Pilkada
Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia
Herzaky Mahendra Putra ; Direktur Pelaksana Lembaga Riset
dan Konsultan MANILKA
|
KORAN
SINDO, 24
Mei 2017
Beberapa komentar negatif sempat bermunculan begitu
Pilkada DKI Jakarta 2017 berakhir. Pilkada dengan pertarungan paling brutal
di antara pendukungnya.
Ada kesan yang timbul, Pilkada DKI 2017 identik dengan menguatnya
politik uang dan perilaku penuh intimidasi, berita hoax, maupun politik identitas
dengan isu SARA yang dimainkan serta menjadi dominan. Bahkan, berbagai media
asing memberikan komentar yang mengesankan demokrasi Indonesia bergerak
mundur. Padahal, jika mencermati lebih dalam, ada beberapa hal baru yang
disumbangkan oleh Pilkada DKI 2017 ini untuk pengembangan demokrasi Indonesia.
Tulisan ini akan mencoba membahasnya.
Tiga Calon, Tiga Cara
Konsep gerilya lapangan me - rupakan sumbangan per tama
bagi demokrasi Indonesia oleh Pilkada Jakarta 2017. Aktivitas yang digagas
oleh calon gubernur nomor urut 1, Agus H Yudhoyono, memiliki esensi untuk
bertatap muka langsung dengan masyarakat, menyerap aspirasi warga de ngan
berjalan kaki menyusuri permukiman warga, tanpa ada kesan formal. Tiga ciri
khas gerilya lapangan AHY, demi kian Agus sering dipanggil, adalah cara
menyerap aspirasi, masifikasi, dan intensitasnya. Pertama, AHY dalam ber -
dialog selalu membawa kertaskertas kecil dengan pulpen yang menyertainya
untuk mencatat setiap masukan.
Dia juga ber - usaha menjalin kontak secara emosional,
dengan menyapa, melihat mata warga, dan ber - salaman. Kedua, minimal ratus -
an, bahkan sering ribuan warga, hadir dalam aktivitas gerilya lapangan AHY.
Dalam satu ke - sempatan bahkan AHY pernah menjalani rute sepanjang 7 km dan
berinteraksi dengan ham - pir sepuluh ribu orang. Masif - nya warga yang
disapa oleh AHY merupakan ciri khas kedua aktivitas gerilya lapangan. Ke -
tiga, tiap hari minimal ada 6 lokasi yang didatangi oleh AHY. Dan aktivitas
ini berjalan ham - pir 7x24 jam dalam seminggu. Bukan hanya butuh stamina,
melainkan komitmen luar biasa dari seorang calon pemimpin sehingga aktivitas
ini bisa berjalan secara konsisten.
Konsep berbeda dilakukan oleh Basuki, calon nomor urut 2.
Beberapa kali aktivitas turun lapangannya mengalami pe - nolakan oleh unsur
masyarakat setempat. Namun, hal ini tak membuat Basuki kehabisan akal. Basuki
pun memilih meng - optimalkan Rumah Lembang, posko pemenangannya, se - bagai
tempat menyerap aspirasi masyarakat. Bagaimana Basuki menyiasatisituasidantan
tangan yang muncul dalam usaha me - nyerapaspirasima syarakat, perlu
dijadikan contoh bagi calon pe - mimpin yang bakal bertarung di kontestasi
pilkada lain sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerap langsung aspirasi
masyarakat.
Begitu juga dengan Anies, calon gubernur nomor urut 3.
Agenda tatap muka dengan masyarakat kerap kali dilakoni. Sebulan menjelang
pemungut - an suara, konsep aktivitas me - nye rap aspirasi masyarakat Anies
mengalami sedikit per - ubahan. Kerap ditemui Anies tanpa pengawalan sama
sekali, bahkan hampir tidak ada yang mendampinginya, berkeliling ke
tempat-tempat publik, un - tuk berdialog langsung dengan masyarakat, tanpa
ada liputan dari media. Anies melakukan aktivitas blusukan dalam se-nyap.
Ternyata aktivitas ini meng - undang respons positif dari
warga yang sempat berdialog dengannya. Tiga kontestan dan tiga ben - tuk
aktivitas menyerap aspirasi masyarakat yang berbeda itu benar-benar
pembelajaran yang luar biasa dan berguna da - lam pengembangan demokrasi
Indonesia.
Pengakuan Kekalahan, Tradisi Baru?
Salah satu sumbangan ter - besar bagi demokrasi Indonesia
oleh Pilkada Jakarta 2017 ada - lah pengakuan kekalahan. AHY memberikan
contoh luar biasa, bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap ketika
hasil penghitungan suara menunjuk - kan pemilih nya tidak sebanyak calon
lain. Dengan jiwa ksatria dan lapang dada, demikian AHY menyampaikan, dia
menerima kekalahannya. Pidato mene rima kekalahan AHY pada 15 Februari 2017
lalu memang mengundang reaksi luar biasa dan sangat positif, bukan hanya dari
pen - dukung nya, melainkan juga pen dukung kandidat lain.
Basuki, calon petahana yang takluk dari Anies di putaran
kedua, meneruskan contoh po - sitif yang diberikan oleh AHY di putaran
pertama. Basuki me - nyatakan menerima kekalah - annya dan menyampaikan niat
- nya untuk berdiskusi dengan Anies untuk kesinambungan program-program
pembangunan Jakarta. Pengakuan kekalahan ini kita harapkan bisa menjadi ke -
biasaan tidak resmi, yaitu kon - vensi, namun selalu dilakukan oleh pemimpin-pemimpin
yang mengalami kekalahan di pil - kada maupun pilpres. Dengan menjadi suatu
norma baru, iklim persaingan di pentas pesta demokrasi di Indonesia akan
menjadi lebih sejuk.
Mengingat kentalnya budaya patron-klien di Indonesia, di
mana sikap pemimpin menjadi rujukan utama bagi para pendukungnya dalam
berperilaku, pengem - bang an demokrasi di Indonesia sedikit banyak
tergantung pada berkembangnya tradisi baru ini atau tidak. Kondisi ini sama
dengan apa yang disebut Chantal Mouffe dengan prinsip agonism .
Dalam buku berjudul On the Political (2005), Mouffe
menjelaskan, ”This means that, while in conflict, theysee themselves as
belonging to the same political association, as sharing a common symbolic
space within the conflict takes place.” Artinya, setelah kontestasi selesai,
kubu yang satu dan yang lain kembali menjadi satu bagian dari political
association, yaitu DKI Jakarta.
Akses Lebih Terbuka
Pilkada Ja kar ta kali ini menunjuk - kan fenomena yang me
narik. Ketiga calon gubernur: AHY, Basuki, dan Anies bukan me - rupa kan
anggota par - tai apa pun. AHY baru saja mengajukan pen - siun dari dinas
militer nya begitu diusung oleh koalisi empat partai untuk maju di Pilkada
Jakarta 2017, dengan bermodalkan gelar master dari Harvard dan penga laman se
- gudang di militer. Basuki, saat diusung oleh PDIP untuk maju, sudah bukan
merupakan ang - gota partai apa pun.
Meskipun Basuki aktif di berbagai partai sebelumnya, yaitu
Partai Per - himpunan Indonesia Baru (2004), Partai Golkar (2009), dan
terakhir Partai Gerindra pada tahun 2012-2014, namun dia diusung ketika tidak
men jadi anggota partai mana pun. Anies R Baswedan kita kenal sebagai
inisiator Indonesia Meng ajar dan aktivitasnya di dunia kampus, sebelum di -
usung sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017 oleh Partai Gerindra dan Partai
Keadilan Sosial. Anies memang sempat maju konvensi capres Partai Demokratpada
2014danber alih menjadi pendukung Pre si den Jokowi sehingga berbuah posisi
menteri sampai dengan reshuffle Juli 2017, namun belum men - jadi anggota
partai manapun hingga saat ini.
Keberadaan ketiga calon gubernur yang sama-sama bu - kan
merupakan anggota partai, menandakan adanya akses yang lebih terbuka untuk
caloncalon pemimpin yang tidak ber - asal dari partai. Selama me - mang
mereka berkualitas, tidak tertutup kemungkinan partai politik meminangnya
menjadi calon di pilkada. Hal ini sangat positif dalam mendukung per -
kembangan demokrasi di Indonesia.
Demokrasi Bergerak Maju
Demokrasi di Indonesia memang masih seumur jagung dan
masih akan terus berkembang. Sangat wajar muncul ekses-ekses negatif dari
demokrasi yang telah kita pilih sebagai sistem bernegara. Masyarakat
Indonesia sedang berusaha menemukan, sistem demokrasi seperti apa yang lebih
tepat untuk mereka. Tiga kontestan calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017
telah menunjukkan perannya, memberikan sumbangan bagi perkem bang an
demokrasi di Indonesia.
Tentu, harapan besar diletakkan pada peserta pilkada 2018,
dan tahun-tahun selanjutnya, untuk mengikuti jejak ketiga calon gubernur
Jakarta agar demokrasi di Indonesia bergerak maju dan semakin matang. ●
|
( Mohon maaf, proses
edit belum diselesaikan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar