Saatnya
Kita Ikut Bicara untuk Keselamatan Bangsa
Imam B Prasodjo ; Sosiolog Universitas Indonesia
|
DETIKNEWS, 23 Mei 2017
Selama masa Pilkada DKI, ada sebagian dari kita (termasuk
saya) mencoba menahan diri tak banyak bicara di media karena apa pun yang
kita katakan, terasa lebih banyak membawa "mudharat" daripada
"manfaat" bagi persaudaraan kita sesama warga bangsa. Namun, melihat
kondisi akhir-akhir ini yang semakin mengkhawatirkan, kini mungkin saat yang
tepat, kita harus bicara bersama-sama, mencegah potensi konflik horizontal
yang kelihatannya dapat setiap saat terjadi.
Pengalaman kita pascareformasi, khususnya 1999 hingga
2003, sungguh harus menjadi pelajaran kita bersama. Saya masih terbayang dan
ikut merasakan kepedihan orang-orang tak berdosa, para korban konflik di
Ambon, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Kalimantan, yang saat itu harus
hidup di tenda-tenda pengungsian. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak,
kaum perempuan dan para warga lanjut usia. Kehidupan mereka yang sebelumnya
tenang, penuh kedamaian, tiba-tiba mencekam penuh was-was, sehingga terpaksa
mereka harus pergi menyelamatkan diri, menjadi mengungsi di mana pun arah
kaki berlari.
Sungguh pertikaian terbuka yang sarat dengan sentimen
kesukuan, ras dan agama telah memporak-porandakan kedamaian kehidupan kita.
Amarah dan dendam terasa begitu bergemuruh membakar nafsu untuk saling
melukai dan bahkan saling membunuh karena harga diri kita sebagai manusia
merasa disinggung dan direndahkan. Suara keras, lantang, saling melecehkan
dan merendahkan yang kita saling lontarkan, tanpa terasa telah menusuk hati
kita masing masing. Kita pun lupa, kita sesama saudara warga bangsa yang
pasti akan terus hidup berdampingan. Konflik besar terbuka 15-18 tahun lalu,
yang sesungguhnya belum lama mereda, saat ini seperti terlupakan.
Dengan melihat kejadian akhir-akhir ini, banyak orang
bertanya, akankah kita ulangi pertikaian itu? Akankah bangsa ini harus
mengalami derita yang jauh lebih tragis karena kita akan saling berbunuhan
lebih dahsyat hingga menghancurkan masa depan kehidupan anak-anak kita?
Akankah kita menjadi bangsa pengungsi yang harus pergi dari negeri sendiri karena
di negeri sendiri rasa aman tak ada lagi? Ke manakah nanti kita harus
melarikan diri, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, New Zealand ataukah
Australia?
Saat ini, suara-suara keras saling melukai, terdengar
kembali, bahkan terasa berulang-ulang diviralkan dengan bantuan teknologi
komunikasi. Apa yang harus kita lakukan? Setidaknya untuk sementara, saat ini
perlu kita tunda mencari siapa yang memulai kekalutan ini dan siapa yang
bersalah. Bila ini dilakukan juga, pasti perdebatan berkepanjangan akan
terjadi, masing-masing pihak mencari berbagai alasan untuk membela diri, tak
mau disalahkan, dan mau menang sendiri.
Mungkin, yang penting dilakukan saat ini, masing-masing
kita harus berusaha keras instrospeksi dan menahan diri untuk tidak menambah situasi
menjadi lebih runyam. Itu saja dulu dilakukan sambil berharap nasib baik
masih ada pada negeri ini. Tentu kita tak ingin konflik horizontal seperti
dulu terjadi di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan terulang
lagi. Dan, lebih tidak kita inginkan bila di negeri kita terjadi kehancuran
seperti yang terjadi di Irak dan Suriah hari ini. Bukankah kita dapat melihat
dengan kasat mata negeri itu hancur sehancur-hancurnya, dan bahkan
bangsa-bangsa itu terancam punah?
Saat kita bicara seperti ini, memang masih saja ada yang
bilang, "Kita bukan Suriah. Hal seperti itu tak mungkin terjadi di
negeri kita." Tapi ingat, beberapa tahun lalu, banyak warga Suriah juga
tak pernah terbayang negara mereka akan seperti sekarang ini. Siapa yang
terbayang bangsa Irak dan Suriah menjadi bangsa pengungsi yang
"mengemis" untuk dikasihani? Mereka hancur seperti saat itu karena
mereka tak mampu menahan diri, gagal bersama-sama mencegah kehancuran
bersama.
Sebelum kejadian buruk seperti itu terjadi, harus ada pihak
di negeri kita yang dengan sungguh-sungguh berupaya mencegahnya. Perlu banyak
orang mengingatkan bahwa kehancuran bangsa bisa saja terjadi bila kita tak
berhati-hati. Perlu diingatkan, tak ada satu pun pemenang dalam pertikaian.
Apalagi bila telah ratusan atau bahkan ribuan korban berjatuhan. Semua akan
menanggung rasa pilu dan kepedihan.
Entah mengapa pada saat ini, setiap kali saya menyaksikan
ratusan atau apalagi ribuan orang berkerumun meneriakkan amarah, jantung jadi
berdebar-debar. Apalagi ketika kerumunan itu dipandu oleh orang yang mahir
mengolah kata-kata keras, bersuara lantang memekakkan telinga, membakar
emosi. Saya selalu terbayang kerusuhan yang memakan korban, sewaktu-waktu
akan pecah.
Banyak dari kita tentu memahami psikologi massa (kerumunan).
Dari beragam jenis kerumunan, ada satu jenis kerumunan yang sangat berpotensi
untuk meledak menjadi kerusuhan. Kerumunan itu adalah kerumunan marah yang
teragitasi atau diagitasi. Dalam kerumunan semacam ini, tiap orang yang ikut
berkumpul sangat mudah kehilangan kontrol diri. Ibaratnya, satu orang dalam
kerumunan menyambit batu, yang lain dengan mudah akan ikut-ikutan melakukan
hal yang sama. Satu orang menerobos pagar berduri, ratusan orang tanpa banyak
pikir akan mengikutinya, tanpa peduli terhadap keselamatan diri. Satu orang
memberi komando "serbu", yang lain dengan spontan akan segera maju
menyerang melakukan apa saja dan kepada siapa saja, tak pandang bulu.
Itulah kerentanan tiap kerumunan marah. Inilah psikologi
massa yang memang bercirikan sifat "primitif", ibarat hewan yang
tak berakal membabi buta, menyerang siapa saja yang dipersepsikan sebagai
musuhnya. Karena itu, manakala sebuah bangsa terlalu banyak dipenuhi
kerumunan marah (angry crowd) di
jalan-jalan di setiap kota, kita pun hanya dapat berdoa semoga Tuhan masih
sayang pada bangsa ini.
Tak ada orang yang bisa menjamin kerumunan marah itu akan
tetap bisa berdiam, mampu mengontrol diri. Siapa yang bisa menahan emosi pada
kerumunan yang emosinya dipupuk, dibangkitkan kemarahannya setiap hari?
Karena itu, bila kita ingin mencegah kehancuran negeri ini, kurangi kerumunan
marah, cegah jangan terlalu banyak aksi jalanan yang meluapkan emosi, dan
segera transformasikan ketidak-puasan dan kemarahan ke dalam dialog dan
diskusi dingin yang lebih berorientasi pada menyelesaikan masalah daripada
melampiaskan amarah.
Kita perlu coba bangun kembali cara-cara yang melegakan
hati, membangun hubungan kembali untuk saling sayang menyayangi. Rasul SAW
bersabda:
"Kalian tidak akan masuk
surga kecuali beriman. (Tapi kalian) tidak termasuk beriman kecuali saling
sayang menyayangi. Inginkah aku tunjukkan pada kalian sesuatu yang bila
kalian kerjakan dapat mempererat kasih sayang? Sebarkan salam (kedamaian) di
antara kalian."
(Hr. Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
al-Tirmidzi, Ibn Majah). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar