Pelarangan
Cantrang
Muhamad Karim ; Dosen Bioindustri Universitas
Trilogi;
Direktur Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Mei 2017
KEBIJAKAN pelarangan cantrang (salah satu jenis alat
penangkapan ikan) lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP)
No 2/2015 telah menimbulkan kontroversi panjang di ruang publik. Soal
cantrang ini bukan aspek kebijakannya, melainkan telah menjadi komoditas
politik yang tidak jelas juntrungannya. Apakah mereka yang menyoal cantrang
memahami dampak pengoperasian alat tangkap itu?
Dinamika cantrang
Secara historis, pelarangan cantrang sudah berlangsung
empat dekade semenjak keluarnya Keppres 39/1980 yang melarang trawl
beroperasi di perairan RI. Pelarangan trawl disebabkan perairan Selat Malaka
dan Pantai Utara Jawa mengalami tangkap lebih dan memicu konflik nelayan.
Namun, pada 1997, pemerintah lewat Keputusan Dirjen Perikanan No
IK.340/DJ.10106/97 memperbolehkan cantrang, arad, otok, dan garuk kerang
untuk nelayan kecil ukuran kapal 5 GT dengan mesin 15 PK. Ukuran mesh
size-nya >1 inci tanpa otter board, bobin, dan rantai pengejut.
Dalam perkembangannya sejak 1997, alat tangkap mengalami
modifikasi sehingga pada 2010 Menteri KP mengeluarkan Keputusan Menteri KP
06/2010 yang mengatur alat penangkapan ikan (API) mengacu salah satu jenis
API. Lewat aturan itu, cantrang masuk API kategori pukat tarik bersama dogol,
scottish seine, payang, dan lapmara dasar.
Pada 2011, pemerintah lewat Menteri KP kembali
mengeluarkan Permen No 2/2011 jo No 8/2011 jo No 18/2013 jo No 42/2014 yang
mengatur jalur penangkapan ikan dan penempatan alat tangkap ikan serta alat
bantunya di WPP-NRI. Kebijakan itu pun
sejak KKP hingga 2014 masih memperbolehkan cantrang dengan mensyaratkan
ukuran mata jaring kanting >2 inci (50,8 mm) dan beroperasi di atas 4 mil
jalur II dan III ukuran kapal < 30 GT. Dalam praktiknya, banyak kapal
beroperasi di jalur yang menjadi wilayah tangkap nelayan tradisional sehingga
menimbulkan konflik. Artinya dalam kurun 1997-2014 cantrang diperbolehkan
beroperasi di WPP-NRI dengan persyaratan tertentu. Cantrang baru dilarang
sepenuhnya pada 2015 lewat Permen KP No2/2015 yang diperbarui dengan Permen
KP No 71/2016. Pemerintah memberi masa tenggang pergantian ke alat tangkap
lain hingga Juli 2017.
Dampak cantrang
Beroperasinya cantrang di perairan RI berdampak bagi
sumber daya ikan dan masyarakat pesisir khususnya nelayan. Pertama, upaya
penangkapan ikan cantrang sejak 2004-2007 mengalami penurunan dari 8,66
(2014) ton menjadi 4,84 ton (2007). Artinya, cantrang menyebabkan penurunan
sumber daya ikan di pantai utara Jawa. Hal itu sejalan dengan riset Cahyani
(2013) di perairan Demak yang menemukan ikan demersal hasil tangkapan
cantrang dengan ukuran kapal 5-10 GT berukuran kecil, fekunditasnya
(kemampuan bereproduksi) rendah dan didominasi jenis ikan petek, layur,
tigawaja, kuniran, dan swanggi.
Ditambah lagi tingkat kematangan gonadnya (TKG)
bervariasi, yaitu ikan petek (TKG III), ikan layur dan ikan tigawaja (TKG
IV), serta ikan kuniran dan swanggi (TKG I) sehingga bakal memengaruhi proses
regenerasi ikan. , lewat metode analisis Schaeffer ia mendapatkan nilai
maximum sustainable yield (MSY)-nya mencapai 854,07 ton per tahun dengan
upaya tangkap optimum 831 unit cantrang. Apa yang terjadi selanjutnya?
Tingkat pemanfaatan ikan demersal di perairan ini sudah
mencapai 80,47% atau penangkapan lebih. Apakah membiarkan cantrang beroperasi
mampu menjaga proses regenerasi sumber daya ikan dan keberlanjutan
ekosistemnya bila becermin dari fakta ini?
Kedua, tingginya tangkapan sampingan akibat alat tangkap
cantrang. Setidaknya ada dua faktor empiris. (i) Riset IPB (2009) di Brondong
menemukan dengan penggunaan alat tangkap cantang diperoleh ikan target 51% (9
spesies) dan sampingan 49% (16 spesies). (ii) Riset Undip (2008) menemukan
tangkapan target 46% dan sampingan 54% (21 spesies didominasi petek).
Secara umum, kerugian akibat losses 18%-40% hasil
tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi,
60%-82% adalah tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan, sehingga sebagian
besar tangkapan dibuang ke laut dalam keadaan mati (KKP, 2017).
Ketiga, terjadinya konflik horisontal akibat perebutan
daerah penangkapan ikan antara kapal cantrang yang melanggar ketentuan jalur
penangkapan (4-12 mil) dan nelayan noncantrang.
Keempat, pengoperasian kapal cantrang yang masuk kategori
markdown telah menimbulkan kerugian negara akibat pemiliknya tidak membayar
pendapatan negara bukan pajak dan menggunakan BBM subsidi yang semestinya
buat nelayan tradisional. Total kerugian negara diperkirakan mencapai Rp10,44
triliun (2015) dan Rp13,17 triliun (2016) akibat hasil tangkapan yang tidak
selektif (KKP, 2017).
Dengan demikian, pelarangan cantrang bagian dari
pemberantasan illegal, unreported and
unregulated fishing (IUUF) di perairan RI karena kategori unregulated.
Bennet et al (2015) menyebut IUUF sebagai tindakan perampasan sumber daya dan
ruang laut.
Kelima, pengoperasian cantrang yang mengeruk dasar
perairan dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang merusak lokasi
pemijahan biota laut dan dasar laut. Norse (1993) dalam Dahuri (2003)
berpendapat pengoperasian trawl (lebar mulut pukat 20 m) selama 1 jam dan
ditarik dengan kecepatan 5 km per jam merusak dasar laut seluas 2 km2.
Langkah strategis
Agar kebijakan cantrang ini tidak melebar menjadi
komoditas politik, pemerintah perlu mengambil langkah strategis. Pertama,
memastikan pergantian alat tangkap ke jenis ramah lingkungan tepat sasaran
dan memberikan pendampingan kepada nelayan terutama yang belum mendapatkannya
sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian. Kedua, memetakan nelayan yang
benar-benar mengoperasikan cantrang dan butuh penggantian dengan pihak yang
menunggangi nelayan. Jangan sampai yang mengkritisi kebijakan hanya
menjadikan sebagai komoditas politik untuk memuluskan agenda terselubung.
Ketiga, perlu menghitung pendapatan bagi hasil nelayan
(pemilik kapal) dan buruh nelayan yang mengoperasikan cantrang dengan ukuran
kapal > 30 GT. Jangan sampai buruh nelayan justru tidak mendapatkan
pendapatan layak dan tetap miskin. Apakah para pemilik kapal (juragan)
memberikan kesejahteraan yang adil bagi buruh nelayannya. Alat tangkap yang
digunakan makin lama kemampuan operasionalnya berkurang, sedangkan bagi
hasilnya tetap. Artinya, buruh nelayan tetap dalam kemiskinan struktural
akibat hubungan patron client tidak adil.
Hitungan semacam ini akan membuktikan klaim nelayan makin
miskin sesungguhnya miskin akibat pola sistem bagi hasil tidak adil dan
hubungan patron client yang mencekik.
Jadi, KKP yang nantinya memberikan bantuan kapal mampu
membebaskan nelayan dari ketergantungan dan kemiskinan struktural semacam
ini. Keempat, memberi pemahaman kepada publik soal dampak buruk cantrang
lewat televisi, film, media sosial, maupun video daring hingga pendekatan
budaya (wayang). Dengan itu, kebijakan pelarangan cantrang dipahami dan
mendapatkan dukungan publik, terutama nelayan, untuk bergotong royong menyelamatkan
sumber daya ikan dan ekosistemnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar