Puasa
dan Pendidikan Moral Bangsa
A Ilyas Ismail ; Dosen FDK UIN Syarif Hidayatullah; Dekan FAI
UIA Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Mei 2017
IBADAH puasa, seperti diketahui, dimaksudkan untuk
memproses diri menjadi takwa (QS Albaqarah [2]: 183). Ketakwaan tak lain kesadaran ketuhanan yang
membuat manusia merasa malu dan menahan diri dari keburukan. Kita semua
mengetahui, masyarakat dan bangsa kita, meski dikenal religius, tetapi amat
rentan terhadap pelanggaran moral, khususnya korupsi.
Tesis Gunnar Myrdal, dalam Asian Drama, terasa masih
relevan.
Stempel soft state, dimaknai sebagai bangsa yang kurang
bernyali melawan kejahatan. Soft state juga dipahami sebagai bangsa yang
tidak memiliki etos kerja yang baik, kurang disiplin, dan bermental korup.
(Myrdal, 1970, p. 208).
Senada dengan Myrdal, Indonesianis asal Australia, Greg
Barton, memberikan penilaian yang lebih kurang sama, memandang manyarakat
Indonesia memiliki tiga kelemahan dasar, yaitu: (1) kurang rasional, (2)
kurang dewasa, dan (3) kurang kuat secara moral. Penilaian ini didasarkan pada
kenyataan masyarakat kita suka dan sering kali menabrak aturan, hukum, dan
norma-norma agama. (Greg Barton, Abdurrahman wahid: Moslem Moderate, 2002).
Penting disadari ibadah puasa memiliki hubungan yang kuat
dengan pendidikan moral (akhlak).
Puasa, kata Nabi Muhammad SAW, ialah tameng dari dosa dan
kejahatan. (HR Bukhari)
Ulama besar dunia, Yusuf al-Qardhawi, memandang puasa
sebagai institusi pendidikan moral par-excellent (madrasah mutamayyizah)
semacam candradimuka yang mampu mengasah kepekaan moral dan ketajaman
spiritual untuk mencapai takwa.
Dalam ibadah puasa terkandung dua semangat yang sangat
penting dilihat dari perpektif pendidikan moral (akhlak).
Pertama, semangat pencegahan (kaffun wa tarkun) dari
proses dehumanisasi, atau dalam bahasa Al-Ghazali pencegahan dari
al-muhlikat, yaitu kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia yang
bersifat destruktif, fujur (QS Al-Syams [91]:7-8).
Kedua, semangat bertindak (hatstsun wa `amalun) menuju
atau ke arah humanisasi, atau dalam bahasa Ghazali dorongan pada al-munjiyat,
yaitu proses yang akan membawa manusia menuju kemuliaan dan keselamatan
dengan menghidupkan kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia yang
bersifat konstruktif, takwa (QS Al-Syams [91]:7-8).
Jadi, dalam puasa, konsep tiga jalur (trilogy) penyucian
diri yang dikenal dalam ajaran kerohanian Islam terdapat di dalamnya secara
integral, baik berupa teknik pengosongan diri (takhally), teknik pengembangan
diri (tahally), maupun kelauran performa alias aktualisasi diri pada level
yang sangat prima hingga manusia serupa atau mirip dengan DIA (tajally).
Di luar itu, puasa mencerahkan secara spiritual dan moral
yang pada gilirannya diharapkan melahirkan kesalihan baik pada level individu
maupun sosial (takwa).
Kesalihan ini didorong dua kekuatan yang secara intrinsik
terkandung dalam ibadah puasa.
Pertama, kekuatan rohani (spiritual), berupa kesadaaran
ketuhanan, yaitu kesadaran bahwa Allah menyertai dan mngawasi laku perbuatan
kita.
Itu sebabnya, orang yang puasa, meski haus dan lapar, dan
ada kesempatan untuk makan dan minum, tanpa seorang pun mengetahui, ia tetap
menahan dan mengendalikan diri.
Inilah kesadaran ketuhanan dan sejatinya inilah ketakwaan.
Dalam bahasa sufi, kesadaran ketuhanan itu disebut
muraqabah, bermakna suatu upaya mempertinggi kesadaran bahwa Allah senantiasa
awas dan mengawasi manusia (QS An-Nisa [4]: 1) dan bahkan mengawasi atas
segala yang ada (QS. Al-Ahzab [33]: 52).
Menurut Imam al-Qusyairi, muraqabah sebagai kegiatan
kontemplatif untuk memperbesar kesadaran tentang pengawasan Tuhan, membawa
banyak kebaikan. Di antaranya yang terpenting menguatnya rasa takut,
khasyatullah, kecenderungan untuk kembali kepada Tuhan, al-inabah, dan
motivasi berbuat kebaikan, shalih al-a`mal. (Imam Qusyairi, Risalah
al-Qusyairiyah, 1992).
Sufi lain, Abu Nashr al-Sarraj, menambahkan satu kebaikan
lain dari muraqabah, yaitu kondisi kejiwaan, state of mind, uaitu manusia
merasa dekat, hal al-qurb, dengan Allah SWT.
Perasaan dekat ini memunculkan suasa kebatinan lain, yatu
harapan dan optimisme, al-raja', yang tidak kalah pentingnya dalam
meningkatkan ketakwaan. (Abu Nashr al-Sarraj al-thusi, al-Luma'fi
al-tashawwuf. tt.).
Selain mengandung kekuatan spiritual, yang kedua, puasa
mengandung kekuatan moral yang amat kuat.
Puasa sesuai dengan makna generiknya, imsak, berintikan
pengendalian diri dari keburukan dan suruhan pada kebaikan.
Moral berkaitan dengan nilai atau sesuatu yang harus kita
lakukan.
Manusia disebut makhluk moral karena ia selalu dihadapkan
pada pilihan baik dan buruk.
Setiap saat manusia dituntut untuk memilih dan
mengeksekusi pilihan itu secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab.
Puasa mendidik kita agar memiliki kesadaran etik dengan
selalu berusaha untuk memahami yang baik, menghendaki yang baik, dan
bertindak baik.
Dalam bahasa modern, puasa menjadi penting ditilik dari
perspektif moral (dan spiritual), karena ibadah ini, seperti diutarakan Kess
Waaijman, memiliki fungsi pokok yang dinamakan rejuvenation, yaitu penyegaran
rohani agar kita mencapai kemuliaan dan kesalihan. (Kess Waaijman,
Spirituality: Form, Foundation, Method (2002).
Proses rejuvenasi itu dilakukan melalui tiga tahapan
sebagai berikut ini.
Pertama, disciplining the lower soul, menjadikan puasa
sebagai latihan menguasai dan mengendalikan dorongan nafsu syahwat yang
berpusat di perut (syahwat al-bathn).
Di antara sasaran yang hendak dicapai melalui puasa,
seperti dikatakan Ghazali, ialah kemampuan mengendalikan, bukan dikendalikan,
oleh syahwat perut ini.
Kedua, abstaining the permitted thing, menjadikan puasa
sebagai sarana menghilangkan sifat-sifat buruk di satu pihak, dan menumbuhkan
kualitas-kualitas moral di lain pihak, sebagai bagian dari meneladani akhlak
Allah, takhallaqu bi akhlaq Allah, agar manusia mencapai kesempurnaan.
Ketiga, abstaining
from the presence of anything except God, menjadikan puasa sebagai sarana
memusatkan hati dan pikiran hanya menuju Allah.
Ini berarti, segala hal yang menghalangi jiwa dan pikiran
dari (mengingat) Tuhan dihindari (dijauhi). Dengan proses ini, Allah
benar-benar menjadi satu-satunya yang terkasih (The Beloved One). Pada tahap ini, puasa memenuhi dan mencapai hal
yang paling esensial dalam Islam, yaitu kepasrahan secara total kepada Allah
SWT. (The last phases of internal
fasting fulfills the essence of Islam: total surrender to God). Inilah puasa pada tingkatnya yang paling
tinggi yang oleh Ghazali disebut puasa dari kelompok Best of The Best, Shaum Khashsh al-hawwash, (Ghazali, Ihya' `Ulum
al-Din, 1972).
Wallahu alam! Selamat menunaikan
ibadah puasa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar