Mari
Bangkit Kembali
Budiarto Shambazy ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS, 20 Mei 2017
Ketika para pemuda Indonesia mengucapkan Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928, dunia sedang menjalani masa kemakmuran. Tekad mereka
menyatakan "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" ketika itu
merupakan kulminasi dari perjuangan bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri
dari penjajahan.
Begitu banyak kebetulan sejarah yang menarik yang terjadi
ketika dimulainya abad ke-20. Bangsa Asia cukup bangga ketika Jepang
mengalahkan Rusia dalam perang tahun 1905 walaupun militerisme Jepang itu
akhirnya tak dapat menahan nafsunya untuk menjajah saudara-saudaranya di
China dan Korea.
Perang Dunia I pecah tahun 1914 dan berakhir empat tahun
kemudian, mengubah perimbangan kekuatan di Eropa. Negara-negara di benua itu
mempertahankan stabilitas dan perdamaian sembari tetap melanjutkan dominasi
kultural di negara-negara jajahan mereka.
Mereka percaya pada suratan takdir yang rasialis,
"white man's burden", yang pertama kali diperkenalkan Rudyard
Kipling tahun 1899. Seolah-olah Tuhan membuat mereka sebagai bangsa yang
secara kultural, sosial, dan ekonomis jauh lebih superior dari bangsa-bangsa
lain.
Di lain pihak, negara-negara Eropa akhirnya bersaing
sendiri. Mereka mengaku beradab dan "demokratis", tetapi kemudian
dipermalukan sendiri oleh fasisme ala Perdana Menteri Benito Mussolini di
Italia atau ambisi ekspansionis oleh Kanselir Adolf Hitler di Jerman tahun
1930-an.
Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengakhiri
netralitas ketika Presiden Woodrow Wilson menyeret negaranya ke Perang Dunia
I. Satu tahun setelah Sumpah Pemuda, AS dilanda "Depresi Besar"
yang meluluhlantakkan ekonomi dan mendatangkan kemiskinan.
Depresi itu tak berhenti di AS, tetapi melanda pula ke
sebagian negara Eropa. Di saat yang bersamaan, Revolusi Bolshevik tahun 1917
dilanjutkan dengan serangkaian pembangunan lima tahunan oleh Joseph Stalin di
Uni Soviet yang mendatangkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks dunia seperti itulah nasionalisme Indonesia
tumbuh. Para pemuda ketika itu dipengaruhi pula oleh kebangkitan kebangsaan
yang terjadi di negeri-negeri seperti Turki, India, dan China.
Boedi Oetomo didirikan tahun 1908 oleh Wahidin Soediro
Hoesodo, Raden Soetomo, dan Raden Goenawan Mangoenkoesoemo. Tujuannya
nonpolitis alias sekadar mengimbau Belanda mengembangkan pendidikan yang
tujuan akhirnya menjamin orang pribumi hidup mulia.
Pada akhir 1909 anggota Boedi Oetomo berjumlah 10.000-an
orang yang kebanyakan bermukim di Jawa dan Madura. Daya tarik Boedi Oetomo
langsung berkurang ketika Hadji Samanhoedi dan Raden Mas Tirtoadisoerjo
mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909.
Tiga tahun kemudian SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI)
yang mengalami masa keemasan ketika dipimpin HOS Tjokroaminoto. Tahun 1920 SI
mempunyai anggota sekitar 2,5 juta orang.
Ada juga Nationale Indische Partij (NIP) yang didirikan
tahun 1929 dan merupakan organisasi "campuran" orang Eurasia dan
pribumi yang dipimpin Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi
Soeryaningrat (belakangan menjadi Ki Hadjar Dewantoro).
Seorang Belanda anggota NIP, Hendrik Sneevliet, melakukan
infiltrasi ala Marxis ke dalam tubuh SI. Maka, dibukalah jaringan komunisme
internasional di Indonesia yang antara lain melibatkan tokoh-tokoh komunis,
seperti Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka.
Perserikaten Kommunist di India berdiri tahun 1920,
melanjutkan persaingan perjuangan kebangsaan kelompok Islam SI melawan
komunis. Maka, tokoh-tokoh Islam nasionalis yang tak mau terlibat dalam
persaingan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 yang dipimpin KH Ahmad Dahlan.
Lewat ideologi yang berlainan, semua kekuatan para pemuda
itu bersama-sama memulai upaya untuk mencapai Indonesia merdeka. Bung Hatta
juga berjuang sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia, kumpulan pemuda di
Belanda, ikut ambil bagian mulai tahun 1922.
Empat tahun kemudian, lahir Nahdlatul Ulama. Bung Karno
mendirikan Partai Nasional Indonesia tahun 1927. Semua potensi pemuda itu
digabungkan dalam Permoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) yang bertujuan mengusir Belanda.
Selebihnya, Anda sudah tahu ketika para pemuda itulah yang
berjuang bagi kemerdekaan tahun 1945. Pemuda Sudirman yang mengorganisasi
laskar-laskar pemuda sekaligus meletakkan dasar-dasar TNI yang sarat ideologi
kebangsaan. Pemuda DN Aidit, pemuda Achmad Yani, atau pemuda M Natsir
"meramaikan" panggung politik kita. Perimbangan kekuatan politik
nasionalis, komunis, militer, dan Islam telah menetapkan terjadinya
"konflik dan konsensus" dalam perpolitikan Orde Lama.
Pemuda Akbar Tandjung, pemuda Cosmas Batubara, serta
pemuda dan pemudi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mendukung lahirnya
Orde Baru. Pemuda Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pemuda Sjahrir, dan pemuda
Hariman Siregar mengoreksi Orde Baru.
Para mahasiswa jadi the highest power yang menumbangkan
Presiden Soeharto, 19 tahun lalu, 21 Mei 1998 atau sehari setelah Hari
Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei. Mari kita bangkit
kembali menjaga NKRI, Pancasila, dan keberagaman kita bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar