Toilet
Margaretha Sih Setija Utami ; Dosen Fakultas Psikologi Unika
Soegijapranata; Peminat Psikologi Kesehatan
|
KOMPAS, 24 Mei 2017
"Revolusi Toilet" yang dicanangkan Steven Kandouw,
Wakil Gubernur Sulawesi Utara (Kompas, 10/5), menarik untuk ditindaklanjuti. Sekali
waktu saya meminta mahasiswa mengingat tempat paling tidak menyenangkan saat
SD. Ternyata kebanyakan menuliskan toilet SD sebagai tempat paling tak
menyenangkan karena kotor, menjijikkan, suasananya menyeramkan, dan cenderung
diletakkan di pojok yang sepi.
Toilet makin dipersepsikan sebagai tempat tak menyenangkan
karena guru sering menghukum dengan mengunci murid di dalam toilet atau
menyuruh murid membersihkan toilet. Bahkan ada mahasiswa yang menulis: "Saat kami di SD, malaikat tidak mau
tinggal di toilet, jadi para setanlah yang menungguinya."
Ada banyak hal mengapa toilet jadi tempat tak nyaman. Dua
hal penting adalah, pertama, di Indonesia para murid SD adalah anak usia 7-12
tahun yang belum diajari bagaimana menjaga kebersihan toilet setelah mereka
pakai. Yang membersihkan toilet di rumah orangtua atau pembantu. Murid SD
ingin toilet bersih, tapi belum mampu menjaga kebersihan. Kedua, banyak dari
kita yang belum memiliki kesadaran bahwa setelah menggunakan toiletkita harus
membersihkannya sehingga orang lain yang akan menggunakan menjadi nyaman.
Menurut seorang ahli psikologi, Erik Erikson (1902-1994),
anak usia 7-12 tahun tidak lagi dalam tugas perkembangan berkaitan buang air
besar dan buang air kecil. Seharusnya mereka sudah lulus masa "toilet
training". Kenyataannya, banyak murid SD kita belum mampu menggunakan
toilet dengan benar. Hal ini diperparah sikap banyak orangtua yang suka
hal-hal praktis sehingga anak dibiasakan menggunakan diaper (popok). Anak
dibiarkan tidak belajar bagaimana mengeluarkan kotoran dalam dirinya secara
tepat, tidak sembarang tempat dan waktu.
Erik Erikson menyatakan, seorang anak sangat tepat belajar
toilet training di usia 1,5-3 tahun. Pada saat itu anak akan belajar kapan
dan di mana melepaskan hal-hal yang dianggap kotor oleh lingkungan tetapi
harus dilakukan karena tubuh sudah harus membuangnya. Kalau anak berhasil
belajar toilet training ia akan punya autonomy yang tinggi dalam
kehidupannya. Autonomy di sini diartikan sebagai kemampuan mengendalikan
kehendak diri sendiri tanpa menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman lingkungannya.
Anak yang tidak berhasil belajar toilet training akan mengalami rasa malu dan
ragu-ragu dalam hidupnya.
Toilet training mengajari anak untuk menyadari
apa yang dirasakan dalam tubuhnya, dan merencanakan kapan hal yang tidak
mengenakkan tersebut harus dikeluarkan tanpa merugikan orang lain. Dalam
toilet training anak akan belajar bahwa dirinya tahu tentang kondisi sendiri
dan kondisi lingkungan, belajar bahwa dirinya bisa mengendalikan diri
sendiri, dan dia belajar bagaimana membuat orang lain menjadi bahagia.
Dalam teori delapan tahap perkembangan psikososial, Erik
Erikson mengatakan, kegagalan tahap awal akan memengaruhi tahap berikutnya.
Membaca keprihatinan Steven Kandouw, kita perlu merenungkan seberapa besar
keberhasilan toilet training kita selama ini. Mungkinkah ini sebagai salah
satu titik awal pembentukan karakter bangsa kita yang kurang berhasil?
Toilet training yang tidak berhasil juga memengaruhi
perkembangan psikologis dan sosial individu tersebut. Dalam kehidupan orang
dewasa saat ini, kita bisa membaca di media sosial banyak orang yang tidak
paham kapan mengeluarkan rasa tidak enak dalam dirinya secara tepat. Media
sosial menjadi "sungai" tempat primitif kita membuang kotoran tanpa
memikirkan bahwa apa yang kita keluarkan dapat "menularkan
penyakit" bagi orang lain. Banyak kata kotor yang berasal dari kekesalan
dalam diri yang kemudian dikeluarkan sembarang tempat dan waktu. Pelaku
merasa benar karena orang lain juga berbuat hal yang sama.
Semoga "Revolusi Toilet" Bapak Steven Kandouw
jadi gerakan kita bersama bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara
psikologis, bukan hanya untuk orang dewasa, tapi juga anak-anak, generasi
penerus kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar