Bom
Kampung Melayu dan Urgensi Deradikalisasi
Ribut Lupiyanto ; Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public
Capacity Acceleration); Kontributor
Penulis Jurnal BNPT "Jalan Damai"
|
DETIKNEWS, 26 Mei 2017
Keheningan malam Jakarta mendadak berubah riuh lantaran
ledakan keras di seputaran Terminal Kampung Melayu pada Rabu (24/5). Korban
yang ditemukan ada tiga belas orang, terdiri dari sepuluh luka dan tiga
tewas. Kasus ini menambah catatan panjang tindak radikalisme dan terorisme di
negeri ini.
Deradikalisasi penting dijalankan dengan proporsional dan
profesional. Menanggulangi radikalisme jangan sampai menggunakan pendekatan
radikalisme juga. Pendekatan hard measure mesti menjadi pilihan terakhir.
Pencegahan merupakan yang utama kecuali dalam kondisi darurat.
Konsepsi Deradikalisasi
Radikalisme bukan hanya berbasis pada agama. Al Qurthubi
(2015) memaparkan bahwa radikalisme dapat berbasis etnis, ideologi,
sekularisme dan politik, bahkan pada golongan atheis. Misalnya, di Amerika
berkembang kelompok radikal non agama atau berbasis etinis. Bentuknya berupa
penindasan pada kaum berkulit hitam yang didominasi oleh kaum kulit putih.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal
diartikan sebagai "secara menyeluruh", "habis-habisan",
"amat keras menuntut perubahan", dan "maju dalam berpikir atau
bertindak". Sedangkan istilah radikalisme, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka, didefinisikan sebagai
paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan
politik dengan cara kekerasan atau drastis.
Upaya melawan radikalisme dalam konotasi negatif melalui
deradikalisasi telah lama digaungkan. Indonesia bahkan sudah memiliki UU
Nomor 15 tahun 2003 tentang Terorisme. UU tersebut kini dalam proses revisi
yang telah lama dan belum menemukan titik temu. Semua pihak sepakat revisi
dimaksudkan untuk penguatan terhadap pencegahan.
Golose (2009) mendefinisikan deradikalisasi sebagai suatu
bentuk upaya menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan
interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, sosial-budaya bagi mereka
yang dipengaruhi atau terekspos paham radikal dan/atau pro-kekerasan.
Deradikalisasi menjadi bagian dari strategi
kontra-terorisme yang lebih komprehensif dan sistematis. Konsekuensinya
deradikalisasi mesti keluar dari jebakan mitos bahwa radikalisme hanya datang
dari kalangan Islam. Semua mesti bergerak dan menjangkau semua lapisan dan
kalangan.
Program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) dilaksanakan sesuai dengan target program, masyarakat umum
dan napi teroris. Program anti-radikalisasi dibagi menjadi dua model
kegiatan. Pertama, sosialisasi melalui kegiatan seminar, FGD maupun workshop
kurikulum pendidikan agama.
Kedua, pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan
Terorisme (FKPT) sebagai perwakilan BNPT di daerah-daerah. Sedangkan program
deradikalisasi itu sendiri dilakukan di lapas yang menampung terorisme
melalui empat pendekatan, yaitu rehabilitasi, re-edukasi, resosialisasi dan
re-integrasi (Famela, 2013).
Penanganan Dini
Fakta bahwa pelaku radikalisme di Indonesia sebagian besar
dari kalangan Islam mesti disikapi secara proporsional. Hal ini mengingat
Islam menjadi mayoritas dan pelakunya adalah oknum, tidak perlu
digeneralisasi. Ajaran Islam jelas anti-radikalisme dan terbukti dalam setiap
sejarah peradaban selalu memberikan rahmat bagi alam semesta.
Deradikalisasi mesti dapat membendung penyebaran dengan
tidak melakukan generalisasi. Pergerakan dan penyebaran radikalisme
menggunakan jalur inti dari pusat aktivitas umat Islam, seperti masjid, TPA,
pengajian, dan lainnya. Hal ini bukan kemudian bisa dijawab dengan mengatur
dan memperketat aktivitas di tempat-tempat tersebut.
Kondisi demikian justru akan menjadi deislamisasi yang
merugikan perkembangan bangsa. Penyikapan mesti secara kasuistik berdasarkan
data akurat. Pencegahan dapat dilakukan dengan penguatan aspek spiritual umat
Islam. Pemahaman Islam secara komprehensif penting diberikan.
Sektor-sektor formal dapat mewadahinya melalui beberapa
mekanisme, seperti pendampingan atau tutorial agama di sekolah dan perguruan
tinggi, pengajian rutin di kantor-kantor, dan lainnya. Hal ini penting guna
mempersempit ruang gerak kelompok radikal dalam mencari sasarannya.
Deradikasisasi berbasis penanganan dini harus segera
dilakukan pemerintah sebelum perkembangan kelompok radikal melebar. Badan
Intelejen Negara (BIN) mesti memasok data-data akurat untuk dasar penanganan.
Jumlah dan sebaran yang masih sedikit dapat didayagunakan untuk memangkas
sampai akar-akarnya.
BNPT sebagai stakeholder utama penting bertindak secara
cepat dan akurat. Kreasi dan inovasi deradikalisasi mesti terus dilakukan
seiring dengan perkembangan zaman. Kecepatan deradikalisasi mesti dapat
mengimbangi laju radikalisme.
Aqil Siroj (2017) mengusulkan adanya pendekatan hingga ke
dunia sastra dan memanfaatkan mantan pelaku radikalisme. BNPT penting
menggandeng seluruh komponen etnis, agama, dan lainnya dalam upaya ini.
Pemetaan komprehensif penting dilakukan untuk setiap
kelompok tersebut. Pendekatan spesifik juga penting dirumuskan.
Kelompok-kelompok yang terpetakan berpotensi radikal mesti disikapi khusus.
Semakin diserang secara terbuka, mereka berpotensi akan
semakin melawan. Pendekatan awal mesti memprioritaskan pencegahan dan
perbaikan kelompok tersebut. Sekali lagi, deradikalisasi adalah mendesak,
tapi jangan justru terjebak pada usaha-usaha yang kontra-produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar