Dari
Harkitnas Menuju Pancasila
Tjipta Lesmana ; Guru Besar Komunikasi Politik
|
JAWA
POS, 26
Mei 2017
SETIAP
20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).
Di hampir semua instansi pemerintah dan sekolah-sekolah biasanya diadakan
upacara khusus: menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, membaca isi
”Soempah Pemoeda” dan lima sila Pancasila, serta menyanyikan lagu Satu Nusa
Satu Bangsa karya L. Manik. Inspektur upacara kemudian menyampaikan pidato
singkat, dilanjutkan menyanyi bersama beberapa lagu perjuangan. Setelah itu,
upacara selesai dan peserta dibubarkan. Masing-masing pulang ke rumah sambil
membawa atau mencicipi hidangan ala kadarnya.
Itulah
retorika tahunan setiap kali kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Tapi,
apa sesungguhnya yang diperingati pada 20 Mei? Apakah sebagian besar rakyat
Indonesia dewasa ini tahu dan sadar akan latar belakang dan makna peringatan
Hari Kebangkitan Nasional? Saya khawatir, tidak!
Kebangkitan
nasional sesungguhnya mengandung makna yang amat sangat dalam. Untuk kali
pertama dalam sejarah Indonesia, para pendiri bangsa kita serempak berikrar
bahwa kita ini SATOE, Indonesia, baik dari aspek tanah air, bangsa, maupun
bahasa. Meski terdiri atas macam-macam suku, etnis, agama, kultur, dan
adat-istiadat, kita sesungguhnya SATOE, satu nation. Kesadaran nation mulai
bergulir dan berproses pada pertengahan abad ke-20. Ketika itu di berbagai
daerah rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai
”orang Indonesia”.
Sejarah mencatat masa itu ditandai dengan dua peristiwa
penting, yaitu berdirinya gerakan Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908 dan ikrar
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Arah dari dua peristiwa penting itu
samasama sudah kita ketahui, kesadaran adanya sebuah nation menuju tanah air
atau negara yang merdeka yang disebut state Republik Indonesia.
Jelas,
dari perspektif sosiologispolitis, nation tidak identik dengan bangsa. Nation
adalah satu komunitas orang yang memiliki kesadaran sama tentang asal usul
(common origin), sejarah, bahasa, dan kulturnya. Sedangkan negara (state),
menurut satu definisi, adalah komunitas terorganisasi yang hidup di bawah
sistem politik yang bernama pemerintah. Satu nation bisa saja tanpa negara.
Orang Yahudi menyebar di banyak negara Eropa, termasuk Uni Soviet, sebelum
Israel diproklamasikan. Namun, ketika itu orang-orang Yahudi di mana pun
mereka tinggal menyadari penuh bahwa mereka satu nation. Sebaliknya, satu
negara bisa juga tanpa nation seperti pada era Kerajaan Romawi yang memiliki
teritorial luas hingga ke tiga benua, tapi kerajaan itu sebenarnya tidak
memiliki satu nation pun.
Kondisi
Indonesia Setelah kesadaran satu nation kian menguat yang kemudian berujung
pada lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945,
proses berbangsa dan bernegara menjadi lengkap dengan disahkannya dasar
negara kita, Pancasila, pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Memang yang disahkan adalah Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia Tahun 1945; tapi dalam UUD 1945 alinea ke-4 dikukuhkanlah Pancasila
sebagai ideologi negara kita.
Nation
kita, setelah perjalanan demikian panjang, makin lama ternyata makin lemah.
Penghayatan kebangkitan nasional dengan sendirinya seperti kehilangan makna
yang riil. Bangsa kita dewasa ini seperti kehilangan jati dirinya,
semata-mata karena kesadaran persamaan asal usul, historis, kultur, dan
bahasa semakin pudar, digantikan oleh kultur asing dan perilaku yang sungguh
bertolak belakang dengan Pancasila. Masing-masing kelompok berjalan
sendiri-sendiri. Yang muda mabuk kepayang dengan segala sesuatu yang bersifat
hedonisme. Seks bebas dan narkotika semakin ”gila”. Di kawasan Kepala Gading
baru saja digerebek pesta gay yang melibatkan 150 orang. Banyak anak didik
kita yang kehilangan motivasi untuk belajar sungguhsungguh di sekolah. Mereka
pun rata- rata melupakan sejarah, bahkan tidak senang dengan pelajaran
sejarah. Mereka lebih senang dengan kultur Barat. Film dan lagu-lagu nasional
makin lama makin ”hilang”, digantikan lagu-lagu dan film asing.
Yang
di atas, para elite, wakilwakil rakyat dan birokrat, sebagian, mabuk akan
harta. Perilaku koruptif makin ”edan” sehingga membuat KPK kewalahan. Uang
rakyat ramai-ramai dirampok tanpa malu. Sumber daya alam kita, sebagian
besar, sudah berada di bawah dominasi kapitalis asing.
Di
kelompok seberang, mereka yang mendambakan negara berideologi non-Pancasila,
tampaknya, semakin kuat juga. Mereka mendambakan negara khilafah yang
jelas-jelas tidak punya akar di nation yang bernama Indonesia ini.
Dalam
situasi demikian galau, di mana kesadaran nation sebagian besar rakyat
Indonesia? Nilai-nilai Pancasila makin lama makin tergerus oleh nilai-nilai
asing yang bertolak belakang dengan Pancasila.
Meski demikian, bangsa ini sudah
”telanjur” tidak boleh mundur, ke era sebelum era Boedi Oetomo dan Sumpah
Pemuda. Perjuangan para pendiri bangsa harus tetap diwujudkan meski
menghadapi sekian banyak hambatan dan tantangan. Jika tidak, jika kita
mengkhianati perjungan para pendiri bangsa, Indonesia niscaya akan hancur
berkeping-keping! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar