Bangkitkan
Batang Terendam
Daoed Joesoef ; Alumnus Universite
Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS, 20 Mei 2017
Setiap tahun kita memperingati ”Hari Kebangkitan Nasional”
atau HKN. Adalah tanggal 20 Mei yang ditetapkan menjadi HKN berhubung pada
tanggal tersebut di tahun 1908 dibentuk satu organisasi yang dinamakan Boedi
Oetomo di gedung Stovia Batavia. Bangunan ini merupakan lembaga pendidikan
kedokteran, School ter Opleiding van Indische Artsen.
Pembentukan Boedi Oetomo dipelopori oleh beberapa
pemuda-pelajar, antara lain R Soetomo dan R Goenawan Mangoenkoesoemo.
Organisasi ini lahir sebagai perpaduan antara semangat nasional dalam
menentang penjajahan dan kesadaran intelektual tentang kemajuan melalui
pendidikan ”modern”.
Peristiwa ini kiranya bukan satu kebetulan, tidak tanpa
latar belakang kesejarahan lokal. Mereka berasal dari klaster penduduk Hindia
yang sudah mengembangkan sistem pendidikannya sendiri, katakanlah ”klasik”.
Sudah mengelaborasi seperangkat pengetahuan berporos ”kawruh” dan
memerincinya menjadi ”kawruh lahir” dan ”kawruh batin”, ”ngelmu lahir” dan
”ngelmu batin.
Kawruh lahir adalah ”pengetahuan” yang obyeknya adalah
hal-hal lahir dan daya yang digunakan adalah juga daya-daya lahir, seperti
pengetahuan tentang alam berupa tanem tuwuh, pranata mangsa, dan kanuragan
(oleh kekuatan fisik manusia).
Kawruh batin adalah ”pengetahuan” yang obyeknya adalah
hal-hal batin dan daya yang digunakan adalah juga daya-daya batin, seperti
kawruh mengenai hidup dan kehidupan serta hubungan antara manusia dan Tuhan,
kawruh kasukman.
Ada terdapat gradasi(unda-usuik) antara kawruh lahir dan
kawruh batin, tetapi tidak terdapat sekat pemisah tegar di antara keduanya,
bahkan ada semacam kontinuitas serta jalinan. Kawruh batin tentang hidup,
kehidupan, problematik dumadi, ketergantungan, sikap saderma, hal bener dan
pener, ngerti dan wasis, sampai pada hal Kang Murbeng Gesang. Semua itu
merupakan proses produk pengolahan kawruh batin, berpangkal konkret pada
pengalaman konkret yang terjadi di dalam lingkup kawruh lahir.
Walaupun ada perbedaan, tidak jarang terjadi pembauran,
bahkan terjadi penyamaan sehingga kawruh batin ditarik kedudukannya menjadi
sama dengan kawruh lahir. Hal tanem tuwuh dan pranata mangsa, misalnya, yang
pada awalnya adalah kawruh lahir, selanjutnya menjadi pemikiran di dalam
kawruh batin, ketika kenyataan tersebut mengungkap suatu makna batin mengenai
hidup, kehidupan, dumadi, purwa-madya-wasana, dan sampai pada makna
ketergantungan hidup dari Kang Paring Gesang, Kang Among Tuwuh.
Terkait erat dengan pembelajaran kawruh, sudah dikemukakan
pula gradasi pemahamannya dengan istilah khas: weruh, ngerti, sumurup, miyat,
tampa, nampa, ngrasa, pana, pengerten, panampa, pangrasa, ngelmu, wikan,
dong, dunung.
Semua ini menunjukkan betapa telah terjadi proses
observasi yang tekun dan cermat mengenai ”pengetahuan” dan tingkat
penguasaannya, begitu rupa hingga terbentuk istilah-istilah dan
signifikansinya sendiri. Bandingkan dengan predikat kelulusan ujian
universiter yang bergradasi hanya enam pemahaman/penguasaan materi yang
diuji: ragu-ragu, baik, memuaskan, sangat memuaskan, cum laude, summa cum
laude.
Nyaris semua aneka kawruh sudah dibukukan. Gubernur
Jenderal Raffless menyebut buku Serat Centini sebagai ”the Javanese
Encyclopaedia” karena memuat aneka pengetahuan; dari yang mengenai pembuatan
makanan/minuman, obat-obatan (jamu), melalui makna dan bentuk serta cara
penyajiannya—nasi tumpeng, bubur sumsum, sajen—hingga ke pembelajaran
seksual.
Meski begitu komprehensif, ternyata ”kawruh” ini tidak
bisa menyaingi ”pengetahuan ilmiah” Belanda yang dibelajarkan melalui sistem
pendidikan ”modern”. Pengetahuan ala Barat ini memberi kekuatan pada Belanda
dan dengan kekuatan intelektualnya ini ia bisa menguasai Hindia. Padahal,
negeri kincir angin ini hanya seluas Jawa Barat, jumlah penduduknya tidak
sampai sepertiga penduduk pulau Jawa.
Maka, para pemuda Jawa terdidik dari Boedi Oetomo
berkesimpulan bahwa jalan terpenting yang harus ditempuh demi memerdekakan
bangsa adalah dengan menguasai ”pengetahuan ilmiah” melalui sistem pendidikan
”modern” ala Barat. Langkah awal untuk hal ini berupa pembentukan
”Studiefonds” (Dana Studi).
Sikap mereka ini betul-betul mencerminkan kesadaran untuk
”membangkitkan batang terendam” dan pantas dinamakan ”Hari Kebangkitan
Nasional”.
Menulis ulang sejarah
Sementara itu, dengan pengetahuan ilmiahnya Belanda
menulis sejarah kita yang diajarkan di jalur pendidikan formal. Kalau kita
renungi secara kritis, sesuai dengan semangat keilmuan, terlihat ada
kesengajaan untuk tidak menarasikan hakikat alami bumi kelahiran kita dan,
terkait dengan itu, kelebihan kita masa lalu di samping keburukan dan
kekurangan tercela yang sangat ditonjol-tonjolkan.
Kita adalah bangsa pelaut. Bukan kebetulan kalau nenek
moyang kita telah menempa istilah ”Tanah Air” yang padanannya di Barat
adalah”Moederland”, ”lapatrie” dan ”Heimat”. Dua per tiga dari keseluruhan
permukaan Indonesia memang terdiri dari air (lautan). Semua kerajaan yang
pernah berjaya di sini terkait erat dengan laut. Seorang pelaut Inggris konon
mengaku pernah menyaksikan keberadaan angkatan laut yang tangguh dari
Kerajaan Ternate. Di Candi Borobudur yang dibangun pada abad IX ada relief
perahu cadik bertiang tiga yang menurut ukuran ketika itu tergolong
”ocean-going vessels”.
Kita pernah punya seorang laksamana perempuan, Malahayati,
yang sanggup mengusir armada Portugis dari perairan di sekitar Aceh termasuk
Selat Malaka. Sementara Portugal ketika itu, dengan armadanya, diakui sebagai
”World Power”.
Hingga saat jatuhnya Kerajaan Belanda dek serbuan tentara
Nazi Hitler, Akademi Angkatan Laut Belanda (Den Helder) tidak bersedia
menerima kadet Indonesia, padahal Akademi Angkatan Daratnya (Brede) sudah
lama menerimanya. Belanda rupanya dengan sadar mau mematikan semangat
kebaharian kita. Kita betul-betul terpukau oleh ajaran sejarah Belanda, yang
katanya serba ilmiah, hingga kita lalai setelah merdeka membangun kekuatan
laut. Doktrin ketahanan nasional yang kita susun sangat beraspek daratan.
Maka, sudah saatnya kita menulis ulang riwayat hidup kita
sendiri, memberi makna pada peristiwa-peristiwa hidup tersebut dalam rangka
upaya membangkitkan batang terendam. Upaya ini merupakan tantangan tersendiri
bagi para sejarawan kita.
Kerja ini memang tidak mudah. Orang diakui sebagai
”sejarawan” apabila dia memperoleh gelarnya dari lembaga pendidikan ilmiah.
Sementara masih ada anggapan bahwa ”sejarah” bukan merupakan ilmu pengetahuan
(IP), tetapi sesuatu yang dekat dengan ”humanities”, paling banter tergolong
ilmu sosial di mana ia dinilai ”the least scientific”. Sementara bidang
pemerintahan kadang-kadang disebut ”political science” dan ekonomi dikaitkan
dengan ”economic science”, jurusan pembelajaran sejarah jarang disebut
”Department of historical science”.
Orang sudah terbiasa membayangkan IP (science) bermetode
eksperimental, yang mendefinisikan obyeknya dengan ketat begitu rupa hingga
ia dapat menjadi obyek eksperimen yang bisa diulang di laboratorium mana
saja, bagaimana pun kondisi politik, serta ideologi dan sosial yang berlaku.
Namun, istilah IP yang adalah padanan kata ”science”,
berasal dari kata Latin ”scire” (mengetahui) dan ”scientia” (pengetahuan),
yang diperoleh melalui metode apa pun yang dianggap cocok dengan bidang
tertentu yang sedang dikaji.
Pembahasan tentang sejarah merupakan aktivitas intelektual
yang tidak pernah basi walaupun mengenai tema yang tetap sama. Secara naluri
selalu ada kecenderungan pada diri manusia untuk mengetahui masa lalu human
dan berdasarkan pengetahuan tadi berharap memperoleh pelajaran guna menduga
masa datang kehumanannya.
Perkataan ”sejarah” digunakan menurut dua pengertian yang
berbeda dan memang cukup membingungkan, yaitu menurut artian subyektif dan
obyektif. Pada mulanya artian subyektif ini yang dipakai. Perkataan Yunani
”historia”berarti ”pengusutan” dan karenanya dapat dipakai untuk menyatakan
sesuatu tentang sesuatu dari segala hal. Penggunaan dari pengertian ini
tecermin sampai sekarang dalam istilah ”natural history” yang di Barat
berarti pengusutan mengenai keadaan makhluk non-manusia yang hidup di dunia.
Meski demikian, lama kelamaan orang Yunani itu sendiri
pula yang secara arbitrer banyak sedikitnya membatasi pengertian subyektif
dari ”historia” pada pengusutan tentang hal-hal yang sudah terjadi dalam
kehidupan human. Lalu melalui pergeseran pengertian dari penggunaan subyektif
ke penggunaan obyektif, kata ”historia” juga dipakai untuk menunjukkan masa
lampau dari kehidupan human itu sendiri. Penggunaan ganda dari kata
”historia” atau ”sejarah” ini memang kadang kala cukup membingungkan.
Realitas berkaitan erat dengan fakta dan setiap sejarawan
pasti akan menggunakan kata ”fakta” tanpa ragu-ragu. Bagi sejarawan,
fakta-fakta masa lalu manusia merupakan perbendaharaan kerjanya. Namun, ada
baiknya sejarawan bertanya pada dirinya sendiri apakah yang disebut ”fakta”
yang diasumsikan sebagai ”realitas” itu dan di mana dia memperolehnya. Apakah
yang dianggap sebagai fakta-realitas itu adalah obyek di luar dirinya,
seperti batu atau potongan kayu yang ditemuinya dan dapat dikutipnya di
sepanjang jalan kehidupan manusia? Apakah fakta-realitas itu sebenarnya bukan
hasil ciptaan pikirannya sendiri yang tidak ada mitranya (counterpart) di dalam kehidupan di
luar dirinya?
Kesadaran nilai
Pendidikan di bidang sejarah jelas berperan sekali dalam
memberikan kesadaran akan nilai-nilai, jalan pikiran, pandangan hidup, dan
perangai nenek-moyang dalam membentuk kebudayaan (sistem nilai) bangsa
sepanjang riwayat hidupnya selaku bangsa.
Indonesia boleh saja dikatakan baru lahir sejak Agustus
1945, tetapi ketika memproklamasikan kemerdekaannya itu bangsa Indonesia
sudah memiliki suatu kebudayaan yang telah diturun-temurunkan sejak lama.
Bangsa Indonesia saat itu jelas sudah mempunyai sejarah yang cukup panjang,
baik jika ditinjau dari sudut masing-masing daerah dan suku sebagai unsur
mandiri maupun apabila dilihat dalam keseluruhan wilayah dalam kesatuan
bangsa.
Pengetahuan mengenai kegemilangan yang sudah pernah
dicapai oleh bangsa di zaman lampau, di samping juga, bahkan justru,
kesadaran akan penderitaan bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan
kekuasaan penjajah, akan menggugah rasa bangga dalam diri anak Indonesia atas
peranan bangsanya dalam semua kehadiran umat manusia di bumi dan mempertebal
rasa harga diri (honour) sebagai anggota dari bangsanya. Anak Indonesia pada
setiap saat dari setiap generasi perlu diberi kesadaran akan keseluruhan
hidup bangsanya sebagai latar belakang dari kelahirannya sendiri. Jangan
dibiarkan dia merasa hidup tanpa akar. Biasakan dia menyadari dirinya sebagai
unsur penting dalam rangkaian kesinambungan bangsa sejak zaman purba.
Narasi sejarah sangat membantu pemupukan kesadaran
perjuangan panjang kepada anak didik kita tentang kedudukannya sebagai mata
rantai antara masa lalu dan masa depan. Sebagai titik-titik yang membentuk
garis yang terus berkembang, titik mana pun yang diambil, ia selalu merupakan
titik di antara dua titik, yaitu titik yang mendahuluinya dan titik yang
menyusul. Dan, sebagai titik antara, selaku generasi antara masa lalu dan
masa depan, Negara-Bangsa Indonesia seharusnya dia lihat tidak hanya sebagai
satu ”warisan”, tetapi juga selaku suatu ”janji”. Sebagai warisan ia diterima
sebagaimana adanya, tetapi sebagai janji ia harus dibina guna diteruskan
lebih lanjut.
Kesadaran seperti inilah yang perlu dibangkitkan, membangkitkan
batang terendam, dan lalu dipupuk di dalam watak anak didik melalui sejarah
perjuangan bangsa dan kebudayaannya. Hari Kebangkitan Nasional sebagai salah
satu tonggak sejarah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan
concern khas dari siapa pun yang merasa terpanggil untuk menggeluti bidang
sejarah. La noblesse oblige! Kita bisa berupa makhluk yang terlempar secara
acak di antara sejumlah besar materi dan bintang, tetapi walaupun tetap
terkurung di situ, kita mampu menciptakan citra diri yang cukup kuat untuk
membantah ”kenihilan” kita dan, sekaligus, menyatakan bahwa kita adalah
”sesuatu”. Dan sejarah, berkat kinerja sejarawan, bisa membantu realisasi
kemampuan tersebut.
Studi kesejarahan tentang komunitas human dapat dilakukan
sama ilmiahnya dengan studi tentang apa saja dan kapan saja, dengan jalan
mengajarkan apa-apa yang telah membentuk dunia modern dan apa-apa yang
berpeluang membentuk masa depan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar