan yang
mempersatukan, bila manusia yang berbeda mau saling menyapa, berpandangan,
dan meletakkan tangannya pada bahu satu sama lainnya. "Perjumpaan mereka
yang saling berbeda akan menjadi kekuatan tak terkira, seperti kekuatan
karena bersatunya dua kekuatan alam yang berbeda," kata Kwubiri.
Perjumpaan itu merobohkan batas yang memisahkan. Karena
perjumpaan itu sesungguhnya adalah cinta. Lukisan Kwubiri itu seakan
mengungkapkan puisi sufi agung Rumi, yang menyeru agar kita mau mengalahkan
akal dengan cinta. Kata Rumi, akal bilang pada kita, arah-arah itu
menunjukkan batas, yang adalah sebuah akhir, sementara cinta berkata, tidak,
tak ada batas di sana, selalu ada jalan di sana, dan aku sering melaluinya.
Gila harta dan kuasa
Lukisan Kwubiri itu telah merekam ajaran alam tentang cinta.
Tapi alam juga mengajari kita tentang derita. Inilah pesan dalam pameran
perupa Budi Ubrux, berjudul "Rajakaya", di Taman Budaya Yogyakarta,
18-31 Mei 2017. Di sana Ubrux memasang sejumlah patung sapi, dan membuatnya
jadi seperti pasar sapi. Di Jawa, bersama ayam, bebek, mentok, kambing, dan
kerbau, sapi disebut rajakaya. Artinya, sapi adalah milik yang bisa
memberikan kaya pada pemiliknya. Secara khusus, sapi disebut rewange wong
tani, pembantu para petani. Orang di pedesaan Jawa juga percaya, sapi itu
adalah ingon-ingone atau hewan piaraan Nabi Sulaiman, yang diserahkan pada
petani untuk membantu mereka bekerja. Karena itu, sapi harus dirawat dan
dihargai. Di beberapa desa Jawa Tengah, penduduk menjalankan amanah itu,
misalnya dengan mengadakan selamatan atau lebaran sapi.
Akhir-akhir ini derajat sapi sebagai rajakaya sungguh
turun. Berita-berita gencar mengeluhkan nasib peternak sapi lokal. Peternakan
sapi lokal lesu dan terancam bangkrut. Mereka tak berdaya dalam bersaing
dengan produk daging sapi impor. Celakanya, perdagangan daging sapi impor
merupakan lahan subur bagi praktik korupsi. Tentu saja ini juga berakibat
pada makin terpojoknya produk daging sapi lokal. Pemerintah kelihatannya
belum serius mewaspadai kejadian ini, apalagi mengambil tindakan tegas untuk
mengawasi peredaran daging impor. Jika dibiarkan, peternak sapi lokal
terdemotivasi, dan kehilangan hasrat memelihara dan berdagang sapi (Kompas,
29/4/17).
Maka, perhatikanlah nasib sapi lokal itu! Kiranya, itulah
pesan Ubrux lewat instalasi pasar sapinya. Ubrux tak membiarkan sapinya
tinggal polosan. Ia melukisi sapinya dengan segala macam tanaman hasil bumi
petani: cabai hijau dan merah, bawang putih, brambang, kol ungu, laos, kunir,
jambu mete, pisang, pepaya, belimbing, bengkoang, kesemek, nanas, srikaya,
ubi, ketela, jagung, padi. Segala kekayaan desa jadi kelihatan di atas tubuh
sapi-sapi. Di tubuhnya juga kelihatan gambar perempuan-perempuan desa gembira
menabuh lesung karena panenannya. Sapi itu jadi tampak sebagai pembawa
pengharapan dan kegembiraan mereka.
Sesuai ciri khas lukisnya, Ubrux lalu membungkus
kepala-kepala sapinya dengan cetakan koran. Segala simpang-siur berita harian
koran yang memusingkan hidup menjadi bagian dari diri sapi itu. Ini jadi
menimbulkan kesan, betapa berat "beban pikiran" yang harus
ditanggung sapi-sapi itu dalam kepalanya. Berita tentang harga tak
terkendali, dualisme pimpinan, dana yang tersampir di pusat, lintah darat dan
tuan tanah yang tertangkap, sulitnya kredit pupuk, turunnya harga gabah, dan
kenaikan harga kebutuhan pokok, semuanya itu tercetak di kepala sapi-sapi
itu.
Lewat kepalanya yang terbungkus koran, sapi-sapi seakan
ingin menyuarakan amanat penderitaan rakyat. Sementara sapi-sapi itu sendiri
juga ingin bicara dan memperdengarkan nasibnya, bahwa sekarang ini mereka
bukan lagi rajakaya, tetapi sekadar komoditas setaraf barang produksi belaka.
Tragika sapi ini dipertajam lagi dengan instalasi berikut.
Ubrux memasang sepasang sapi, yang menarik mobil. Menghela
cikar atau gerobak, itu adalah normal buat sapi. Tapi menghela mobil? Ini
sungguh suatu keterlaluan. Apalagi mobil itu adalah mobil BMW. Mobil itu
sudah punya mesin untuk bisa berjalan, mengapa mobil itu masih harus ditarik
sapi? Kecepatan mobil itu puluhan kilometer per jamnya. Masihkah mobil ini
harus meminta pertolongan sapi yang jika menarik gerobak paling-paling bisa
hanya berjalan 2-3 kilometer per jam? Betapa teganya perbudakan modern itu.
Instalasi Ubrux ini tiba-tiba mengingatkan, sapi itu
bukanlah sekadar sapi. Sapi itu adalah rakyat. Dari dulu sampai sekarang,
rakyat itu harus terus menghela beban. Bahkan di zaman sekarang ini, rakyat
juga masih harus menarik mereka yang kaya, agar mereka tetap bisa
berleha-leha dan bersenang-senang dengan "kendaraan kemewahannya".
Sapi-sapi rakyat itu bukan hanya menarik ambisi gila harta
para penguasa dan mereka yang kaya, tapi juga harus menghela ambisi gila
kuasa politik mereka. Sapi-sapi itu dijadikan budak penghela kereta politik
mereka. Jika terlalu diam, sapi-sapi itu dicambuki dengan pecut-pecut
provokasi, kalau perlu dengan menghalalkan kekerasan. Para penguasa politik
itu menjanjikan kebebasan. Namun diam-diam, menyiksa sapi-sapi itu menjadi
ciptaan ternista yang tanpa kebebasan.
Waktu itu, 3 Januari 1889, Friedrich Nietzsche keluar dari
pondokannya, mau pergi berjalan-jalan. Saat-saat itu ia sedang berada dalam
gangguan jiwa yang sudah akut. Ia pergi menuju Plazza Carlo Alberto di kota
Turin. Di sana ia melihat, bagaimana kusir dengan amat brutal memecuti kuda
penarik keretanya. Nietzsche menangis, dan dengan meratap ia memeluk kuda itu
penuh iba.
Tak tahu apa yang terjadi pada saat itu. Mungkin ia
melihat segalanya jadi sia-sia. Sepanjang hidupnya ia terbayang-bayang akan
"manusia super", manusia yang mengatasi kepicikan, keterbatasannya,
manusia yang tidak seharusnya kalah dengan Tuhan yang membatasinya. Sekarang
dengan melihat penderitaan binatang berupa kuda itu, semuanya rontok,
semuanya seakan percuma. Sia-sialah pencapaiannya, sia-sialah kidung
Übermensch dan Zarathustra-nya. Melihat kuda yang menderita itu, Nietzsche
menangis, memeluknya, dan kemudian rebah. Ia telah menjadi sungguh-sungguh
gila.
Di Pasar Sapi Ubrux ini, kita melihat bahwa sepasang sapi
kelelahan menarik mobil BMW mewah. Sungguh sebuah pemandangan gila. Ironi itu
membuat kita bertanya: jangan-jangan hidup ini sudah menjadi gila, sampai
para penguasa dan mereka yang kaya membuat tindakan demikian tidak masuk
akal, memaksa sapi menghela kereta gila harta dan kereta gila kuasa politik
mereka? Kita merasa, sapi-sapi itu bukan lagi sapi, tapi alam bumi Indonesia
yang sedang menjeritkan nasib rakyat kecil yang menderita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar