Lelah
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 27 Mei 2017
Bangsa kita ternyata tak pernah lelah. Jika saja tak lelah
itu dalam urusan menjaga negara kesatuan, mempertahankan Pancasila sebagai
dasar negara, merajut terus kebinekaan, dan memupuk toleransi sebagaimana
diwariskan pendahulu, tentu sesuatu yang membanggakan. Namun yang terjadi
belakangan ini justru memprihatinkan. Kita tak pernah lelah untuk bertengkar,
saling menghujat, dan saling menyalahkan. Kebenaran dimonopoli oleh sebuah
kelompok atau golongan, bukan sebagaimana para bijak menyebutkan bahwa
kebenaran bisa datang dari segala arah, termasuk arah yang tidak kita sukai.
Presiden Joko Widodo sangat jelas menyebutkan betapa
parahnya situasi belakangan ini ketika kita tak lelah untuk saling
berbenturan. Sesuatu yang sia-sia. Energi dibuang percuma berbilang tahun
hanya untuk saling menghujat. Berita bohong alias hoax terus-menerus
diproduksi, entah oleh siapa. Bisa jadi hoax dibuat sendiri oleh seseorang atau
sekelompok orang lalu diributkan sendiri oleh orang atau sekelompok orang itu
seraya menuduh orang lain yang melakukannya. Sudah tak jelas lagi siapa yang
salah dan siapa yang benar. Kesalahan atau kebenaran ditentukan oleh siapa
yang paling banyak bersuara.
Meski menyampaikan rasa kesalnya ini dengan gestur
kemarahan, Jokowi tak pernah menyebutkan satu contoh peristiwa apa yang dia
maksudkan sebagai "pekerjaan sia-sia yang harus segera dihentikan"
itu. Tapi orang tak perlu menebak contohnya karena semua sudah kasat mata.
Sebut saja kasus Basuki Tjahaja Purnama, baik dalam urusan apa yang disebut
penistaan agama maupun dalam kaitan pemilihan Gubernur Jakarta. Ini pun
sesungguhnya hanya satu contoh.
Terjadi dua kubu besar. Satu kubu melakukan aksi demo berjilid-jilid
meminta Basuki alias Ahok diberhentikan sebagai Gubernur Jakarta dan
dimasukkan penjara. Padahal proses hukum sudah berjalan dan dalam situasi
yang normal serta bermartabat seharusnya hukum di atas segalanya. Sudah bisa
ditebak kubu lain menuduh kubu yang berdemo itu mencoba intervensi hukum.
Lalu, ketika proses hukum selesai tahap pertama di pengadilan negeri dan Ahok
betul ditahan, kubu pro-Ahok juga melakukan berbagai aksi seraya menyebutkan
keadilan sudah mati. Hidup-matinya keadilan seolah-olah bisa dinobatkan oleh
sebuah kelompok. Adapun sistem peradilan yang kita miliki berjenjang, masih
ada pengadilan banding lalu diteruskan dengan pengadilan kasasi. Betapa
panjangnya perjalanan kasus itu dan betapa tak lelahnya orang-orang untuk
beraksi.
Maka, ketika Ahok menulis surat dari rumah tahanan dan
dibacakan istrinya dengan terisak, kita segera disadarkan bahwa kelelahan
untuk melakukan pekerjaan sia-sia ini harus diakhiri dan Ahok melakukan peran
besar itu. Ahok mencabut memori banding. Ia rela dipenjara dengan harapan
aksi yang melelahkan dan memacetkan jalanan segera diakhiri. Kalaupun
peradilan banding tetap bersidang karena "kemauan" jaksa dan apa
pun hukuman yang ditimpakan kepada Ahok, itu bukan urusan Ahok lagi. Itu
urusan hukum, urusan jaksa dan hakim, begitu kalau disederhanakan.
Momentum ini harusnya meredam saling hujat dan caci maki,
lalu kita kembali pada persoalan bangsa yang semakin membuat miris, munculnya
radikalisme dan ancaman teroris. Aksi brutal ISIS sudah tiba di Filipina,
semakin dekat dengan kita. Teror bom muncul di Kampung Melayu. Kita tak
takut, tapi seharusnya di sini kita tak lelah-lelah untuk meyakinkan umat
bahwa jihad dengan teror itu bukanlah ajaran agama. Itu jihad kebodohan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar