Tergadainya
Politik Republikan DPR
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa
Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Mei 2017
EDITORIAL Harian Umum Media Indonesia Rabu (24/5)
'Membarterkan Kekuasaan' mengupas soal kompromi pimpinan fraksi parpol di DPR
yang menyepakati penambahan jumlah kursi pemimpin MPR dari 5 menjadi 11 kursi
sesuai dengan jumlah fraksi. DPR berdalih penambahan kursi itu bertujuan
mengakhiri jalan buntu pembahasan revisi UU MD3 untuk mempermulus kata
sepakat. Sepertinya DPR kita tak lelah-lelahnya merajut sensasi di atas
logika politik penuh transaksi. Semua kepentingan harus terakomodasi dalam
bentuk kursi demi menjaminkan stabilitas internal politik Senayan.
Tidak itu saja, ada yang berdalih penambahan kursi demi
menjamin kualitas kinerja DPR. Meski begitu, deretan justifikasi politik itu
tak mungkin mampu membalut kencangnya hasrat barter politik sebagaimana
disindir media ini. Bahkan ada yang memersepsikan itu sebagai akal-akalan
politis menambah etalase amunisi menjelang Pemilu 2019. Politik menakar
jumlah kursi di Senayan selama ini selalu tidak dalam konteks menjaga
kewibawaan kinerja politik. Itu lebih kepada upaya menstimulasi eksistensi
politik individu/kelompok lewat kongsi-kongsi kekuasaan tentatif.
Akhirnya, kursi-kursi Senayan bukan lagi menjadi tempat
duduk empuk kerinduan publik, melainkan menjadi 'korosi' yang perlahan-lahan
mengaratkan cita-cita politik kesejahteraan dan posisi rakyat sebagai yang
empunya kedaulatan.
Hilangnya kepublikan
Berbagai drama perkelahian politik yang membisingkan isi Senayan
belakangan ini semata-mata karena ada kelompok kepentingan yang merasa
terancam eksistensi politiknya. Bukan karena kegelisahan kolektif akan
hilangnya nilai-nilai kepublikan (etika, moralitas, keadilan, kesejahteraan)
dalam mempercakapkan urusan dan membela kepentingan publik. Inilah paradoks
politik representasi atau keagenan politik kita. Ketika rakyat tersekap dalam
ruang gelap kesulitan hidup yang dipicu tingginya biaya hidup dan produksi
isu-isu provokatif, wakil-wakilnya malah keasyikan 'meloak' mandat publik dan
kesadaran empati sosialnya demi meraih 'kursi-kursi panas' yang korup dan
menipu.
Bagaimanapun juga, keberadaan kursi tersebut dianggap
menjadi pintu utama untuk memperbesar stimulus munculnya nominal
anggaran-anggaran irasional yang dialokasikan buat kemakmuran pribadi.
Misalnya, menurut Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (Fitra), pada
2016 ada 11 anggaran 'tidak wajar' di DPR. Proyek pembangunan kompleks DPR
yang mencapai Rp570 miliar, kemudian anggaran Rp106 miliar untuk 556 rumah
jabatan anggota di Ulujami dan Kalibata dengan biaya per kamar mencapai Rp13
juta ditambah ruang keluarga dan ruang makan Rp23 juta dan 14 juta.
Anggaran untuk pengharum ruangan yang mencapai Rp218 juta
per bulan atau Rp2,6 miliar. Itu termasuk anggaran pemeliharaan kendaraan Rp8
miliar yang sempat naik menjadi Rp15 miliar pada 2015. Ada pula anggaran
untuk pakaian dinas yang naik empat kali lipat dari 2013, yakni dari Rp1
miliar menjadi Rp3,7 miliar. DPR pada 2016 dan 2017 juga menjalankan empat proyek
pekerjaan cleaning service sejumlah Rp21 miliar yang naik menjadi Rp28
miliar. Untuk tahun anggaran 2018 saja, DPR mengajukan anggaran cukup besar
Rp7,2 triliun.
Deretan angka 'lexus' di atas merupakan penggambaran
inefisiensi praksis politik di tengah besarnya insiden korupsi yang dilakoni
wakil rakyat dari waktu ke waktu. Mereka tanpa sadar telah membangun fondasi
kukuh bagi terciptanya reproduksi sifat dan karakter amoral sehingga makin
menjauhkannya dari jangkar kepercayaan rakyat. Padahal, menurut Harrold
Laswell dalam Psychopathology and
Politics (1930), politisi yang normal ialah orang yang dinamika perilaku
internalnya mampu menghubungkan dirinya secara efektif dengan lingkungan
luar.
Persis di sini, relasi intensional populis antara DPR dan rakyat
mestinya menjadi dasar, panduan dan pedoman politik DPR dalam menjalankan
tugas dan fungsinya, bukan karena pertimbangan opera elektoral. Dalam konteks
itulah, Laswell memprotes pendekatan mekanis kelembagaan dari politik karena
mengabaikan sifat-sifat kepribadian dan perilaku individu. Tudingannya jelas
bahwa sistem dan mekanisme akomodasi politik, yang sampai-sampai mengorbankan
kedaulatan publik untuk suatu percakapan pemilu yang rumit, tak sepenuhnya
dipahami rakyat awam, tidak akan memiliki spirit urgensional ketika perilaku
politisi masih jauh dari kehendak suci pementingan substrat kepublikan.
Alot dan kerasnya perdebatan soal pembahasan Rancangan UU
Pemilu--yang merupakan penggabungan UU Pemerintah Daerah, UU Pemilu, UU
Pemilihan Presiden dan UU Penyelenggara Pemilu--di DPR saat ini, tidak saja
rumit, tetapi juga berpotensi melahirkan titik singgung yang besar terkait
dengan posisi tawar ataupun insentif faksi-faksi politik yang selalu ingin
memperbanyak kebahagiaan parsial mereka.
Tergadai
Jeremy Bentham (2006) dalam bukunya, Theory of
Legislation, pernah mengemukakan asas manfaat menjadi penting dalam melihat
nilai moral yang dimiliki pemerintahan.Asas manfaat melandasi segala tindakan
berdasarkan sejauhmana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan
kelompok. Dengan kata lain, urgensi praktik politik yang meributkan soal
jatah kursi pimpinan dan kemudian dibelokkan lagi pada urusan 'siapa mendapat
apa' sesungguhnya telah kehilangan esensi moralitasnya, atau telah
tergadainya jiwa republikan di kalangan tukang parle itu.
Republikan, menurut Gaus dan Kukatahas (Teori Politik,
2013), ialah spirit pengelolaan politik sebagai urusan umum dan kebajikan
sebagai warga negara (civic virtue), atau yang dinamakan res publica
(kebaikan bagi umum). Politik yang republikan ialah politik yang rela
mengorbankan kebahagiaan diri demi memenangi politik pemihakan terhadap
kepentingan publik. Relasi politik yang demikian, menurut Toquiville (dalam Democracy in America), tak punya
kesulitan berarti untuk keluar dari lingkungan keluarga dan teman (1969:506).
Sayangnya, relasi politik hari-hari ini disuguhkan dengan
'obesitas' lobi, pendekatan, dan manuver penuh propaganda populis. Dari
pemilu ke pemilu, suara rakyat dikapitalisasi demi melegitimasi lahirnya
'sirkus-sirkus politik' yang selalu mencuri pemakluman dan tepuk riuh publik
penonton di balik masifnya permainan kotor manipulatif. Kalau saja wakil
rakyat kita setuju konstatasi John Stuart Mill (dalam Considerations on Representative Government) bahwa suara bukan
hak yang digunakan untuk rahasia, melainkan kepercayaan atau kewajiban yang
harus dilakukan di bawah pengawasan atau penilaian umum publik (1991:355),
tak ada alasan bagi mereka untuk terus memperbesar rumah keserakahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar