Surga
bagi Yang Menderita
Tom Saptaatmaja ; Teolog;
Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
|
JAWA
POS, 25
Mei 2017
SEBAGAIMANA agama-agama lain, Kristen yang dibawa Yesus
juga percaya akan surga. Bahkan, setelah menyelesaikan misi-Nya, Yesus naik
ke surga, sebagaimana bisa dibaca dalam Perjanjian Baru.
Menariknya, Yesus menunjukkan bahwa surga bukan hanya
persoalan eskatologis atau terkait pada suatu masa pada masa mendatang,
tetapi surga itu harus dimulai ’’hic et
nunc’’ (sekarang dan di sini). Itu tampak dalam ’’datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga’’ (Matius 6: 10).
Bukan hanya lewat ajaran seperti itu, Yesus juga
menunjukkan surga dengan mukjizat. Orang buta dibukakan matanya, orang lapar
diberi makan, orang lumpuh bisa berjalan, orang sakit disembuhkan, dan bahkan
orang mati dibangkitkan-Nya.
Apa yang dilakukan Yesus tersebut kemudian menjadi
inspirasi bagi banyak orang untuk mengupayakan terwujudnya surga di dunia.
Sayang, yang kerap hadir justru neraka penderitaan akibat berbagai
permasalahan, mulai gangguan jiwa seperti depresi, penyakit, hingga
kemiskinan.
Depresi dan Bunuh Diri
Penderitaan itu nyata ketika orang takut akan
ketidakpastian masa depannya sehingga akhirnya depresi. Bahkan, depresi sudah
menjadi pandemi global. Depresi memang menjadi pionir empat besar beban
kesakitan dunia yang diprediksi menjadi ledakan hebat pada 2020 dan 2030.
Akibat depresi, banyak orang yang tergoda melakukan bunuh
diri. Menurut WHO, setiap 40 detik ada satu orang yang melakukan bunuh diri.
Itu merupakan angka yang sangat besar.
Bunuh diri bahkan kian dijadikan ’’gaya hidup’’, disiarkan
langsung di internet. Bunuh diri pun mudah menular. Dalam dunia psikologi,
hal itu disebut ’’Werther effect’’. Sebutan tersebut berasal dari nama tokoh
fiktif dari novel Goethe, penulis ternama pada akhir abad ke-18.
Dalam novelnya, The Sorrows of Young Werther, Goethe
berkisah tentang tokoh protagonis Werther yang sengaja bunuh diri setelah
cintanya kepada tokoh utama perempuan gagal. Dalam waktu singkat setelah
novel tersebut beredar, tindakan Werther ditiru banyak pembacanya dengan
memakai pakaian dan cara mati yang serupa dengan yang dilakukan Werther.
Dampak lain depresi adalah alienasi atau keterasingan
sehingga orang kehilangan arti hidup. Hidup menjadi tak bermakna atau hampa.
Orang pun tergoda untuk bertindak brutal, biadab, serta nekat demi memberi
makna pada hidupnya meski berkahir sia-sia.
Kemiskinan dan Kerakusan
Kejahatan dan neraka juga tampak pada masih banyaknya
orang miskin. Mungkin kita masih ingat peristiwa menggemparkan sekaligus
memilukan di Semarang pada pengujung 2013. Bayangkan, seorang tukang becak
yang bernama Samidi, 60, meninggal setelah makan nasi basi. Dia mengembuskan
napas terakhir persis di bawah gambar calon legislatif (caleg) yang
menjanjikan kesejahteraan. Samidi menjadi simbol kejamnya penderitaan karena
kemiskinan.
Memang ada beragam perspektif dalam memandang kemiskinan.
Kaum konservatif dengan tokohnya seperti Auguste Comte atau Emile Durkheim
berpendapat bahwa kemiskinan terjadi karena mentalitas orang-orang miskin.
Karena itu, kaum liberal dengan tokoh seperti Fredrich August Von Hayek
(1889–1992) berpendapat, untuk mengatasi kemiskinan, mentalitas orang-orang
miskin harus diubah lewat pendidikan.
Sementara itu, menurut model konflik dengan tokoh seperti
Adam Smith atau Karl Marx, struktur sosial merupakan hasil pemaksaan mereka
yang kuat atas yang lemah. Hal itu menemukan pembenarannya jika kita kaitkan
dengan fasisme abad ke-21 sebagaimana yang diungkapkan Peter Philips.
Menurut analisis Peter Philips, sebuah kekuasaan yang amat
rakus sudah menindas miliaran orang di berbagai belahan penjuru dunia. Aktor
utama kekuasaan itu adalah sebuah kelas kapitalis trans-nasional yang punya
aset kekayaan senilai USD 100 triliun. Mereka sangat agresif merampok sumber
kekayaan alam di mana pun. Mereka memiliki segala sarana dan prasarana untuk
menjalankan kekuasaan.
Konyolnya, ada yang berpendapat, kaum penjajah fasisme abad
ke-21 itu hanya ilusi. Padahal, kalau kita kaitkan dengan kekayaan alam
negeri kita yang melimpah, seharusnya rakyat bisa sejahtera. Jadi, kalau
sampai ada yang miskin, berarti ada pihak yang sangat serakah, yakni kaum
fasis itu.
Keserakahan memang menjadi masalah terbesar dewasa ini.
Keserakahan bersumber dari egoisme. Keserakahan membuat orang tidak bahagia
karena tak ada yang bisa memuaskan. Selalu mau lebih. Tak pernah ada
batasnya.
Maka dalam Sabda Bahagia di bukit (Matius 5-7), Yesus
antara lain mengajarkan agar orang sungguh berani menjauhi segala bentuk
nafsu untuk memiliki dan tidak takut untuk berbelas kasih, berbelarasa, dan
memberi. Hanya dengan cara itu surga bisa kita wujudkan dan yang menderita
bisa kita bantu dan entaskan dari neraka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar