Sekali
Lagi,
Membaca
Isyarat "Gebuk" Presiden Jokowi
Toni Ervianto ; Alumnus Pasca Sarjana Universitas
Indonesia (UI;
Alumnus FISIP Universitas Jember;
Peneliti di CERSIA, Jakarta
|
DETIKNEWS, 24 Mei 2017
Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah akan bertindak
tegas terhadap organisasi mana pun yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Presiden tidak akan pandang bulu, baik terhadap kelompok kanan maupun
kelompok kiri.
"Organisasi yang jelas-jelas
bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, kebinekaan, kalau saya, tidak bisa
(biarkan),"
kata Presiden dengan emosi saat melakukan pertemuan dengan pemimpin redaksi
media massa di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Rabu (17/5). Jokowi
menegaskan, dirinya dilantik sebagai presiden dan memegang amanah rakyat.
Oleh karenanya, ia akan menegakkan hukum sesuai dengan peraturan yang ada.
"PKI, kalau nongol gebuk saja. Tap MPR sudah jelas
(melarang PKI)," tambahnya. Jokowi menyesalkan, ia dan keluarganya terus
difitnah terlibat dengan PKI. Bagi Jokowi, ia dan keluarganya sangat jelas
sama sekali tidak terkait dengan PKI.
"Saat PKI dibubarkan, saya masih berumur 4
tahun," ujar Jokowi. Ia juga menjelaskan orangtuanya tidak terkait
dengan PKI. Ia mempersilakan agar dilakukan investigasi untuk menyelidikinya.
Jokowi mengaku emosi atas fitnah-fitnah terhadap dirinya karena menghabiskan
energi yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan memajukan kemakmuran
rakyat.
Presiden kemudian menegaskan kembali dalam kesempatan yang
berbeda bahwa pemerintah tidak akan segan menggebuk dan menendang organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang bertentangan dengan Pancasila.
"Ya, kita gebuk, kita
tendang, sudah jelas itu. Jangan ditanyakan lagi, jangan ditanyakan lagi,
payung hukumnya jelas, TAP MPRS. Negara Pancasila sudah final," kata Presiden di Tanjung Datuk,
Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (19/5/).
Keseriusan
Kata 'gebuk' itu menunjukkan keseriusan Presiden untuk
menjaga Pancasila sebagai dasa negara. Namun sebaiknya Presiden tidak hanya
bicara tapi harus bertindak. Untuk menggebuk mereka yang anti Pancasila harus
secara hukum karena ini negeri demokrasi. Jadi, menggebuk bukan atas dasar
kekuasaan politik.
Ketegasan Jokowi ini mengacu pada prinsip politik lama
yang berbunyi "a leader is a
dealer in hope". Bahwa, seorang pemimpin adalah penjual sekaligus
pembeli harapan. Maksud esensinya adalah pemimpin besar pasti seorang yang
memiliki karakter yang kuat, visioner, inspiratif, dan mampu memberi harapan
di tengah kesulitan yang mendera bangsanya.
Jokowi adalah seorang pemimpin yang sangat konstitusional.
Dia paham betul bahwa tunduk pada konstitusi dan undang-undang adalah wajib
hukumnya. Walaupun presiden mendapat status sebagai Warga Negara Indonesia
Istimewa yang tidak bisa diajukan ke pengadilan sebesar apapun kesalahan
mereka, tapi undang-undang adalah buatan manusia yang bisa diubah dan dihapus
kapan saja.
Itu tidak dijadikan alasan untuk Jokowi bertindak
semena-mena. Walaupun dia paham sebagai penguasa negara, dia bisa saja
membubarkan organisasi manapun yang dia mau yang sekiranya menjadi hama di
Indonesia. Tapi, Jokowi menghormati undang-undang yang sudah mengesahkan
organisasi-organisasi yang sudah berdiri jauh sebelum dirinya menjadi
Presiden Indonesia itu.
Proteksi Keamanan
Pernyataan Presiden untuk menggebuk ormas anti Pancasila
memang tepat. Mengingat akhir-akhir ini dengan mengatasnamakan kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat, ada kelompok masyarakat yang hendak
memaksakan keinginan dengan menggunakan kekuatan massa dan kelompok untuk
mengganggu NKRI.
Ketegasan Presiden Jokowi memproteksi keamanan negara
sejatinya karena Jokowi ingin negara hadir dalam setiap permasalahan yang
dihadapi anak bangsa sebagai refleksi program Nawacita. Esensi Nawacita tidak
jauh berbeda seperti yang dikemukakan Robert I Rotberg dalam buku yang
disuntingnya When States Fail: Causes
and Consequences (2003) yaitu negara gagal adalah negara yang tidak mampu
memberi kebajikan umum kepada warganya, khususnya keamanan atas harta benda
dan jiwa.
Sejarah bangsa ini sudah jelas. Dengan ribuan pulau yang
membentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote, dengan
berbagai etnis, suku, agama dan adat istiadat, telah sepakat mengikat diri
dalam NKRI dalam kebhinekaan yang berpondasikan Pancasila serta UUD 1945.
NKRI tidak mengenal mayoritas dan minoritas.
Dengan demikian tidak boleh ada riak-riak yang mengancam
keutuhan NKRI, dan akan mengganti Pancasila. Riak-riak selayaknya dihilangkan
sebelum berkembang menjadi gelombang, bahkan badai. Kalau bisa secara
persuasif, kalau tidak bisa, apa boleh buat harus dilakukan dengan tindakan
tegas.
Menjaga empat pilar kebangsaan yakni Pancadila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak bisa
dikutak-atik. NKRI jangan ada yang mengusik lagi!
"Teruslah bertanya supaya negara tetap terjaga,"
demikian pernyataan Mouirie Travali yang hakikatnya meminta setiap elemen
bangsa untuk tidak membisukan diri saat menyaksikan ada segolongan pilar
negara sedang kehilangan komitmen terhadap tugas dan kewajiban negara.
Itulah sebenarnya esensi ketegasan Jokowi dalam
memproteksi keamanan negara. Jokowi ingin kita berpikir kritis, mengubah etos
kerja, disiplin, dan tidak bekerja sebagai rutinitas semata. Karena, kemajuan
zaman sudah semakin deras dan terus melahirkan berbagai jenis ancaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar