Tesis
Lucu tentang Nazaruddin
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 20
Mei 2017
Saya tergelak dan spontan tertawa ketika mahasiswa saya,
Halili, datang kepada saya untuk mengajukan judul tesis yang akan ditulisnya.
”Saya ingin menulis tesis tentang
peranan Nazaruddin dalam membangun ketakwaan,” katanya. Ada-ada saja. Masak
ada tesis berjudul seperti itu? Tapi sebagai dosen saya tidak serta-merta
menyalahkan atau menolak judul itu. Kepada Halili saya tanyakan, Nazaruddin
siapa? Apakah seorang sufi atau juru dakwah besar dari suatu negara? ”Bukan,
Pak,” jawabnya. Apakah Nasaruddin Umar sang imam besar Masjid Istiqlal itu?
”Bukan, ini Nazaruddin yang sekarang ada di Penjara Sukamiskin, yang dihukum
karena kasus korupsi,” jawabnya mantap.
Loh, bagaimana seorang narapidana korupsi bisa berdakwah
agar orang bertakwa? Ternyata Halili punya alasan yang di dalam metodologi
penelitian disebut sebagai latar belakang masalah. Katanya, berdasar temuan
awal dari observasi yang dilakukannya, ternyata sepak terjang Nazaruddin
membuat para koruptor yang belum tertangkap menjadi lebih bertakwa, takut
kepada Allah, dan mendekati atau ber-taqarrub kepada-Nya. Sebelum melanjutkan
tawarmenawar dengan Halili tentang judul tesis itu, saya perlu menjelaskan
dulu arahan saya tentang penulisan tesis kepada mahasiswa di mana Halili
menjadi salah satunya.
Saya bilang, kalau akan menulis tesis harus dimulai dengan
semacam masalah akademik dulu untuk dinilai kelayakannya. Jadi setiap
mahasiswa yang akan menulis tesis harus sudah punya stok masalah untuk
ditetapkansebagaijuduldanmasalah penelitian. Suatu hari Halili yang berasal
dari Madura ini datang kepada saya dan mengatakan akan menulis tesis karena
orang tuanya dari kampung memintanya segera menikah dan sudah disiapkan
untuknya seorang putri Madura.
Dia bertanya kepada saya tentang tesis yang harus
ditulisnya dan dia meminta judul tesis kepada saya. Saya jawab bahwa judul
tesis itu dibuat sendiri oleh yang akan menulis, bukan diminta kepada dosen.
Caranya, sambung saya, temukan dulu satu masalah, kemudian formulasikan dalam
sebuah judul dan diskusikan dengan dosen pembimbing, apakah layak jadi tesis
atau tidak.
”Kamu harus menentukan dulu masalahnya apa, barulah
tesismu bisa berjalan. Sekarang, masalahnya apa?” tanya saya kepada Halili.
Waktu itu pun jawabannya membuat saya terpingkal. ”Masalahnya, saya tidak
menemukan masalah,” jawabnya sambil tersipu malu. Saat itu saya mengatakan
bahwa masalah untuk penelitian itu dicari sendiri, bukan diminta kepada
dosen. Sebab yang dianggap masalah oleh dosen belum tentu masalah bagi yang
akan meneliti.
Yang merupakan masalah menurut dosen belum tentu
dimengerti oleh mahasiswa yang akan meneliti. Saya meminta dia menggali
masalah itu melalui bacaan-bacaan di buku, koran, internet, berita televisi,
media sosial, dan peristiwa-peristiwa faktual yang ada di lapangan. Saya
meminta Halili pulang dulu dan bisa datang lagi kepada saya jika sudah
menemukan masalah. Itulah latar belakang cerita di awal tulisan ini. Karena
disuruh menggali masalah dengan latar belakangnya, kali ini Halili
benar-benar membawa masalah yang sekaligus dijadikan judul penelitian,
”Peranan Nazaruddin dalam Membangun Ketakwaan”.
Dalam latar belakang yang diuraikannya secara singkat itu Halili
mengatakan, banyak pejabat berubah sikap menjadi agamais sejak Nazaruddin
sering dipanggil ke KPK atau dihadirkan sebagai saksi di Pengatilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor). Seperti diketahui, setiap dipanggil KPK, entah
untuk diperiksa atau untuk memberi kesaksian di Pengadilan Tipikor,
Nazaruddin sering tiba-tiba menyebut nama pejabat yang menjadi mitranya untuk
melakukan korupsi. Banyak yang disebut dan banyak pula yang sudah dijebloskan
ke penjara.
Oleh sebab itu, kata Halili, orang-orang yang pernah kenal
dengan Nazaruddin sekarang selalu berdoa kepada Allah Yang Mahaagung agar
Nazaruddian tak menyebut namanya di persidangan atau di depan pers. Mereka
itu ada yang menteri, dirjen, pengusaha, anggota DPR, rektor, kepala daerah,
dan sebagainya.
Setiap ada berita Nazaruddin akan dipanggil ke Pengadilan
Tipikor, para pejabat itu menjadi bertakwa, berdoa secara khusyuk. Ada yang
mengundang 1.000 orang untuk membaca Surat Yasin, ada yang tahlilan semalan
suntuk, ada yang tiba-tiba suka membawa-bawa tasbih dan berkomat-kamit entah
membaca apa. Ada juga yang menyulap ruang kerjanya sehingga ada musala untuk
sang pejabat melakukan salat dan berdoa. ”Itulah latar belakang judul
penelitian saya, Pak,” kata Halili.
”Tapi mereka melakukan itu bukan karena bertakwa, takwa
itu bukan karena takut kepada Nazaruddin,” kata saya. ”Loh, namanya
penelitian ya ada hipotesisnya, Pak,” bantahnya. ”Apa hipotesisnya?” desak
saya. ”Para pejabat korup itu menjadi bertakwa, suka berzikir dan berdoa,
memakai hijab dan baju koko bukan karena ikhlas bertakwa, melainkan terpaksa
karena ketakutan dan ingin agar Nazaruddin tidak ingat kepada dirinya”,
jawabnya.
Akhirnya saya menutup konsultasi itu dengan mengatakan,
”Oke, masalah dan latar belakang penelitianmu benar, tetapi saya tak setuju
dan tak bersedia membimbing.” Halili kaget, ”Mengapa, Pak? Bukankah secara
metodologis sudah memenuhi syarat?” Dia mendesak saya. ”Betul, sudah memenuhi
syarat tapi itu tesis untuk bidang agama atau sosiologi agama. Kalau saya kan
membimbing tesis bidang hukum tata negara.”
”Tapi rencana tesismu bagus juga untuk menyongsong bulan
Ramadan yang akan hadir pekan depan. Perlu pencerahan bahwa takwa itu
dasarnya ikhlas, bukan karena takut disebut namanya oleh Nazaruddin,” kata
saya memungkasi perbincangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar