Uji
Publik Penamaan Prodi di PT
Syamsul Rizal ; Profesor di Universitas Syiah
Kuala;
Alumnus Universitaet Hamburg,
Jerman
|
KOMPAS, 26 Mei 2017
Dalam rangka melaksanakan Pasal 5, 6, 7, dan 8 Peraturan
Menristek dan Dikti Nomor 15 Tahun 2017 tentang Penamaan Program Studi pada
Perguruan Tinggi, Kemenristek dan Dikti menganggap perlu untuk melakukan uji
publik terlebih dahulu.
Draf nama-nama program studi (prodi) pada jenjang S-1,
S-2, dan S-3 pun telah dikeluarkan pada 6 Mei 2017. Diharapkan masyarakat
bisa ikut menilainya dan memberikan masukan yang positif untuk kemajuan
bangsa kita dalam bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi
Artikel ini berusaha memberikan masukan positif dalam uji
publik ini, khususnya yang terkait dengan prodi pada jenjang S-3. Dari
nama-nama prodi yang telah diterbitkan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti), terlihat bahwa nama-nama prodi S-3
sangat ketat, kaku, dan tidak fleksibel. Prodi Matematika, Fisika, Kimia, dan
Biologi, misalnya, pada jenjang S-1, S-2, dan S-3 semuanya bernama sama.
Pertimbangkan tiga hal
Ada tiga hal penting harus dipertimbangkan oleh
Kemenristek dan Dikti terhadap penamaan prodi pada jenjang S-3. Pertama,
perlunya mengakomodasi semua profesor produktif di Indonesia agar
dimungkinkan untuk membimbing mahasiswa S-3.
Penamaan prodi yang sangat kaku seperti ini membuat
perguruan tinggi negeri (PTN) di daerah-daerah dan swasta (PTS) menjadi
sangat sulit membuka prodi S-3. Ini artinya kita akan membiarkan para
profesor produktif dari PTN di daerah-daerah dan PTS menjadi penganggur
”sangat intelektual”. Kita berpotensi menghukum profesor yang produktif ini,
padahal mereka tidak berbuat salah.
Kedua, sesuai Peraturan Presiden No 8/2012, setiap lulusan
harus sesuai dengan tuntutan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Tuntutan lulusan doktor terapan dan doktor harus sesuai KKNI level 9, yang
salah satu cirinya: mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau
seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan interdisipliner,
multidisiplin, dan transdisipliner.
Nama prodi yang sangat tidak fleksibel dan kaku
menyulitkan kita untuk memenuhi KKNI level 9. Apakah mungkin melakukan riset
secara interdisipliner, multidisiplin, dan transdisipliner pada prodi yang
tidak fleksibel? Jawabnya: tidak mungkin!
Ketiga, Kemenristek dan Dikti bertekad meningkatkan
publikasi internasional para dosen, khususnya para profesor. Bahkan kita
punya target khusus: mengalahkan Malaysia dalam hal publikasi
internasional.Untuk tujuan ini bahkan telah diterbitkan Permenristekdikti No
20/2017, lengkap dengan ancaman yang sangat terkenal itu: jika seorang
profesor tak mampu memublikasikan tiga artikelnya pada jurnal internasional
atau satu artikel pada jurnal internasional bereputasi, sejak 2015 sampai
2017, tunjangan kehormatan profesor akan dihentikan (Kompas, 6/2).
Atas dasar inilah kita harus mencari celah agar semua
profesor diberi kesempatan sama untuk memublikasikan hasil risetnya pada
jurnal internasional. Dengan nama prodi S-3 yang tidak fleksibel, kita
berpotensi menutup peluang ini bagi sebagian profesor produktif. Padahal,
untuk mengalahkan Malaysia kita perlu menghimpun kekuatan semua profesor
produktif dari Sabang-Merauke.
Ada dua masalah pendidikan S-3 di Tanah Air. Pertama, kita
kekurangan profesor yang produktif, yang siap membimbing mahasiswa S-3 dalam
melakukan penelitian dan memublikasikan hasil-hasilnya di jurnal
internasional bereputasi. Padahal, Permenristekdikti No 44/2015 tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) telah mengatur secara khusus dan
eksplisit tentang kewajiban publikasi mahasiswa program doktor. Pada lampiran
Permenristekdikti ini disebutkan, mahasiswa program doktor wajib menerbitkan
makalah di jurnal internasional bereputasi sebelum mereka lulus.
Kedua, Permenristekdikti No 100/2016 mensyaratkan enam
dosen tetap bergelar S-3 untuk membuka prodi S-3. Dua di antara enam dosen
ini harus bergelar akademik profesor.
Di sinilah sumber masalahnya. Mengapa? Kalau sebuah prodi
hanya punya dua profesor produktif, berdasarkan Permenristekdikti ini mereka
tetap tidak akan bisa membimbing mahasiswa S-3. Dua profesor ini harus
menunggu empat rekannya yang lain mendapatkan gelar S-3, baru mereka
diizinkan membuka prodi S-3. Bisa saja penantian mereka ini merupakan
penantian tak berujung. Dan, seumur hidup mereka tak akan pernah membimbing
mahasiswa S-3.
Ini hal yang sangat mubazir dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya profesor kita. Para profesor produktif yang gagal
membimbing S-3 ini banyak jumlahnya. Mereka utamanya berasal dari PTN lemah
di daerah-daerah dan PTS. Bila kebijakan penamaan prodi ini diterapkan pada
jenjang S-3, akan lebih banyak lagi profesor produktif yang menganggur. Dan,
ini mestinya tidak boleh terjadi. Kita harus menyelamatkan mereka.
Mutu pendidikan S-3
Sebaiknya pendidikan jenjang S-3 di Tanah Air
disederhanakan, sekaligus ditingkatkan mutunya. Semua PT secara otomatis
diberikan izin membuka prodi S-3. Sebagai penyaring, hanya profesor produktif
yang punya publikasi internasional bereputasi, paling sedikit dua buah, yang
dapat ditugaskan jadi promotor mahasiswa S-3. Ini dimungkinkan karena
kurikulum S-3 kita berbasis riset. Dengan demikian, bila tak punya seorang
pun profesor produktif, PT tersebut dilarang menerima mahasiswa S-3.
Tentu kita bertanya-tanya: apakah program S-3 seperti ini
dapat dipertanggungjawabkan? Di negara maju, seperti Jerman, pendidikan S-3
tidak ada institusi formalnya dalam bentuk prodi S-3. Pendidikan S-3 hanya
berbasis profesor. Kalau seorang profesor menerima mahasiswa S-3 untuk
bekerja di laboratoriumnya sebagai kandidat doktor, maka keputusannya tak
dapat digugat oleh siapa pun.
Hanya saja, di Indonesia, Kemenristek dan Dikti yang
menentukan siapa saja yang berhak menjadi promotor. Keputusan ini didasarkan
produktivitas publikasi internasional dari setiap profesor yang ada, tanpa
pandang bulu dan asal institusinya.
Dengan demikian, kita ikut memberdayakan seluruh profesor
di Indonesia yang produktif dan yang mau berkontribusi untuk republik ini
dalam bidang ilmunya masing-masing. Selama ini, kita membiarkan banyak
profesor produktif menganggur karena regulasi yang kita ciptakan sendiri.
Partisipasi seluruh rakyat Indonesia terhadap pembangunan di negeri ini
sangat penting, tak terkecuali dalam bidang sains dan teknologi, yang tulang
punggungnya terdiri atas para profesor produktif ini.
Selain itu, pendidikan S-3 seperti ini berlangsung sangat
efisien. Karena di setiap universitas kita hanya punya satu prodi S-3. Selama
ini kita banyak memiliki prodi S-3 dalam sebuah universitas. Bahkan tidak
jarang lebih banyak jumlah pengelola prodi daripada mahasiswa yang terdaftar.
Akibatnya, dana habis hanya untuk pengelola prodi saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar