Puasa
Masyarakat Impulsif
Ahmad Sahidah ; Dosen Senior Filsafat dan Etika Universitas
Utara Malaysia
|
SUARA
MERDEKA, 29 Mei 2017
SECARA normatif, puasa didefinisikan dengan mencegah
makan, minum, dan berhubungan badan di siang hari. Namun pada waktu yang
sama, mereka digalakkan untuk menyegerakan berbuka jika azan Maghrib tiba.
Selain tubuh kembali mendapatkan asupan yang diperlukan
agar kembali cergas untuk berkegiatan, sekaligus ia menekankan bahwa menahan
diri adalah pesan kunci dalam kewajiban tersebut, sehingga manusia bisa
menjaga keseimbangan antara kebutuhan jiwa dan raga.
Tak bisa dielakkan, kebutuhan menu berbuka turut mewarnai
pemaknaan pada konsumsi. Kebiasaan menyediakan kurma pada waktu berbuka bukan
sekadar mengikuti sunah Nabi.
Di sini fungsi kurma terkait pola makan dalam menjalankan
hidup sehat. Makanan pokok itu diutamakan tentu saja dikaitkan selera yang
dibentuk oleh apa yang disebut habitus dalam Pierre Bourdieu.
Lebih jauh, kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsi
seeloknya adalah barang yang diproduksi sendiri dan terjangkau karena
termasuk kebutuhan dasar. Apa sejatinya relevansi puasa dengan kehidupan
sekarang? Arti dasar dari shaumadalah menahan diri (imsak).
Dengan berpijak pada makna dasar kita bisa mengembangkan
lebih jauh untuk menerapkan kemampuan untuk tidak bersikap tergesa-gesa di
tengah perkembangan konsumsi, teknologi, dan hiburan yang serba cepat dan
masal.
Dengan ketersediaan semua fasilitas, seperti alat
transportasi, internet dan tempat pemuasaan kebutuhan, seperti mal, pasaraya
(supermarket), dan belanja daring, manusia dengan mudah memuaskan hasrat dan
keinginan.
Dalam bukunya, The
Impulse Society: Whatís Wrong with Getting What We Want (2015), Paul
Roberts mencemaskan masyarakat impulsif, karena manusia menjadi mesin politik
yang mengutamakan perbaikan jangka pendek dibandingkan kemajuan sosial
berjangka panjang dan luas.
Model ekonominya ketagihan pada untung cepat, tidak
menimbang betapa akibatnya merusak. Selain itu, ia adalah populasi yang tidak
setia dan semakin berpusat pada diri yang dilayani sebuah pasar yang didorong
untuk memenuhi kecanduan pribadi sementara tidak memenuhi kebutuhan sosial.
Dengan tantangan di atas, semestinya puasa perlu hadir
sebagai cara untuk mencegah agar manusia tidak terperangkap pada keinginan
memperturutkan hawa nafsu karena ia bisa merusak dirinya, keluarga, dan
lingkungannya.
Dengan mengatur jam makan, manusia tidak hanya
memperlakukan tubuh dengan baik, tetapi juga acara makan sahur dan berbuka
senantiasa dilakukan bersama sehingga mengeratkan hubungan keluarga.
Kecenderungan masing-masing anggota makin larut dengan
dunianya masing-masing adalah ancaman terhadap ikatan emosional. Namun
demikian, internet tetap mengancam kedekatan jika gawai hadir dalam makan
bersama.
Ketika manusia mempunyai kecenderungan menumpuk kekayaan
dengan cepat, teknologi memberikan jalan memenuhi hasrat ini. Keserakahan ini
tentu mendorong yang bersangkutan untuk memilih mesin dibandingkan manusia
sebagai pekerjanya.
Padahal, kata Nabi, salah satu keutamaan di bulan Ramadan
adalah berbuat baik pada bawahan. Dilema ini tak bisa dielakkan, tetapi jika
diabaikan akan melahirkan masalah pengangguran, yang pada gilirannya masalah
sosial bisa meledak.
Lagipula, model kapitalisme seperti ini kontradiktif. Jika
pabrik menggunakan mesin agar bisa menghasilkan banyak barang dengan
mengurangi pekerja, maka siapa yang akan membeli produk industri tanpa adanya
pendapatan.
Ibadah Tarawih
Harus diakui hubungan masyarakat makin cenderung
individualistik. Selain ditunjukkan dengan pola tempat tinggal, warga juga
makin sibuk dengan pekerjaannya dan banyak menghabiskan waktu di jalan karena
macet.
Alih-alih bersosial di waktu senggang, mereka lebih banyak
menghabiskan waktu dengan menikmati hiburan yang hanya melibatkan dirinya. Di
sini, ibadah tarawih yang sangat dianjurkan di malam hari adalah peluang
untuk menyemai silaturahim dengan tetangga.
Betapapun pintu rumah tertutup, pertemuan di masjid atau
surat mencairkan hubungan manusia yang disandera oleh telepon pintar dan
pagar tembok yang tinggi. Tak hanya itu, masyarakat impulsif memanjakan
dirinya dengan kebutuhan pribadi yang tidak ada habisnya.
Dengan keutamaan bersedekah di bulan suci ini yang akan
mendapatkan pahala berlipat ganda, individu tidak lagi asyik dengan
hasratnya, tetapi prihatin pada orang yang tidak beruntung.
Malah, denda bagi orang yang mengandung dan menyusui
berupa pemberian makanan pada 60 fakir miskin adalah tanda betapa
sesungguhnya nilai instrinsik puasa itu bukan tidak makan, tetapi penanaman
nilai empatik pada nasib orang lain.
Dengan menjalankan puasa secara sungguh-sungguh, ancaman
terhadap solidaritas sosial bisa dikurangi. Keterasingan kehidupan manusia
yang terbelenggu rutinitas yang bersifat banal akan mencair dengan keutamaan
menunaikan salat berjamaah tarawih bersama di surau atau masjid. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar