Gebuk,
Presiden, dan Bahasa
Bandung Mawardi ; Kuncen Bilik Literasi, tinggal di
Solo
|
SUARA
MERDEKA, 24 Mei 2017
Para presiden di Indonesia selalu memberikan warisan
kata-kata, memuat makna-makna politik dan kultural. Kini, Joko Widodo kembali
mengingatkan masa genting saat ‘’gebuk’’ diucapkan di Istana Negara.
Presiden Soeharto (1989) memberi warisan kata politis
untuk pengisahan Indonesia masa Orde Baru. Warisan itu ‘’gebuk’’. Sejak mula
membentuk rezim Orde Baru, Soeharto sudah menganggap bahasa adalah modal
terbesar. Pada 1966, Soeharto memberi sambutan politisasi bahasa dalam
seminar bahasa dan sastra, bermaksud meneguhkan rezim memiliki pijakan
bahasa. Berbahasa mengartikan berkuasa. Kebijakan paling bersejarah tentu
pemberlakuan Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (1972). Soeharto memang mahir
menggunakan bahasa dalam pembuatan tertib politik, penguatan pembangunanisme,
dan pematuhan sosial-kultural.
Kita mengingat warisan ‘’gebuk’’, setelah Presiden Joko
Widodo mengucap kata ‘’gebuk’’ saat bercakap dengan para pemimpin redaksi
media massa di Istana Merdeka, Jakarta, 17 Mei 2017. Perkataan mengandung
‘’kemarahan’’ dan peringatan ke orang atau organisasi agar tak meremehkan
mufakat berbangsabernegara. Mufakat bereferensi konstitusi. Joko Widodo
berkata: ‘’Yang melawan konstitusi akan digebuk.’’ Kita memastikan pilihan
kata tak sembarangan. Kata untuk mengingatkan kegentingan Indonesia akibat
ulah orang dan organisasi melecehkan atau melawan konstitusi. Penggunaan
‘’gebuk’’ pada dua masa pemerintahan tentu berbeda kesan-makna dan dampak.
Dulu, Soeharto menganggap ‘’gebuk’’mujarab menghajar dan membungkan
lawanlawan politik. Soeharto tak ingin diejek atau dijatuhkan dari kekuasaan.
Kini, Joko Widodo mengucap ‘’gebuk’’ tapi berbeda situasi dan misi
kebahasaan.
Kita justru mulai diinsafkan ada siasat bahasa para
presiden di Indonesia, berbeda masa dan sasaran politik. Warisan bahasa
paling seru mengacu ke Soekarno. Pada masa kolonial sampai berjulukan
Pemimpin Besar Revolusi, bahasa Indonesia mengandung gairah dan bergerak jauh
ke langit makna tak berbatas. Di Indonesia, Soekarno pantas disahkan sebagai
pembentuk dan penggerak bahasa Indonesia meski sering politis. Pada masa
1960-an, Soekarno semakin rajin menulis dan berpidato menggunakan kata-kata keras,
meledak, mengejutkan, dan galak. Kekuasaan tetap terpahamkan dipengaruhi
siasat berbahasa dan menebar pesan-makna ke jutaan orang.
Di buku berjudul Revolusi Belum Selesai (2014) berisi
pidato-pidato Soekarno selama 1965-1967, kita menemukan pilihan kata
representatif menjelaskan Indonesia membara dalam urusan politik dan bahasa.
Soekarno mulai mengetahui ada kisruh kekuasaan setelah malapetaka 1965.
Ucapan orang-orang sulit teranggap jujur dan benar. Di Istana Negara, 23
Oktober 1965, Soekarno pun berkata: ‘’Taat
kepada Bung Karno, taat kepada Presiden, taat kepada Panglima Tertinggi, taat
kepada Pemimpin Besar Revolusi, taat menjalankan segala komando. Tapi
kadang-kadang, diwaktu jang achir-achir ini, saja mendapat perasaan itu tjuma
utjapan mulut sadja. Bukan dari semua, dari beberapa oknum. Utjapan mulut
katanja taat, tetapi didalam perbuatannja saja merasa oleh mereka itu
dikentutin sama sekali!’’ Soekarno memilih ungkapan ‘’dikentutin’’ dalam
menanggapi kemunafikan bahasa di kekuasaan. Pilihan kata itu mengesankan bau
busuk, pelecehan, dan perlawanan. Pada lakon kekuasaan di Indonesia,
‘’kentut’’ perlahan lumrah tergunakan dalam ejekan politik dan perlawanan
moral.
Bahasa mengeras dan kasar, menguak situasi politik
Indonesia. Kita tak pernah membuat kamus ungkapan politik Soekarno tapi lazim
mengingat pilihan kata Soekarno dalam slogan atau pengutipan di tulisan.
Orang-orang mungkin enggan mengingat Soekarno mengartikan ‘’kentut’’ dalam
politik tak keruan di Indonesia masa 1960-an. Kita cenderung mengingat
kemahiran memilih kata berasal dari pelbagai bahasa dalam menggerakkan
kekuasaan dan mengukuhkan diri sebagai pemimpin. Pada masa 1940-an, Soekarno
juga sempat membuat geger akibat penggunaan istilah ‘’sontolojo’’ dalam
tanggapan perilaku beragama dan tata sosial-politik di Indonesia.
Kita beralih ke Soeharto. Kebijakan-kebijakan bahasa pada
masa Orde Baru mengukuhkan Soeharto adalah penguasa bermodal bahasa.
Pelaksanaan kongres-kongres bahasa selalu menginduk ke perintah dan gagasan
Soeharto. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dan perguruan tinggi
sering dipengaruhi politik bahasa berpusat ke Soeharto. Pilihan kata Soeharto
pun gampang menimbulkan polemik dan penelitian bermaksud mendefinisikan Orde
Baru. Soeharto mengingatkan: “Proses
pembangunan kita cenderung mengutamakan penggunaan bahasa pembangunan dan
bahasa yang resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional, yaitu
bahasa Indonesia” (Soeharto:
Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, G Dwipayana dan Ramadhan KH, 1989).
Soeharto tak rajin menulis tapi sanggup menentukan nasib bahasa Indonesia,
bermisi pemajuan atau politisasi.
Pada masa 1980-an, Soeharto mungkin menganggap telah
berlangsung pembakuan bahasa Indonesia untuk penciptaan tertib politik.
Segala protes dan kritik dilemahkan melalui penghalusan. Soeharto seperti
terlindungi dari serangan bahasa perlawanan. Tata bahasa di politik mengalami
pengendalian berdalih tata krama, pembangunan, dan persatuan. Soeharto tampil
sebagai penguasa bahasa Indonesia agar kekuasaan tetap utuh, tak bolong atau
runtuh. Di buku Amanat Kenegaraan IV, 1982-1985, Soeharto menjelaskan:
‘’Sebagai bangsa kita telah dapat melampaui saat-saat yang sulit dalam
perkembangan dan pertumbuhan kita untuk menjadi bangsa yang makin dewasa,
makin matang dan makin tahan uji.’’ Kalimat elok mengandung pengertian bahwa
kebijakan politik bahasa turut menjadi penentu Indonesia ‘’dewasa, matang,
dan tahan uji’’. Pengertian menurut penguasa, bukan bersumber dari gejolak
atau resah di benak jutaan orang.
Warisan Kata
Soeharto tak mampu mempertahankan tertib politik melulu
dengan seribu perintah. Pada 1989, Soeharto pun menggunakan ‘’gebuk’’untuk
mengatasi segala kritik dan gerakan politik perlawanan. Kata itu menakutkan
dan mengesankan tindakan keras. Barangkali ‘’gebuk’’terpilih dari hasil
adonan politik dan militer berlatar kejawaan. Di imajinasi bocah, ‘’gebuk’’
itu alat untuk menghukum. Bocah melanggar atau melawan orangtua bakal
‘’digebuk’’, sakit dan bermaksud menimbulkan jera atau trauma. Di mata
penguasa, ‘’gebuk’’itu kata untuk menghancurkan perlawanan. Kata itu sempat
bercerita Soeharto dan Orde Baru. Sekian tahun, kata-kata politik mulai
dipamerkan para presiden, setelah Soeharto.
Para presiden di Indonesia selalu memberikan warisan
kata-kata, memuat makna-makna politik dan kultural. Kini, Joko Widodo kembali
mengingatkan masa genting saat ‘’gebuk’’ diucapkan di Istana Negara. Joko
Widodo tentu tak meniru Soeharto. Indonesia sedang ruwet akibat persaingan
identitas politik dan sebaran spanduk-sapnduk melawan konstitusi. ‘’Gebuk’’
terpilih demi konstitusi, bukan untuk melindungi laku politik Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar