Tindakan
Menghalangi Proses Hukum
Kurnia Ramadhana ; Pegiat Antikorupsi Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
KOMPAS, 26 Mei 2017
Koalisi masyarakat sipil pada 2 Mei 2017 melaporkan Wakil
Ketua DPR Fahri Hamzah ke KPK dengan dugaan telah melakukan tindak pidana
menghalang-halangi proses hukum penyidikan perkara tindak pidana korupsi
(obstruction of justice).
Hal yang melatarbelakangi laporan tersebut adalah Fahri
Hamzah dianggap telah melakukan keputusan sepihak dengan mengesahkan
pengguliran hak angket saat sidang paripurna DPR, (28/4). Selain secara
formal pengajuan hak angket tidak diperuntukkan bagi penegak hukum, keputusan
DPR kali ini pun berisiko mengganggu proses peradilan yang sedang berlangsung
di persidangan. Dalam salah satu poin dari dasar pengajuan hak angket adalah
keinginan DPR memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi membuka rekaman berita
acara pemeriksaan seorang saksi perkara korupsi KTP-el, Miryam S Haryani.
Kehendak DPR ini dapat dikategorikan pelanggaran hukum
atas berjalannya sistem peradilan pidana (contempt
ex facie). Laporan koalisi masyarakat sipil menarik dicermati. Aturan
terkait obstruction of justice sendiri telah diatur dalam Pasal 21 UU Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dijelaskan dalam pasal itu setiap orang yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tak
langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas
tersangka atau terdakwa ataupun saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun.
Selain aturan dalam UU Tipikor, tindakan obstruction of
justice juga telah disepakati di
Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi (UN Convention Against
Corruption/UNCAC). Pasal 25 mengamanatkan negara peratifikasi wajib melakukan
tindakan politik dan hukum untuk melawan tindakan yang menghalangi proses
hukum kasus pidana korupsi. Hal ini berarti KPK punya kewenangan penuh
memproses setiap orang yang berusaha menghambat sebuah perkara korupsi yang
sedang ditangani KPK.
Intervensi terhadap proses penegakan hukum KPK bisa sangat
mudah dipahami jika menggunakan teori kausalitas. Akibat yang ditanggung KPK
secara kelembagaan maupun penyidik secara individu tak lepas dari kerja-kerja
KPK selama ini. Dalam pengusutan perkara korupsi KTP-el saja tak kurang 52
politisi disebut menerima aliran dana dari proyek senilai Rp 5,9 triliun.
Wajar jika pelaku korupsi merasa tak nyaman dengan keberadaan KPK lalu
melancarkan serangan yang bisa berakibat tersendatnya pengusutan sebuah
perkara.
Dua pola
Atas dasar itulah KPK harus bertindak aktif untuk segera
menjerat yang bersangkutan dengan menggunakan Pasal 21 UU Tipikor. Delik yang
mengatur obstruction of justice tergolong sebagai delik formal sehingga
setiap tindakan baik yang sudah selesai ataupun percobaan sebenarnya sudah
dapat dijerat oleh aparat penegak hukum.
Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) setidaknya
ada 15 pelaku korupsi maupun pihak lain yang telah didakwa menggunakan pasal obstruction of justice, baik oleh
kejaksaan maupun KPK. Sebut saja Anggodo Widjojo yang diketahui merencanakan
upaya kriminalisasi terhadap Komisioner KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M
Hamzah pada 2010. Dalam rekaman yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi
terungkap Anggodo bekerja sama dengan aparat kepolisian (Komisaris Jenderal
Susno Duadji) memperlambat proses penanganan perkara saudara kandungnya,
Anggoro Widjojo. Pada tahap kasasi Anggodo dihukum dengan pidana penjara
selama 10 tahun dan denda Rp 250 juta.
Kasus lain yang cukup menarik perhatian adalah yang
menimpa kuasa hukum salah seorang tersangka korupsi di Sumatera Barat,
Manatap Ambarita, pada 2008. Manatap saat itu memberikan keterangan palsu
tentang keberadaan tersangka yang akan diproses kejaksaan. Tindakan itu
dianggap sebagai upaya memperlambat proses penanganan perkara korupsi yang
menimpa kliennya. Beberapa kasus itu sebenarnya bisa dijadikan dasar
yurisprudensi bagi penegak hukum untuk bisa memproses segala tindakan yang dianggap
memenuhi unsur sebagai tindakan obstruction
of justice.
Dari beberapa kasus itu setidaknya ada dua pola yang kerap
digunakan pelaku korupsi untuk merintangi proses hukum. Pertama, menggunakan
masyarakat untuk menghambat penanganan perkara. Hal ini kerap terjadi ketika
aparat penegak hukum berusaha untuk melakukan proses penyidikan, pelaku
korupsi menggunakan masyarakat umum untuk membela agar ia tidak diproses
secara hukum.
Kedua, menggunakan kuasa hukum untuk melindungi pelaku
korupsi. Acap kali penasihat hukum digunakan pelaku korupsi sebagai tameng
untuk menutupi kejahatan sebenarnya. Kuasa hukum berfungsi melepaskan jerat
hukum pelaku kejahatan dengan dasar-dasar hukum sah bukan malah melindungi
pelaku dengan berusaha merintangi proses hukum yang sedang berlangsung.
Fenomena belakangan ini justru berbeda dari kasus-kasus
sebelumnya. Pihak-pihak yang ingin menghambat penanganan perkara korupsi
memakai cara baru, melalui jalur politik. Kejadian angket yang dianggap
terlalu memaksakan dan tak tepat sasaran contohnya. Penanganan sebuah perkara
yang sedang berjalan di ranah hukum tak sepatutnya digiring jadi isu politik.
Segala hal yang berkaitan dengan sebuah perkara hanya bisa dibuka di depan
persidangan hukum bukan persidangan politik.
Semestinya KPK berani menjangkau oknum yang dianggap
menghambat penanganan sebuah perkara, baik langsung maupun tak langsung.
Segala tindakan yang mengancam keberadaan KPK harus segera ditindak dengan
aturan obstruction of justice. Jika KPK tak bertindak cepat menyelesaikan
persoalan ini sudah barang tentu perlawanan balik dari koruptor akan semakin
kencang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar