Pri
dan Nonpri vs Toleransi
Sidik Nugroho ; Novelis dan Guru yang belakangan suka membuat
tulisan reflektif
tentang pendidikan dan sosial;
Novel terakhirnya Ninja
dan Utusan Setan (Gramedia Pustaka Utama, Januari 2017)
|
DETIKNEWS, 29 Mei 2017
Pada 10 Desember 1980, Prof. Dr. Hamka, Ketua Umum Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kala itu mengeluarkan pernyataan
sehubungan dengan "gangguan serius terhadap stabilitas dan keamanan
nasional". Dalam pernyataan itu ia menyebutkan bahwa gangguan itu adalah
masalah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang beberapa kali "mudah 'meletus' tanpa segera dapat
diketahui latar belakangnya, tujuan pokoknya, maupun sasaran-sasaran yang
terselubung di baliknya".
Pernyataan itu diakhiri dengan keyakinan Hamka atas sikap
umat Islam yang menganggap pembauran bukanlah sesuatu yang baru, pun
"Islam tidak membeda-bedakan asal-usul, ras, maupun keturunan
seseorang". Pernyataan Hamka itu termuat dalam buku bunga rampai pemikiran
berjudul Nonpri di Mata Pribumi, disunting H. Junus Jahja, diterbitkan
Yayasan Tunas Bangsa, Jakarta, 1991. Buku yang memuat berbagai pandangan
tentang etnis Tionghoa itu diwarnai pemikiran lima puluh tokoh pribumi.
Istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi' (kadang disebut
'nonpri' saja) sangat akrab di telinga masyarakat Indonesia yang pernah hidup
pada saat Presiden Soeharto berkuasa, atau yang mempelajari sejarah. Pada
zaman itu terjadi beberapa perlakuan diskriminatif terhadap warga nonpri yang
notabene adalah Tionghoa.
Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (alm.), yang tulisannya juga
dimuat dalam bunga rampai itu, bersimpati kepada anak temannya keturunan
Tionghoa yang susah bergaul dengan teman-temannya di sekolah, juga teman
Tionghoa-nya yang lain yang KTP-nya diberi kode tertentu. Ia menyesal dan
bertanya: "Mengapa masalah-masalah itu timbul pada teman-teman keturunan
Cina? Kenapa tidak timbul pada teman-teman keturunan Arab yang juga keturunan
asing?"
Pendidikan Kebhinekaan
Ada kisah yang hidup dalam ingatan banyak orang tentang
seekor burung. Burung yang suka bernyanyi, tapi tak pandai membaca; burung
yang suka terbang ke sana kemari, tapi tak mengenal tata krama. Burung itu
ditangkap, dikandangkan, dididik oleh orang-orang yang ditunjuk raja, yaitu pandai
emas, penulis naskah, dan pandai besi.
Setelah melewati beberapa proses pemeliharaan dan
pendidikan agar menjadi cerdas, burung itu tak berubah. Ke dalam tubuhnya
bahkan dimasukkan lembar demi lembar buku yang disobek. Namun, burung itu
tetap bodoh di mata raja—tak bisa membaca, tak mengenal tata krama. Sampai
akhirnya ia mati. Menjelang akhir dikisahkan: "Raja mengelus burung itu.
Burung itu tidak mengeluarkan suara, lemah ataupun keras. Hanya bunyi kering
halaman-halaman buku yang dibalik-balik yang terdengar di perutnya".
Itulah kisah The
Parrot's Tale karya Rabindranath Tagore yang pertama kali terbit pada
1918. Oleh banyak kalangan, cerita itu dinilai memuat kritik dan ideologinya
tentang pendidikan; bahwa pendidikan semestinya dikembangkan dari nilai-nilai
dalam masyarakat, bukan pengaruh asing. Dengan kata lain, kearifan lokal dan
budaya yang diwariskan leluhur pada masa lalu memegang peran penting sebagai
dasar pengembangan pendidikan.
Soewardi Soerjaningrat adalah pendiri Taman Siswa yang mempelajari
karya-karya Tagore. Sosok yang akrab disebut Ki Hajar Dewantara itu memulai
Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ia membuat kurikulum
sendiri, coraknya nasionalis dan universal. Perguruan itu terus bergerak dan
melebarkan sayap pada tahun-tahun berikutnya, sekolah-sekolahnya berdiri di
beberapa kota di Jawa dan Sumatra.
Selain terpengaruh oleh pemikir pendidikan dari luar,
kentalnya unsur kebatinan dalam gaya pendidikan Ki Hajar Dewantara juga
terpengaruh Perkumpulan Selasa Kliwon. Perkumpulan yang dipimpin Pangeran
Soeryamataram itu disebut sebagai penggagas berdirinya Taman Siswa.
Dalam Asas-asas dan Dasar-dasar Taman Siswa, Ki Hajar
Dewantara menyatakan bahwa pendidikan "berkewajiban memelihara dan
meneruskan dasar-dasar dan garis-garis hidup yang terdapat dalam tiap-tiap
aliran kebatinan dan kemasyarakatan". Tujuannya "untuk mencapai
keluhuran dan kehalusan hidup dan kehidupan menurut masing-masing aliran yang
menuju ke arah adab kemanusiaan".
Maraknya kebencian yang membawa-bawa etnis atau agama,
juga masuk serta berkembangnya paham dan aliran-aliran dari luar yang
intoleran, sudah sepatutnya menjadi bahan refleksi bersama. Kita memerlukan
suatu pandangan yang nasionalis dan universal tentang kemanusiaan seperti
pandangan Ki Hajar Dewantara—baik pribumi, maupun nonpribumi, keduanya
sama-sama berhak tinggal di bumi.
Pancadarma adalah lima dasar penting yang diletakkan Ki
Hajar Dewantara di Taman Siswa. Kelima asas itu adalah kemerdekaan,
kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan, dan kodrat alam. Kelima asas itu, yang
mirip dengan Pancasila, telah menyalakan semangat nasionalisme kaum muda yang
dididiknya pada masa lalu.
Bila ditelusuri dan digali lagi, perjuangan dan ajaran Ki
Hajar Dewantara pun kini bisa berperan penting sebagai upaya mendidik batin.
Itulah yang tampaknya terabaikan. Banyak guru dan sekolah yang mungkin lebih
suka berlomba-lomba mencetak prestasi dan meraih piala; tapi lupa, di bangsa
ini, hari demi hari, persoalan yang kerap datang menghampiri adalah luka-luka
batin.
Selain itu, radikalisme kian mewabah. Radikalisme mewabah
tak hanya di sekolah, namun juga di tempat-tempat ibadah. Radikalisme, yang
bertitik tolak dari ajaran-ajaran aliran agama dari luar, yang tak bercirikan
semangat nasionalisme, kini dipelajari banyak kalangan. Paham-paham itu
bersifat intoleran, tak sesuai Pancasila, dan berpotensi merusak kebinekaan
di Indonesia.
Dimulai dari Keluarga
Toleransi bukan barang baru, dibutuhkan manusia sejak
zaman dahulu. Perbedaan bahasa adalah satu di antara banyak perbedaan lain
yang tak terelakkan ketika manusia makin memenuhi bumi. Kehidupan di bumi,
tempat kaki berpijak, akan menjadi indah jika kita menerima orang lain apa
adanya. Tidak perlu ada keangkuhan yang membuat kita tercerai-berai.
Di mana ada keangkuhan, segala perbedaan jadi tak indah,
hanya membuat resah. Keresahan, kebencian, dan ketakutan akibat perbedaan
dapat muncul atau justru ditepis dari dalam keluarga.
Film A Time to Kill
(1989) yang diangkat dari novel John Grisham menyoroti keadilan yang timpang
karena perbedaan ras. Film yang novelnya diilhami novel legendaris To Kill a
Mockingbird karya Harper Lee itu mengajak merenungi bahwa rasisme dimulai
dari keluarga, lalu merangkak ke dalam suatu masyarakat yang terbiasa hidup
homogen. Jikalau sebuah keluarga kulit putih menanamkan pada anak di keluarga
itu bahwa orang kulit hitam sama dengan hewan, si anak akan butuh waktu lama
menghapus pemikiran itu.
Dengan banyaknya isu ras dan agama yang dimainkan dalam
politik, dan seringnya politik dibahas dalam kehidupan sehari-hari, masihkah
orangtua peduli untuk mengembangkan sikap toleran dalam keluarga?
Sikap toleran juga akan menjadi kunci bagi terciptanya
kehidupan politik yang sehat. Pertarungan dalam politik jadi akan lebih
menarik manakala yang dipertentangkan adalah perspektif para kandidat dalam
mengelola kebijakan publik, pelayanan masyarakat, atau isu-isu lainnya. Isu
ras dan agama, di mana saja, lebih sering memecah-belah.
Isu ras dan agama yang bertujuan menerbitkan kebencian
pada salah satu pihak tidak akan menarik bagi publik yang memahami bahwa
napas utama politik adalah pertarungan kepentingan.
Pada akhirnya, sikap toleran akan membuat seseorang
memandang orang lain sama seperti ia memandang dirinya sendiri. Oei Seng Hat
adalah nama teman penyair Sitor Situmorang yang ia tulis dalam puisinya Untuk
Ivana dan Tan Joe Hoek. Dalam puisi itu, sang penyair menulis sudah mengenal
Oei selama hampir lima puluh tahun di Tanah Batak. Sahabat masa kecilnya itu
kemudian menjadi anggota marga Napitupulu, tapi tak mengubah nama dengan
mengikutkan nama marga.
Lingkungan yang multikultural di keluarga dan masyarakat
membuat sang penyair hidup dalam sikap toleran. Sebuah bait puisi itu kiranya
menjadi renungan bersama:
Kini kita punya marga yang tunggal
Marga Indonesia kesatuan
dihibahkan oleh sejarah pengabdian
tak kenal warna, tak kenal darah ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar