Toleransi
Toriq Hadad ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
15
Mei 2017
Ketika banyak orang risau tentang defisit toleransi
beragama di sekitar kita, saya teringat Pasuruan. Kota kecil itu dikenal
sebagai gudang pesantren. Madrasah banyak didirikan, juga sekolah negeri,
sekolah swasta, termasuk sekolah Katolik. Maka, santri bersarung dan
berkupluk, pelajar bercelana pendek, pastor dan suster berjubah dan berkalung
salib, dulu bukan pemandangan aneh di kota kecil itu.
Di SMA, saya masuk sekolah Katolik, dan saya tak pernah
melupakan satu pertemuan yang jarang pada tahun 1977. Pastor Harmelink,
seorang guru warga negara Belanda, berkunjung ke rumah kakek saya. Pastor
yang selalu berjubah dan bersepeda itu diterima kakek saya yang hampir tak
pernah lepas dari kopiah dan sarung di rumah kami. Kakek saya menyampaikan
terima kasih atas perkenan Pastor Harmelink memberi izin bagi saya dan
teman-teman yang Islam untuk melaksanakan salat Jumat. Kakek saya juga tidak
keberatan dengan permintaan pastor itu untuk mengadakan pelajaran budi
pekerti di halaman gereja.
Pada masa Pastor Harmelink menjalankan misinya di kota
itu, hiduplah seorang kiai besar di Pasuruan. Dialah Kiai Abdul Hamid,
seorang ulama asal Lasem, Jawa Tengah, yang dipercaya sebagai
"waliallah" yang tinggi ilmunya. Kiai Hamid dikenal sangat halus
budi bahasanya, tidak suka menonjolkan diri, apalagi "bermain
politik" dengan penguasa kota. Bila tiba waktu salat Jumat, ia lebih
memilih duduk di pojok masjid dekat menara ketimbang berada di saf paling
depan. Selain pantang melangkahi anggota jemaah yang datang lebih dulu, Kiai
Hamid sengaja menghindar dari serbuan orang yang berebut mencium tangannya.
Ia memaafkan maling yang mencuri sarung santri di pondoknya, bahkan
mengundang si maling untuk datang beribadah di pondoknya.
Kiai Hamid sangat tahu perannya sebagai ulama: mengajar
dan menyempurnakan akhlak. Ia menyediakan diri mengajar pada Ahad pagi. Ia
mengajar kitab-kitab tasawuf, seperti Bidayatul Hidayah dan Salalimul
Fudlala. Ia mengamalkan ilmu yang sudah didalaminya selama puluhan tahun.
Kendati ia punya pengaruh besar di kalangan Nahdlatul Ulama, saya tak pernah
mendengar Kiai Hamid bicara politik praktis, apalagi menyebar kebencian
terhadap agama lain atau pemerintah setempat.
Saya percaya Kiai Hamid tahu persis aktivitas para
penyebar agama lain di kotanya, seperti Pastor Harmelink itu. Tapi ia tak
pernah menyulut kebencian atau membakar emosi pengikutnya untuk membenci
pengikut agama lain. Yang dilakukan Kiai Hamid adalah menambah ilmu
pengikutnya, barangkali karena ia percaya bahwa, semakin dalam ilmu agama
seseorang, maka semakin kokoh benteng keimanannya. Kiai Hamid yang bertutur
lembut ini sungguh jauh dari potret ulama masa kini yang bergelora, dengan
kata-kata panas, seakan siap menghakimi siapa saja yang dianggap tidak
membela Islam.
Di Jakarta hari-hari ini, sulit benar saya mendapati ulama
dengan akhlak sebaik Kiai Hamid. Yang gampang saya temui, ustad atau khatib
di masjid yang selalu bicara kebaikan agamanya dan keburukan agama orang
lain. Yang terlalu sering saya dengar, ulama yang mengkafirkan orang lain,
menentukan bahwa si pemeluk agama lain akan masuk neraka. Ujaran kebencian,
menarik garis antara Islam dan bukan Islam dalam kehidupan sosial,
memutlakkan soal-soal akhirat yang semestinya menjadi rahasia Allah seperti
menjadi mode belakangan ini. Saling hujat, saling maki, tumbuh subur di media
sosial, memecah keluarga, merusak pertemanan.
Saya tak tahu kapan ini semua berakhir. Saya juga tak tahu
apakah Tuhan akan menurunkan lagi seorang Kiai Hamid. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar