Mewaspadai
Reifikasi Puasa
Ahmad Sahidah ; Dosen Senior Filsafat dan Etika
Universitas Utara Malaysia
|
JAWA
POS, 24
Mei 2017
DUA pekan menjelang puasa, harga kebutuhan merangkak naik.
Sebuah stasiun televisi swasta telah menayangkan iklan kopi yang
menggambarkan pria berserban menikmati biji hitam diikuti dengan ucapan
selamat berpuasa. Jelas, bulan suci ini akan mengubah pola konsumsi dan menu
umat. Alih-alih mengurangi asupan, justru tingkat permintaan terhadap
sembilan bahan pokok makin naik. Sementara iklan minuman memperlihatkan
konsumsi yang lain, tanda berupa jubah dan serban.
Mengingat hal serupa acap kali terjadi, kita perlu
menghadirkan pembacaan agar kehadiran puasa secara kualitatif dan kuantitatif
bisa memengaruhi kepribadian pemuasa. Pernyataan Alain de Batton dalam The
News: A User Manual (2014) layak ditimbang. Agama sejatinya memahami dualisme
antara kebutuhan lahir dan batin. Betapa pun ia mencoba memengaruhi orang
beriman melalui jalan spiritual, ia juga mengapresiasi fungsi yang mungkin
dimainkan dalam membentuk karakter dengan makanan khusus, pakaian, perjalanan
(haji dalam Islam), dan pernik-pernik dekorasi interior.
Sejatinya, pelaksanaan nilai-nilai agama dalam bentuk
material adalah reifikasi, yaitu tindakan memperlakukan sesuatu yang bukan
benda sebagai sesuatu yang bisa diraba, dilihat, dan disentuh. Puasa tidak
hanya ditunjukkan dengan tidak makan, tetapi juga ditunjukkan dengan
pemenuhan kebutuhan berbuka yang dianggap afdal (utama), seperti kurma, atas
dasar Sunnah Nabi. Jelas, Reifikasi agama tak bisa dielakkan mengingat kata
Ludwig A von Feuerbach, agama bukan hanya wujud sentimen, tetapi juga produk
sosial. Sebagai agama yang lahir di tanah Arab, kurma adalah salah satu
makanan pokok di sana sehingga pemenuhan karbohidrat warga diperoleh dari
buah-buahan khas Sahara itu.
Lebih jauh, dengan menjamurnya media sosial, seperti
Instagram, Facebook, dan Twitter, menu berbuka puasa bukan sekadar bagian
dari ritual, tetapi juga ekspresi selera dan mode penampilan. Tak pelak,
bazar Ramadan tumpah ruah dan hotel-hotel menawarkan berbuka dengan menu
istimewa. Semua ini mesti dibayar dengan harga yang jauh lebih mahal daripada
biaya makan hari-hari biasa. Alih-alih menahan diri untuk tidak berlebihan,
justru di hari suci ini, dengan makanan berlimpah seakan-akan ada justifikasi
untuk mengganti keberhasilan menahan diri di siang hari, lalu menikmatinya di
malam hari. Malangnya, banyak makanan yang berakhir di tong sampah.
Demikian pula, banyak orang yang berganti pakaian dengan jubah
dan serban seperti pada iklan kopi di atas. Di tengah arus Arabisasi yang
dicurigai membawa pemahaman yang tidak mencerminkan budaya setempat, jubah
acapkali dilihat sebagai bukan khazanah lokal. Tak pelak, mereka yang
melakukan kekerasan atas nama dicap sebagai preman berjubah. Padahal, jubah
juga digunakan sebagai pakaian resmi dalam prosesi wisuda. Adakah kita pernah
mendengar koruptor berjubah jika pelakunya civitas academica? Lagi-lagi,
pakaian sejatinya lebih terkait dengan rasa nyaman dan selera yang
dipengaruhi oleh habitus, kebiasaan yang dibentuk oleh masyarakatnya.
Justru, sarung yang dianggap sebagai pakaian yang
dikaitkan dengan ibadah berwajah Nusantara tidak hanya dikaitkan dengan nilai
guna (use value), sebagai kain penutup aurat ketika bersembahyang, tetapi
juga nilai tukar (exchange value) yang dikaitkan dengan sarung bermerek,
seperti BHS dan Lamiri, yang berfungsi sebagai alat komunikasi. Pemiliknya
adalah orang yang mempunyai banyak duit dan membayangkan dirinya bagian dari
masyarakat kelas menengah yang menimbang selera dalam berbusana. Di sini,
fetisisme komodifikasi bekerja, sebuah benda mengandung daya magis yang
diandaikan oleh penggunanya, sementara tak sepenuhnya memahami konsep berhala
secara tuntas.
Dengan demikian, pesona benda yang terkait dengan kegiatan
keagamaan sememangnya tidak bisa dihindari. Meski demikian, ketika pengaruh
iklan dari produksi kapitalisme begitu kuat, pesan intrinsik dari puasa akan
tergerus. Padahal, tujuan puasa itu sendiri seperti diungkapkan dalam Al
Baqarah 183 adalah bertakwa, yang berarti percaya pada Tuhan dan peduli pada
orang lain melalui kegiatan-kegiatan amal. Pendek kata, kegiatan puasa selama
ini lebih bertumpu pada etika normatif, yang semestinya pada waktu yang sama
aplikatif atau terapan.
Jika pemuasa menghayati iman, yang bersangkutan tentu
memahami bahwa keyakinan (i’tiqad) itu dibuktikan dengan mencintai sesamanya
seperti mencintai dirinya. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadah ini lebih
mendorong orang untuk berperilaku sederhana dan menggunakan kekayaannya untuk
berbagi dengan orang yang memerlukan. Betapa pun pada bulan suci ini pahala
dilipatkangandakan hingga tujuh ratus kali lipat, ia tidak serta-merta
dipahami secara kuantitatif, tetapi kualitatif. Lagi pula, tingkat tertinggi dari
puasa (khawasul al-khawash) bukan hitung-hitungan, tetapi keikhlasan.
Dengan mengembalikan puasa pada makna literal, yaitu
menahan diri (imsak), sejatinya kontrol diri adalah salah satu sifat yang
perlu ditanamkan. Krisis material-spiritual yang memicu tekanan hidup dan
stres akan mudah mendorong manusia melakukan tindakan konyol. Keberhasilan
menahan diri tentu akan menjadikan individu lebih kuat. Tentu, ia lahir dari
kemampuan menghadirkan nilai batin dari puasa, yaitu pemenuhan kebutuhan tubuh
yang minimal dan olah batin yang maksimal, sehingga hidup yang bersangkutan
tidak sial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar