Kenaikan
Isa Al Masih, Ramadan, dan Persaudaraan
Tom Saptaatmaja ; Teolog Alumnus Seminari St
Vincent de Paul dan Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang
|
KOMPAS, 24 Mei 2017
ADA dua peristiwa keagamaan yang berdekatan bulan ini.
Pada 25 Mei 2017, umat kristiani merayakan kenaikan Isa Al Masih (Yesus
Kristus). Pada 27 Mei 2017, umat Islam mulai memasuki bulan suci Ramadan
untuk berpuasa sebulan penuh. Peristiwa kenaikan Yesus terjadi 40 hari
setelah Paskah. Yesus terangkat naik ke langit kemudian hilang dari pandangan
setelah tertutup awan. Kenaikan itu disaksikan murid-murid-Nya, seperti
dicatat Perjanjian Baru. Setelah kenaikan itu, umat kristiani (juga Islam)
yakin Yesus atau Isa Al Masih masih akan datang kembali pada Hari Kiamat.
Tentu bukan sebuah kebetulan jika perayaan kenaikan Yesus
dan bulan Ramadan tahun ini berdekatan. Boleh jadi, kedekatan ini punya pesan
agar kita umat Kristen dan muslim mau terus belajar membina kedekatan dan
persaudaraan. Terlebih di negeri yang majemuk ini, kedekatan atau adanya
relasi yang baik antara umat kristiani dan muslim menjadi vital sekali bagi
perjalanan bangsa ini.
Kita sudah melihat sendiri bagaimana politisasi agama
dalam pilkada, misalnya, sungguh sangat mengganggu kehidupan bersama kita dan
menimbulkan kegaduhan yang hingga detik ini belum mereda setidaknya di
medsos. Maka seiring dengan kenaikan Yesus dan Ramadan, kedua umat samawi ini
perlu mencari pijakan untuk membangun hidup bersama di negeri ini dengan terus
saling menyapa, mengupayakan dialog dan persaudaraan agar bisa berkontribusi
bagi bangsa.
Jika masih ada rasa jemu atau keengganan untuk memulai
pendekatan, kita seharusnya sadar bahwa dalam relasi apa pun, bahkan di dalam
keluarga dan antara saudara kandung saja, bisa terjadi gesekan atau konflik.
“Pernahkah ada suatu zaman dalam sejarah manusia yang luput dari konflik?”
tanya Ralph l Holloway (1967).
Memang ada orang yang tergoda untuk terus memelihara
konflik dengan berbagai argumentasi termasuk argumentasi teologis guna
melestarikan konflik termasuk dalam relasi Kristen-Islam. Namun, cendekiawan
muslim Mohammad Arkoun mengingatkan sudah saatnya umat Islam dan Kristen
meninggalkan pendekatan konflik atau cara pandang antagonistis. Dalam buku Islam, Modernism and The West, Arkoun
berharap agar cara pandang yang hanya mempertentangkan ditinggalkan dan
sebaiknya lebih fokus pada kerja sama.
Peristiwa positif
Lagi pula dalam sejarah sebenarnya cukup banyak peristiwa
positif lain dalam relasi Kristen-Islam. Nabi Muhammad SAW pada abad VI,
misalnya, sudah mengajarkan bagaimana harus menyikapi perbedaan agama tanpa
bersikap diskriminatif. Ini bisa dilihat dari adanya Pakta Madinnah yang
terkenal itu. Apalagi Nabi Muhammad memahami wahyunya sebagai kelanjutan dan
pemenuhan dari tradisi alkitabiah Yahudi dan Kristen.
Rasa hormat beliau terhadap tradisi alkitabiah sungguh
diperlihatkan dalam ajarannya. Misalnya dalam Surah Al-Maidah ayat 82 ada
imbauan umat Islam bersahabat dengan umat Nasrani: “Sesungguhnya kamu dapati
orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman
ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu
dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman
ialah orang-orang yang berkata: ’Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’. Yang
demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani)
terdapat para pendeta dan rahib, (juga karena mereka sesungguhnya mereka
tidak menyombongkan diri.” Ayat itu secara tegas menunjukkan betapa umat
Nasrani adalah kaum yang dipandang memiliki kedekatan dengan umat Islam.
Nabi junjungan umat Islam berani memberi jaminan kebebasan
dan toleransi khususnya pada umat kristiani, yang ditandatangani beliau,
berangka tahun 628 Masehi dan masih disimpan di Biara Santa Katarina di
Sinai, Mesir (http://www.islamic-study.orgsaint_catherine_monastery
.htm). Silakan tonton jaminan itu di Youtube. Contoh lagi, ketika Islam
mengalami zaman keemasan, para cendekiawan atau pemimpin Kristen di Timur
juga ikut berperan. Misalnya, pada zaman kekalifahan Abbasiyah dengan kafilah
Al Mahdi (775-785) dan Harun al-Rasyid (785-809) yang disebut 'Golden Age'
dalam sejarah Islam, para cendekiawan atau tabib Kristen biasa keluar masuk
istana Kalifah al-Mahdi dan Harun al-Rasyid. Goenawan Mohamad dalam
capingnya, Baghdad, juga menulis bagaimana kafilah Al Makmun (830) menyuruh
Hunain bin Ishaq, seorang tabib Kristen, untuk mengoordinasi proyek
penerjemahan risalah-risalah dari bahasa Aram, Pahlavi, dan Yunani ke dalam
bahasa Arab (Tempo, 17-23 Februari 2003).
Dari Baghdad, proyek terjemahan itu juga menular ke Toledo
di Andalusia pada abad XII. Pada akhirnya Toledo lebih bersinar. Banyak buku
yang ditulis para filsuf Islam seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu
Rusyd, dan banyak lainnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Andalusia,
khususnya Toledo, banyak dikunjungi para pelajar Eropa. Dan setelah
menyelesaikan studinya di Toledo, mereka kembali ke kampung halaman. Eropa
yang semula ketinggalan zaman akhirnya bisa lahir kembali dan maju. Jelas
dalam kemajuan ini ada kontribusi pemikiran Islam.
Semoga menginspirasi
Karena itu, gereja Katolik di bawah Takhta Suci Vatikan
selama ini sangat setuju dengan pendapat Arkoun untuk lebih mengedepankan
pendekatan kerja sama atau sinergi dalam relasi gereja dengan Islam. Namun,
bukan berarti gereja hendak menutup mata pada fakta sejarah yang getir
terkait dengan relasinya dengan Islam di masa silam. Dalam dokumen Nostra
Aetate (terbit 1965), gereja sudah menyampaikan permohonan maafnya pada Islam
dan bahkan mengakui kebenaran dalam Islam.
Takhta Suci juga sudah membentuk Pontifical Council for Interreligious Dialogue atau Dewan
Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama. Tiap tahun dewan ini rutin
menyampaikan ucapan selamat berpuasa atau berlebaran. Tahun lalu dewan
kepausan yang dibentuk sejak 1965 itu juga mengundang puluhan tokoh agama
termasuk Din Syamsuddin untuk berdoa bersama di Assisi, Italia (20/9/2016).
Din yang juga menjabat sebagai Direktur Center
for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) itu mengutip
Surah Ali Imran ayat ke-64, mengajak umat berbagai agama, khususnya Yahudi
dan Kristen, berpegang teguh pada landasan tunggal yang sama (‘kalimatun
sawa’), yaitu dengan mengabdi hanya kepada Tuhan yang esa dan bekerja sama
untuk kemaslahatan dunia. Paus Fransiskus amat terkesan atas sambutan Din.
Kedua tokoh lalu berjabat tangan erat. Bahkan Din memohon Paus mendoakannya
dan mendoakan Indonesia. Seiring dengan kenaikan Yesus dan Ramadan, semoga
contoh-contoh positif di atas menginspirasi kita untuk membangun relasi
harmonis dalam kehidupan sehari-hari demi Indonesia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar