Agama
dan Negara
Ignas Kleden ; Sosiolog
|
KOMPAS, 30 Mei 2017
Pergolakan politik yang sempat memanas menjelang pemilihan
gubernur Jakarta April 2017, khususnya antara mereka yang dianggap sektarian
dalam sikap politiknya dan mereka yang dinamakan kelompok nasionalis, dari
segi politik makro, dapat dipandang sebagai salah satu versi dari kecanggungan
yang masih kita alami di Indonesia menghadapi soal hubungan agama dan negara.
Pergolakan-pergolakan itu lebih mirip gelombang permukaan
atau epiphenomenon dari suatu gejala yang lebih mendasar, yaitu kebingungan
para warga negara menghadapi hierokrasi dan demokrasi, kehendak Tuhan dan
kehendak rakyat, vox Dei dan vox populi,
yaitu agama dan negara. Fenomen kebingungan ini patut diusahakan
terus-menerus untuk dibereskan agar percikan gejala-gejala permukaan
sebagaimana yang sering kita alami dapat dihindari sebagai hal-hal yang tidak
perlu dan bahkan merugikan, baik untuk kehidupan agama maupun untuk
perkembangan politik.
Seorang tokoh agama, Salahuddin Wahid, pengasuh Pesantren
Tebuireng, dalam tulisannya di harian Kompas (16/5/2017), menunjukkan tujuh
fakta historis dalam sejarah politik kita semenjak Indonesia merdeka, berupa
tujuh usaha yang berhasil merumuskan dan melegalkan beberapa bentuk hubungan
antara keindonesiaan dan keislaman dalam kesepakatan atau modus vivendi yang dapat diterima masing-masing
pihak.
Ketujuh fakta historis yang diuraikan oleh penulis
tersebut sangat patut mendapat perhatian untuk memahami ketegangan yang
berpotensi muncul dalam penghayatan tentang pentingnya agama dan
tak-terhindarkannya negara dalam kehidupan bersama pada masa sekarang, dan
bagaimana ketegangan itu dapat dicarikan jalan keluarnya yang sedapat mungkin
memberi keadilan (do justice)
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perbedaan paham dan pendirian.
Sekalipun demikian, keindonesiaan dan keislaman hanyalah
salah satu contoh soal dari masalah besar menyangkut perlunya dan batas-batas
peranan agama dan negara dalam suatu masyarakat yang menganut demokrasi
sebagai sistem politiknya.Karena agama-agama lain juga, meski dalam skala dan
intensitas berbeda, tetap menghadapi pertanyaan sama mengenaibagaimana
bersikap terhadap negara dan agama dalam politik yang demokratis.
Kita tahu agama mana pun selalu memuat ajaran luhur
tentang moralitas, danhubungan manusia dengan apa yang diyakininya sebagai
Tuhan semesta alam. Agama membuat seseorang berpandangan dan bertindak
menurut suatu orientasi transendental dan memberi makna transendental kepada
tindakan-tindakannya. Di pihak lain, kekuasaan politik negara merupakan suatu
yang harus ada untuk menjaga ketertiban masyarakat yang hidup dalam negara
itu, khususnya agar ada kemampuan pada negara memaksakan ketaatan kepada
hukum dan UU yang telah disahkan. Agama memberikan bonum maximum (kebaikan
tertinggi untuk para penganutnya), sedangkan kekuasaan politik negara adalah
minus malum atau the lesser evil (sesuatu yang belum tentu baik, tetapi tak
dapat dihindari agar kehidupan bersama dalam suatu masyarakat terhindar dari
kekacauan akibat perang semua melawan semua), atau bellum omnium contra omnes
sebagaimana diajarkan oleh filosof Thomas Hobbes.
Politisasi agama
Dengan posisi agama dan kekuasaan politik seperti itu,
dapat dikatakan bahwa setiap politisasi agama (yang dijalankan kelompok agama
mana saja) adalah tindakan tak menghormati dan bahkan merendahkan martabat
agama, karena ajaran dan nilai-nilai moral yang luhur telah diturunkan
harkatnya dan dijadikan alat untuk mendapat kekuasaan politik yang fana.
Dengan kata lain, suatu bonum maximum direndahkan martabatnya menjadi alat
bagi suatu minus malum.
Sosiologi agama sudah menunjukkan dengan berbagai bukti,
selama berada di dunia ini, baik agama maupun politik tak terhindar dari
godaan, khususnya kekuasaan. Agama dapat tergoda memperluas pengaruh dan
kekuasaannya ke bidang politik, dan sebaliknya, kekuasaan politik dapat
melakukan ekspansi ke dalam kehidupan agama. Keadaan akan jadi damai dan
tenteram kalau kedua jenis kekuasaan ini membatasi diri dalam kawasan
pengaruh masing-masing secara tertib.
Saya berpendapat tak ada salahnya kita mengambilbahan
pelajaran dari negara lain yang telah mendudukkan persoalan ini secara
proporsional dengan menghormati aspirasi politik dan aspirasi keagamaan para
warga negaranya, untuk menjaga agar agama dan politik negara taksaling
mempersulit melalui komplikasi, dengan akibat yang mengabaikan agama atau
mengabaikan negara. Robert Bellah adalah pensiunan Guru Besar Universitas
Harvard. Oleh banyak sarjana ilmu sosial, ia dianggap sosiolog agama terbaik
pada masanya dan penulis paling prolifik tentang hubungan agama dan negara di
AS.
Awalnya dia melakukan penelitian mendalam tentang agama
Tokugawa di Jepang, kemudian bersama Soedjatmoko dari Indonesia memimpin
proyek tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi di Asia. Selanjutnya
mendalami berbagai persoalan di AS tentang hubungan agama dan negara,
khususnya tentang sentralnya peran agama dalam politik AS dengan semboyan in God we trust, tetapi sekaligus
dijaga agar agama tak menentukan jalannya politik nasional.
AS adalah negara bermayoritas penduduk agama Kristen dari
berbagai denominasi dan berbagai gereja dengan ajaran dan paham teologi
bermacam-ragam. Bellah mencoba meneliti pidato-pidato pengukuhan presiden AS
dari George Washington ke Abraham Lincoln hingga John F Kennedy. Dia
menemukan kenyataan penting dan menarik: dalam sumpah pengukuhan jabatan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, setiap presiden AS selalu
menyatakan bersumpah di depan rakyat dan di depan Tuhan yang Mahakuasa (to
swear before the people and Almighty God) tanpa sekali pun menyebut nama
Yesus Kristus yang jadi inti iman semua gereja Kristen yang ada di sana.
Hal ini sejak awal dilakukan dengan sengaja untuk
menghormati kelompok-kelompok minoritas yang tak beragama Kristen.
Kepercayaan kepada Yesus dianggap urusan privat setiap komunitas Kristen, tetapi
sumpah dalam suatu jabatan politik cukup menyebut Tuhan yang Mahakuasa,
sebagai seruan dan doa yang dapat diterima semua kelompok warga negara AS,
Kristen atau bukan Kristen. Atas cara itu, agama tak jadi isu sektarian dalam
politik nasional.
Sudah sejak awal mula pemerintah dan masyarakat AS
mengakui bahwa agama tak dapat diabaikan dalam politik nasional, tetapi
sekaligus dengan penuh kewaspadaan dijaga posisi dan peranan agama agar tak
mengintervensi jalannya politik nasional. Kelompok republikan sangat
menekankan pentingnya agama, sedangkan kelompok demokrat menekankan
pentingnya peranan rakyat AS sendiri dalam membangun negara mereka.
Kaum republikan seakan melihat negara muncul dari kehendak
Tuhan, yang memberikan beberapa hak yang tak dapat diganggu gugat (inalienable rights), seperti hak
hidup, hak kemerdekaan, dan hak mengejar kebahagiaan. Pemerintah dibentuk
untuk menjamin dan menjaga realisasi hak-hak itu. Partai Demokrat melihat
negara sebagai perwujudan kehendak bebas rakyat yang diejawantahkan dalam
hukum dan UU yang sudah disahkan, sedangkan negara dan masyarakat harus
tunduk kepada hukum dan UU itu. Yang satu seakan berkata kehendak Tuhan
kehendak rakyat (vox Dei est vox populi),
sedangkan yang lain menekankan kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan (vox populi est vox Dei). Kedua pihak
akhirnya sepakat AS harus berpegang pada dua pilar terpenting: warisan kaum
republikan berupa Declaration of
Independence dan warisan kaum demokrat berupa Konstitusi AS.
Konsensus ini dicatat dengan baik bahkan oleh pengamat
asing. Alexis de Tocqueville adalah bangsawan Perancis yang meninjau Amerika
dan menulis buku Democracy in America yang dibaca hingga sekarang dalam
pelajaran ilmu politik dan sosiologi karena melukiskan berbagai aspek
kehidupan sosial dan politik Amerika secara relatif tepat. Dia meninjaunegara
itu selama sembilan bulan (11 Mei 1831-20 Februari 1832) dan menjelajah 7.000
milkawasan negara itu hingga ke Kanada.
Tentang agama dia menulis: ”Di AS pengaruh agama tak hanya
terbatas pada perilaku yang baik, tetapi juga menyentuh intelijensi rakyat.
Di antara orang-orang Anglo-Amerika ada yang mengakui ajaran Kristen dan
percaya secara tulus akan ajaran itu, tetapi ada juga yang melakukan hal sama
karena takut dicurigai sebagai tak beriman (suspected of unbelief). Karena
itu, kekristenan menjadi agama utama oleh kesepakatan umum, dengan
konsekuensi, sebagaimana yang saya amati sebelumnya, bahwa setiap prinsip
moral sudah ditetapkan dan bersifat pasti, sekalipun dunia politik diserahkan
kepada debat dan eksperimen manusia. Dengan demikian, pikiran manusia tak
pernah dibiarkan mengembara ke bidang tanpa batas dengan segala apa yang
menjadi pretensinya, tetapi diawasi dari waktu ke waktu oleh batas-batas yang
tak dapat dilampaui”.
Pengamatan itu rupanya menjadi dasar baginya menarik
kesimpulan bahwa di AS ”setiap orang diizinkan bebas mengikuti jalan yang
menurut anggapannya akan membawa dia ke surga, seperti hukum mengizinkan
setiap orang untuk punya hak memilih pemerintahnya sendiri”.
Mendalamnya akar agama dalam agama dan masyarakat AS
diakui banyak presiden dari George Washington hingga John F Kennedy. Presiden
Dwight Eisenhower misalnya berkata, ”Our government has no sense unless it is
founded in a deeply felt religious faith---and I don’t care what it
is.”(Pemerintah kita tak ada maknanya kalau tidak didasarkan iman yang
mendalam—dan saya tak peduli apa wujudnya).
Presiden pertama George Washington, dalam pidato
perpisahannya ketika mengakhiri jabatannya pada 1797, berkata dengan jelas
sekali, ”Hendaklah kita waspada menerima begitu saja anggapan bahwa moralitas
dapat dipertahankan tanpa agama. Apa pun boleh diserahkan kepada pengaruh
pendidikan yang beradab atas pikiran manusia dengan susunannya yang unik,
tetapi akal dan pengalaman melarang kitaberharap bahwa moralitas nasional
dapat bertahan dengan mengesampingkan prinsip-prinsip keagamaan.”
Posisi negara
Beberapa praktik itu memperlihatkan, sekalipun agama
demikian penting dalam psikologi masyarakat AS, negara berusaha menjaga
posisinya sendiri dalam memperlakukan agama-agama dalam masyarakat AS. Negara
berusaha melihat agama atas cara yang berbeda dari cara tiap komunitas agama
dan pemimpin-pemimpin komunitas agama melihat agama mereka masing-masing.
Tiap komunitas agama jelas punya ajaran yang berbeda, teologi berbeda, ritual
berbeda, dan praktik yang berbeda, dan perbedaan ini menjadi hak tiap
komunitas keagamaan sebagai wilayah privat yang dijamin oleh negara.
Namun, jelas juga bahwa negara tak dapat mengetahui dan
juga tak mengurus seluk-beluk setiap agama yang berhak dapat perlindungan
daripadanya. Inilah sebabnya, negara memberi perhatian kepada sifat-sifat
pokok yang dapat dikenakannya pada setiap agama dan menjadi pegangan bagi
negara dalam menentukan kebijakannya terhadap agama. Kita ingat kembali
perkataan Presiden Eisenhower yang menekankan, pemerintah tak punya makna
kalau tak didasarkan pada iman yang mendalam, tetapi, ditegaskannya pula, I
don’t care, bagaimana iman itu dilaksanakan dan dihayati dalam setiap
komunitas agama.
Hubungan agama dan negara ini sejak lama memasuki juga
pemikiran filsafat di Barat. Filosof Perancis, Jean-Jacques Rousseau, dalam
bukunya tentang kontrak sosial, berbicara tentang suatu gagasan yang kemudian
dalam sosiologi agama diistilahkan dengan civil religion. Dikatakan secara
singkat istilah itu menunjukkan sikap negara dalam ”menyederhanakan”
pengertian agama yang memudahkan negara menentukan kebijakannya terhadap
agama. Menurut Rousseau, agama dalam pengertian civil religion memuat
beberapa ajaran dan kepercayaan yang dianggap mewakili semua agama yang ada,
yaitu kepercayaan akan adanya Tuhan, adanya kehidupan di akhirat, adanya
pahala untuk kebajikan yang dilakukan seseorang selama hidupnya dan hukuman
untuk kejahatan, dan penolakan terhadap sikap intoleran terhadap agama lain.
Sangat mungkin pengertian agama yang demikian
disederhanakan tak memuaskan para ahli agama dan ditolak para teolog
profesional. Namun, menurut Rousseau, negara bukanlah ahli agama, sementara
negara berkewajiban menjaga dan mengatur kehidupan agama, jadi segala detail
yang bersifat spesifik untuk tiap komunitas agama sebaiknya tak perlu
merepotkan negara dalam menentukan kebijakannya terhadap agama yang harus
dilindunginya sebagai suatu kewajiban politik. Dari latar belakang sejarah
Eropa, hal ini mudah dipahami karena untuk waktu yang cukup lama Eropa
menderita banyak peperangan yang bersifat perang agama.
Sebuah contoh yang dapat disebut dan patut disesali adalah
Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) antara Reformasi yang diwakili Jerman dan
Kontrareformasi yang diwakili Spanyol yang Katolik. Perang yang demikian lama
membawa banyak kerugian dan kehancuran untuk kedua negara, seperti
perang-perang agama sebelum dan sesudahnya, tanpa ada pihak yang menang dan
kalah. Pengalaman-pengalaman pahit itu akhirnya membuat negara-negara Eropa
dengan berbagai usaha mencapai kesepakatan mengenai pemisahan agama dari
negara, dan atas cara itu menghindari perang agama antarnegara yang tak
henti-hentinya.
Ketika para migran dari Eropa mulai datang ke Benua
Amerika, mereka membawa serta semangat dan resolusi untuk membangun suatu
dunia baru, suatu kebudayaan baru, dengan kekristenan yang lebih dimurnikan
dari segala cacat yang ada dalam sejarah Eropa. Sejarah negeri asal mereka
tak dilupakan dan ditinggalkan, tetapi semua hendak diperbarui, dan mendapat
atribut baru atau new. Ada New England di bagian timur laut AS yang
melingkupi daerah seperti Vermont, Massachusetts, Rhode Island, dan
Connecticut dan dikenal sebagai kawasan dengan penduduk makmur dan
berpendidikan baik.
Ada New Haven, sebuah kota pelabuhan di Connecticut yang
semula menjadi tempat tinggal migran Inggris yang puritan, dan sekarang
menjadi terkenal karena Universitas Yale didirikan di sana sebagai salah satu
dari universitas tertua dan terbaik di AS. Ada New York, sebagai kota dan
pelabuhan terbesar di AS, dan berbagai contoh lain. Dengan semangat baru yang
cenderung puritan, penduduk Amerika tak gampang melepaskan diri dari
kekristenan yang hendak dimurnikan, dan yang hendak dijadikan ciri yang
membedakan Amerika sebagai benua baru dari Eropa sebagai benua lama. Akar
agama dalam kekristenan ternyata mempunyai sejarah yang panjang dan rumit.
Teori tentang pemisahan agama dan negara diterapkan di AS
atas cara yang khas, yaitu dengan tetap mempertahankan agama sebagai sumber
utama moralitas nasional, tetapi sekaligus ditetapkan batas-batas
keterlibatan dan peranan agama dalam politik nasional, dan diusahakan agar
agama yang dianut mayoritas penduduk tidak mengabaikan atau menjadi ancaman
bagi kelompok minoritas.
Kasus Indonesia
Uraian singkat tentang hubungan agama dan negara,
khususnya kekristenan di AS dalam politik nasional, tak dimaksudkan sebagai
contoh yang bisa dijiplak begitu saja di Indonesia atau negara lain. Uraian
dibuat sebagai perbandingan berdasarkan kasus yang kebetulan diketahui serba
sedikit oleh penulis ini, yang tidak punya keahlian profesional dalam
comparative politics atau comparative religion.
Indonesia sebagai negara dan bangsa selayaknya mencari
jalan sendiri untuk menetapkan hubungan yang serasi antara agama dan negara,
antara kesalehan religius dan tindakan yang politically correct, antara
solidaritas kelompok dan kesetiaan nasional, antara dorongan membela agama
dan kewajiban menghormati sesama warga negara dan sesama manusia. Semua
perkara itu mendapat landasannya yang kokoh dalam filsafat-dasar negara
Indonesia, Pancasila, yang telah diterima dengan suara bulat ketika
ditawarkan penggagasnya, Bung Karno, pada 1 Juni 1945.
Itulah konsensus nasional yang jadi batu sendi bangunan
negara baru bernama Republik Indonesia. Konsekuensinya sampai sekarang:
Indonesia yang bersatu hanya mungkin bersatu jika semua warga negara bersatu
dalam Pancasila. Antropolog AS yang dikenal luas di Indonesia, Clifford
Geertz, dalam studinya tentang agama memperkenalkan dua konsep penting untuk
penelitian sosiologi agama. Kedua konsep dinamakannya the force of religion
berupa mendalamnya tingkat internalisasi nilai dan ajaran agama dalam diri
penganutnya dan the scope of religion berupa luasnya konteks sosial di mana
agama dianggap relevan dan perlu. Konsep pertama menunjuk hubungan suatu
agama dengan penganutnya, konsep kedua menunjuk hubungan agama dengan seluruh
konteks sosial politik yang meliputi semua orang.
Dalam kasus AS, sudah ditunjuk bahwa negara didorong untuk
memajukan the force of religion sebagaimana tampak dalam semangat Declaration
of Independence, sambil mengatur dengan waspada the scope of religion berupa
batas-batas dalam politik nasional yang tak boleh dilanggar oleh agama dan
negara sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi AS. Penyelesaian ketegangan
agama dan negara dalam kasus AS ditegaskan oleh John F Kennedy dalam pidato
pengukuhan 20 Januari 1961: ”Dengan hati nurani yang tenang sebagai reward
yang pasti, dengan sejarah sebagai hakim terakhir bagi segala apa yang kita
lakukan, hendaklah kita tampil memimpin negeri yang kita cintai, sambil
memohon berkah-Nya dan pertolongan-Nya, karena kita tahu bahwa di sini, di
dunia ini, karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita sendiri (knowing that here on earth God’s work must
truly be our own)”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar