RUU
Penyiaran 2017, Teknologi,
dan
Matinya Kompetisi
Kamilov Sagala ; Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan
Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII)
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Mei 2017
TELEVISI saat ini merupakan media yang tidak terpisahkan
dari kehidupan manusia atau lebih dikenal dengan media komunikasi massa.
Menurut Baksin, televisi merupakan hasil produk teknologi tinggi yang
menyampaikan isi pesan dalam bentuk audiovisual gerak, yang memiliki kekuatan
sangat tinggi untuk memengaruhi mental, pola pikir, dan tindak individu.
Kegiatan penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada 24
Agustus 1962, bertepatan dengan pembukaan pesta Asian Games IV di Senayan.
Sejak itulah, Televisi Republik Indonesia atau disingkat TVRI dipergunakan
sebagai panggilan status.
Perkembangan dunia pertelevisian di Indonesia pun semakin
meningkat. Jika dahulunya hanya ada TVRI, saat ini telah bermunculan
stasiun-stasiun televisi baik nasional, stasiun televisi jaringan, stasiun
televisi berbayar, maupun stasiun televisi lokal yang tersebar di berbagai
wilayah di Indonesia.
Kehadiran stasiun-stasiun televisi selain TVRI itu membuat
tumbuhnya persaingan antarpelaku usaha di industri penyiaran televisi. Hal
itu menjadi cikal bakal lahirnya organisasi media penyiaran televisi seperti
Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia
(ATVLI), dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI).
Perihal penyiaran sebelumnya telah diatur pada
Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, dengan
beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa UU itu sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan teknologi penyiaran, sosial kemasyarakatan, dan kebutuhan
hukum masyarakat, DPR membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran
untuk merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 itu. Ide revisi itu sebenarnya ialah
pengalihan dari frekuensi analog ke digital atau dikenal dengan sistem
multiplexing. Tujuan multiplexing ialah menghemat jumlah saluran fisik,
misalnya kabel, pemancar, dan penerima, atau kabel optik.
Namun ketentuan dalam RUU itu tidak sejalan dengan tujuan
penyelenggaraan penyiaran, yakni mewujudkan industri penyiaran yang sehat.
Banyak kontradiksi antara tujuan yang ingin diwujudkan dan ketentuan/aturan
yang ditetapkan pada RUU tersebut sehingga terjadi perdebatan.
Ancaman monopoli
Salah satu hal yang menimbulkan perdebatan dalam revisi UU
Penyiaran, yaitu terkait pengelolaan multiplexing. Dalam RUU Penyiaran 2017,
pengelolaan multiplexing ini diserahkan kepada multiplexer tunggal (single
mux). Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia
ditetapkan sebagai multiplexer tunggal, yang alternatifnya untuk siaran
televisi diberikan kepada lembaga penyiaran televisi publik, yaitu TVRI. Penetapan
atau konsep single mux ini sebenarnya mengarah pada tindakan monopoli yang
melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak Sehat.
Dalam Pasal 20 RUU Penyiaran ayat (1) ini jelas
menyebutkan bahwa ‘Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah
multiplexer tunggal’. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa
‘Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh
Pemerintah’. Sementara jika frekuensi siaran (slot kanal) nantinya diserahkan
satu pihak (otoritas tunggal), sangat besar potensi penyalahgunaan wewenang
(abuse of power).
LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi
konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator melalui
mekanisme sensor untuk mendapatkan izin penggunaan frekuensi siaran (slot
kanal). Penguasaan mux operator atas faktor itulah yang mengarah pada
perbuatan monopoli dan mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
U Nomor 5 Tahun 1999 secara jelas mengatur bahwa segala
tindakan, kebijakan, dan perbuatan yang mengarah pada praktik monopoli
dilarang. Penguasaan atas faktor produksi (dalam hal ini yang dimaksud ialah
frekuensi siaran/slot kanal melalui mekanisme sensor) oleh TVRI (meskipun
tidak secara eksplisit merujuk pada penguasaan oleh pemerintah) ialah salah
satu kegiatan yang menunjukkan bahwa ada posisi dominan/otoritas tunggal oleh
pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar
industri penyiaran.
Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Dengan demikian, sangat nyata bahwa konsep single mux
bukannya mengarahkan pada tujuan meningkatkan daya saing ataupun menciptakan
iklim usaha yang sehat, melainkan malah sebuah langkah mundur dalam industri
penyiaran karena telah menghambat kreativitas pelaku usaha, nilai sewa
standar antarpelaku di industri penyiaran menjadi tidak kompetitif. Ujungnya
ialah industri penyiaran menjadi tidak efisien dalam jangka panjang.
Konsep single mux ini pada akhirnya tidak akan menciptakan
adanya suatu hubungan dan tata kerja yang sinkron bagi semua stakeholder
dalam bidang penyiaran. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus turut
andil mengawal RUU ini sebagaimana visinya untuk mewujudkan ekonomi nasional
yang efisien dan berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat.
Selain itu, proses digitalisasi yang diharapka akan cepat
menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyak media yang
tentunyamembutuhkan kapasitas infrastruktur digitalisasi (menara, antena, dan
lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar, sementara infrastruktur televisi
analog yang dimiliki LPS jadi tidak bermanfaat.
Menteri Komunikasi dan Informatika seharusnya dapat
melihat polemik ini sehingga tidak serta-merta memberikan usul kepada Panja
Penyiaran Komisi I DPR RI hanya dengan melihat satu aspek tanpa
mempertimbangkan masukan dari stakeholder penyiaran. Hal itu hanya
memperlihatkan ambisi besar meningkatkan kontribusi LPS terhadap negara dituangkan
dengan konsep yang tidak akomodatif.
Tidak akomodatifnya Menkominfo dalam menciptakan kebijakan
itu dilihat dengan dasar utama mendorong peningkatan kontribusi LPS pada
negara dengan membandingkan dua hal yang sama sekali tidak relevan. Kontribusi
LPS (industri penyiaran) dibandingkan dengan operator telekomunikasi seluler
(industri telekomunikasi). Padahal, dua industri ini sangat berbeda baik
dalam hal karakter layanannya, sumber pendapatannya, sampai pada persoalan
jumlah pelaku yang berkecimpung dalam industri masing-masing.
Sebenarnya semua asosiasi penyiaran seperti ATVSI, ATVJI,
maupun ATVLI telah menawarkan solusi yang jauh dari ancaman monopoli. Sistem
ini ialah sistem hybrid (hibrida), sebuah sistem penyiaran digital yang
mux-nya tidak tunggal, tetapi gabungan antara LPP dan LPS. Penerapan sistem
hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multiplexing sebagai bentuk nyata
demokratisasi penyiaran. Hal itu akan mengakomodasi kepentingan komersial
maupun yang tidak komersial.
Sistem hybrid akan menjadikan ketersediaan kanal untuk
program-program baru (ketersediaan frekuensi untuk penyiaran analog
terbatas) menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan
teknologi penyiaran di masa datang di antaranya televisi UHD4K, UHD 8K, dan hybrid
broadband broadcast television (HbbTV). Ketersediaan frekuensi untuk sistem
hybrid ini tetap mencukupi baik untuk mengakomodasi siaran LPS, antisipasi
perkembangan teknologi ke depan, maupun digital dividen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar