Manusia
Serigala
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom KREDENSIAL Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28 Mei 2017
Manchester dan Kampung Melayu. Bom bunuh diri. Banyak
nyawa melayang. Banyak orang terluka. Kemanusiaan kembali dirobek-robek.
Kekejian telah mengalahkan kelemahlembutan. Rasa takut telah membungkam
keberanian. Yang jahat telah mengalahkan yang baik. Kuasa kegelapan telah
menguasai pengebom bunuh diri untuk menghancurkan kuasa kebaikan. Pada saat
itulah, manusia kehilangan kemanusiaannya.
Benar yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa
"manusia serigala bagi sesamanya", homo homini lupus est. Frase yang dipopulerkan Hobbes (1588-1679)
itu mula pertama diungkapkan Titus Maccius Plautus (254 SM-184 SM), komedian
zaman Romawi. Plautus mengatakan, Lupus est homo homini, non homo, quom
qualis sit non novit, yang kira-kira terjemahan bebasnya adalah manusia
serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.
Yang terjadi di Manchester hari Selasa lalu (bom bunuh
diri yang menewaskan 22 orang dan melukai 50 orang lainnya) dan di Kampung
Melayu (bom bunuh diri yang merenggut 5 nyawa dan melukai lebih dari 10
orang) menjadi bukti bahwa masih ada orang-mungkin banyak-yang memilih jalan
hororisme. Yakni sebuah kecenderungan memilih kekerasan, ketakutan, teror,
dan kematian sebagai strategi dalam mencapai tujuan mereka. Tujuannya banyak:
bisa tujuan politik, tujuan ideologi, tujuan ekonomi, atau tujuan budaya, dan
bahkan hororisme telah menjadi keyakinan atau jalan hidup mereka.
Horor dan teror telah menjadi permainan hasrat. Dewasa ini
setan tidak lagi merupakan ornamen atau pahatan atau patung atau dalam bentuk
lukisan belaka. Setan telah menjelma menjadi dan merasuk ke dalam diri
manusia; terungkap dalam tindakannya, menghancurkan keindahan, menghancurkan
kemanusiaan, menghancurkan kehidupan, mengubah terang menjadi kegelapan lewat
horor dan teror.
Bagi mereka, pelaku horor dan teror, kematian telah
kehilangan ciri khasnya, yakni menakutkan. Kematian, bagi mereka pelaku bom
bunuh diri, telah menjadi sebuah tujuan; bahkan diyakini sebagai tujuan suci.
Kematian, bagi mereka, tidak lagi menakutkan, menggentarkan, tetapi memesona.
Akan tetapi, kematian itu bagi mereka menjadi memesona kalau kematiannya juga
menyebabkan orang lain mati. Kematian itu menjadi tujuan suci, kalau bisa
mematikan orang lain.
Padahal, kematian, bagi orang lain lagi-yang tidak
menganut paham penebar teror dan pelaku bom bunuh diri-berdasarkan imannya
adalah bukan akhir segala-galanya. Karena kematian bukanlah akhir dari
kehidupan, melainkan garis transisi. Maka, bagi mereka yang ketika hidupnya
telah banyak berbuat baik, kematian adalah pintu gerbang memasuki kehidupan
baru yang lebih indah, sebuah kebahagiaan yang lebih sejati.
Namun, bagi pelaku bom bunuh diri, kematian orang lain itu
bukanlah tujuan utama, melainkan sebagai cara untuk membuat orang lain dalam
jumlah yang lebih banyak ketakutan, membuat orang lain terteror, dan kemudian
tunduk pada kehendaknya. Dengan membunuh-lewat bom bunuh diri-sejumlah orang,
mereka berharap orang yang lebih banyak lagi akan ketakutan, merasa terteror.
Istilah "terorisme" berasal dari kata dalam
bahasa Latin "terrere" yang berarti menakuti, mengejutkan,
menggentarkan. Cara-cara seperti itu, menakut-nakuti, sudah dilakukan sejak
zaman dahulu kala. Pada zaman kekaisaran Romawi, mereka menyalib orang-orang
yang dianggap tidak patuh, memberontak, atau dianggap sebagai ancaman bagi
penguasa. Tak kurang dari 20.000 orang hanya dalam beberapa bulan selama
Revolusi Perancis dipenggal kepalanya dengan guillotine.
Pada zaman modern, terorisme negara dipraktikkan penguasa
Jerman Nazi, Uni Soviet di zaman Stalin, China komunis di masa Mao Zedong,
Pol Pot di Kamboja, dan sejumlah penguasa rezim totaliterian. Terorisme telah
menjadi politik kematian.
Sulit memahami cara pikir seperti ini. Akan tetapi, itulah
yang mereka hayati, pilih, dan lakukan. Untuk mencapai tujuan suci
itu-kematian-mereka memilih jalan kekerasan. Kekerasan tidak hanya menjadi
pilihan, bahkan, telah menjadi semacam ideologinya. Mereka memilih ideologi
kekerasan untuk mewujudkan impiannya, hasratnya, nafsunya. Ideologi kekerasan
telah menguasai begitu banyak orang. Lihat apa yang terjadi di Suriah, di
Irak, Nigeria, Pakistan, Banglades, Afganistan, Israel, Palestina, bahkan
sekarang ke Eropa, dan juga Indonesia.
Di negara-negara itu-termasuk di Indonesia-kekerasan
selalu mengiringi setiap peristiwa sosial dan politik. Kekerasan bukan hanya
monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Namun, ada
kecenderungan beberapa kelompok mengatasnamakan tatanan moral dengan
menghalalkan kekerasan. Maka itu, muncul istilah musang berbulu domba atau
serigala berbulu domba. Bahkan, Daoed Joesoef, dalam artikelnya di harian
Kompas, beberapa waktu lalu menggunakan istilah "musang berbulu ayam.
Padahal, masih jauh larut malam."
Kadang kali sangat sulit membedakan, mana serigala mana
domba; mana musang mana serigala; bahkan mana manusia mana serigala. Oleh
karena, tidak jarang yang jahat itu tidak tampil dalam wajah monster yang
menakutkan, monster sadistis, tetapi bisa jadi tampil dalam sosok orang,
warga negara yang patuh pada aturan, yang lugu, yang seperti tidak berdosa.
Sejarah sangat mudah memberikan contoh hal seperti itu.
Misalnya, apakah Adolf Eichmann yang bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan
orang Yahudi di kamar gas berwajah sadistis dan dikenal sebagai sosok yang
tidak patuh aturan? Ia dikenal sebagai orang yang patuh pada aturan. Apakah
wajah Pol Pot menakutkan? Ia murah senyum. Apakah Mao Zedong kelihatan
berwajah kejam? Tidak. Apakah Napoleon Bonaparte juga berwajah kejam?
Yang murah senyum pun bisa jadi di balik senyumnya
tersimpan kejahatan, sifat dengki dan iri, pendendam, bahkan culas. Manusia
memiliki sifat destruktif terhadap manusia lain. Itulah penyebabnya. Inilah
sifat-sifat destruktif manusia terhadap sesamanya: menghancurkan, merampas,
menganiaya, menikam, membakar, memecah belah, menyiksa, menistakan, mengolok-olok,
melecehkan, membasmi, mencemarkan, merobek-robek, mencabik-cabik, memukuli,
menggebuki, menusuk, menghujat, menghina, dan masih banyak lagi yang pada
intinya bertujuan menghancurkan sesama. Karena itu, homo homini lupus est, manusia serigala bagi sesamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar