Terus
Mengingat Tragedi Mei
Endang Suryadinata ; Lulusan
Erasmus Universiteit Rotterdam
|
KORAN
JAKARTA, 15 Mei 2017
Tidak terasa, sudah 19 tahun tragedi Mei 1998. Bangsa
tentu prihatin karena tragedi 13–15 Mei 1998 membawa begitu banyak korban. Mayoritas
korban wanita berdarah Tionghoa. Berdasar hasil penyelidikan Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, terdapat 85 perempuan korban kekerasan.
Rinciannya, 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10
korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan sembilan pelecehan seksual.
Sumber lain, seperti Tim Relawan untuk Kemanusiaan, menyebut ada 152
perempuan korban perkosaan, 20 di antaranya dibunuh.
Namun, total tragedi Mei 1.188 jiwa terbunuh, 101
luka-luka berat, 40 pusat pertokoan ludes, 2.479 rumah dan ruko hancur.
Kemudian, 1.119 motor terbakar, 1.026 rumah hancur, 383 perkantoran rusak
berat dan sejumlah besar korban perkosaan tak teridentiifikasi. Sementara
itu, menurut versi lain, selain ratusan korban diperkosa, Tragedi Mei juga
menyebabkan kerugian paling sedikit 2,5 triliun rupiah.
Ada 13 pasar, 2.479 ruko, 40 mal, 16.604 toko, 45 bengkel,
387 kantor, sembilan SPBU, delapan bus dan kendaraan umum lain terbakar.
Kemudian, 1.119 mobil, 821 sepeda motor dan 1.026 rumah dirusak, dijarah, dan
dibakar selama aksi anarkis itu (Damar
Harsanto, May Riots Still Burns Into Victim’s Minds, 14/5/2002).
Setelah 19 tahun, masih banyak misteri dan pertanyaan
besar tak terjawab, di antaranya bagaimana mungkin gelombang kekerasan bisa tampak
berlangsung spontan? Mengapa ada gerakan yang begitu terpola secara
sistematik dan ke mana aparat keamanan. Badan intelijen gagal mengantisipasi
gerakan massa yang brutal dan beringas. Mereka dibiarkan membakar mal,
menjarah, dan memperkosa para perempuan Tionghoa.
Para aktor intelektual atau pelaksana lapangan bila masih
hidup pasti masih mengingat rinci kejahatan mereka. Tapi, secara resmi hingga
kini masih belum ada pelaku yang gentle berani bertanggung jawab. Negara dan
pemerintah tampak tidak bisa berbuat apa-apa. Negara gagal memberi keadilan
bagi para korban dan keluarganya. Ada impunitas yang seolah diberikan negara
kepada para aktor intelektual dan pelaksana lapangan. Konyolnya, publik
justru memuja sosok-sosok yang dulu disangka sebagai pihak paling bertanggung
jawab dalam tragedi ini.
Memang menjelang 19 tahun tragedi ini, ada sedikit
perkembangan ketika hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Mei
hendak diberikan oleh Presiden Ketiga, Habibie, kepada pemerintah Jokowi.
Menurut Habibie, temuan dan rekomendasi TGPF tidak dibuka saat dia memerintah
demi keutuhan bangsa. Ketua Komnas Perempuan, Azriana Rambe Manalu, tidak
habis pikir hingga sekarang pemerintah tidak mengakui begitu banyak korban,
khususnya 85 perempuan.
Komnas perempuan berharap semua mendorong terwujudnya
“Pemerintahan yang Ingat, Hormat dan Adil pada Sejarah”. Ini sekaligus tema
peringatan tahun ini untuk mendukung upaya mengingat terus (memorialisasi)
tragedi kemanusiaan tersebut.
Komnas Perempuan bersama sejumlah pihak memang telah
melakukan memorialisasi Mei 1998 bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di
pemakaman umum Pondok Rangon, Senin (8/5). Acara antara lain dihadiri mantan
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot
Syaiful Hidayat, Gubernur Gorontalo terpilih, Rusli Habibie, serta keluarga
korban.
“Memorialisasi jadi gerakan sosial dan kultural karena
kejahatan kemanusiaan itu enggak ada kedaluwarsanya,” kata Azriana. Sayang,
publik tidak terlalu antusias merespons. Tak banyak yang memberi perhatian
kepada para korban. Boleh jadi, kebanyakan menganggap Tragedi Mei tidak
sepenting Pilkada DKI.
Kenyataan ini mengingatkan ungkapan Prof Elie Wiesel yang
selamat dari tragedi pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman dalam One Generation
After. Peraih Nobel Perdamaian saksi selamat Holocaust ini, berbicara
mengenai ironi kesaksian korban dan tabu masyarakat. Semakin keluarga korban
mengungkapkan kebenaran mengenai penderitaan, masyarakat semakin menutup mata
dan telinga karena menilai korban berbohong.
Berkilah
Mungkin Presiden sekarang, sebagaimana para presiden
sebelumnya juga membatin, “Aku bukan pelaku.” Presiden mungkin bisa berkilah
banyak urusan negara lebih penting. Memang kerap kali pemerintah jatuh dalam
pragmatism, isu HAM tidak menguntungkan pemerintah. Tak heran, pemerintah
tidak menganggap atau mengabaikan teriakan pedih keluarga korban HAM,
termasuk tragedi Mei.
Memang memprihatinkan, masalah HAM atau yang menyangkut
martabat manusia, di negeri ini tidak pernah menjadi prioritas rezim.
Martabat dan nyawa manusia tidak mendapat penghargaan sepantasnya. Memang
kalau bicara korban, apalagi pelanggaran HAM masa silam, seperti tragedi Mei,
rasanya ada ketidakadilan ganda. Para korban, terlebih yang masih hidup,
bukan hanya dikorbankan selama tragedi berlangsung dan sesudahnya.
Banyak kalangan, termasuk pemerintah tidak percaya
kesaksian mereka. Konyolnya lagi, mereka masih disuruh membuktikan lewat
hukum positif bahwa pemerkosaan sungguh-sungguh terjadi. Kini, para korban
hidup dan keluarga hanya mencoba terus mendorong agar peristiwa tersebut
selalu diingat dan tidak memudar di ruang publik. Jangan sampai kejahatan
kemanusiaan ini tersisihkan beragam isu.
Ingatan itulah yang ingin mereka perjuangkan sambil
berharap ada keadilan. Jon Sobrino dalam Where
is God? (2004) mengusulkan solidaritas atau bela rasa sebagai paradigma
baru komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan yang timbul dari nurani.
Namun, bela rasa saja tidak cukup. Ke depan, perlu
dipastikan tragedi memilukan semacam itu tidak terulang. Tapi, siapa yang
bisa menjamin, selama praksis politik tidak menghargai hak asasia manusia dan
banyak politik adu domba. Kini, bahkan politik suku, agama, ras dan
antargolongan justru dilegitimasi dalam Pilkada 2017. Bukan tidak mungkin
kasus seperti ini terulang, meski tidak diharapkan.
Buktinya, meski kebanyakan masyarakat tidak peduli akan
penderitaan korban Tragedi Mei, ternyata masih banyak yang trauma. Pemerintah
perlu menuntaskan tragedi tersebut. Ini bukan hanya demi keadilan para
korban, tapi guna menjamin kejadian serupa tak terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar