Mengobati
Luka Demokrasi
Halili ; Pengajar
Ilmu Politik di Universitas Negeri Yogyakarta;
Peneliti di Setara Institute for
Democracy and Peace
|
KOMPAS, 20 Mei 2017
Sepanjang sejarah keterbukaan politik di Indonesia, baru
kali ini—pada Pilkada DKI Jakarta yang baru lalu—kita mengalami kontestasi
elektoral di tingkat lokal yang menyisakan luka cukup dalam bagi demokrasi.
Luka demokrasi itu menganga, mulai dari aspek sosial, politik, hingga hukum.
Pertama, secara sosial, kontestasi politik Pilkada DKI
sangat membelah. Pengafiran, pemunafikan, penolakan menshalatkan jenazah
orang yang semasa hidupnya diduga mendukung salah satu calon, menjadikan
tempat ibadah dan pendidikan keagamaan sebagai wahana membangun kebencian
antarsesama, serta berbagai bentuk masifikasi permusuhan resiprokal lainnya
merupakan fenomena luka sosial serius yang merusak demos sebagai basis
material demokrasi.
Kerusakan serius pada level sosial ini memiliki tingkat
kemendesakan paling tinggi untuk diobati. Keretakan di ranah masyarakat tentu
berbeda dengan ketegangan di tingkat elite. Elite cenderung dengan mudah
melompat kanan-kiri dan bermanuver secara zig-zag. Sementara massa akar
rumput cenderung awet dalam tren psikologis di balik afiliasi politik mereka.
Rekonsiliasi politik di tingkat elite seusai Pilkada DKI
barangkali dapat dilakukan layaknya sprint, dalam 100 hari pertama
Anies-Sandi sebagai administrator puncak di Ibu Kota. Namun, rekonsiliasi
sosial merupakan pekerjaan maraton yang tak mudah dan dalam jangka menengah
akan menguras sumber daya politik. Harga tersebut harus segera ditunaikan
seluruh elite politik nasional sebagai ongkos penggunaan ujaran kebencian,
kampanye hitam, politisasi agama, politisasi etnis, xenofobia, dan saluran
machiavelis lainnya.
Potensi pembusukan
Kedua, reposisi kelompok radikal dalam politik demokratis.
Dalam konteks politik demokratis, perbedaan afiliasi
politik dari berbagai simpul kekuatan politik harus dipelihara untuk
membangun kultur kontestatif, kompetitif, dan oposisional. Namun, dalam
politik elektoral DKI Jakarta, perbedaan itu diproyeksi oleh demagog dan
kelompok yang suka main hakim sendiri serta bertindak paling benar sendiri
menjadi ketegangan dan pembelahan politik yang destruktif.
Kelompok-kelompok itu secara terbuka hadir sebagai salah
satu agensi politik penting dan jadi motor pemenangan. Ke depan, salah urus
mereka dalam tata kelola pemerintahan (DKI Jakarta dan Indonesia) berpotensi
melahirkan pembusukan politik demokrasi dari dalam.
Ketiga, politik Pilkada DKI Jakarta telah mengintroduksi
kebiasaan baru yang berpotensi merusak demokrasi, berupa subordinasi hukum di
bawah politik. Secara teoretis, demokrasi yang terinstitusionalisasi
menempatkan hukum sebagai supreme untuk memastikan terwujudnya tertib politik
dan tertib sosial. Mobilisasi massa untuk melakukan tekanan-tekanan terhadap
seluruh tahapan proses hukum dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan
pilkada berpotensi mendegradasi peran hukum dalam pergulatan politik.
Pernyataan-pernyataan elite- elite politik pendukung
kontestan yang memberikan ancaman dan intimidasi kepada aparat penegak
hukum—dan menekan pemerintah agar mengintervensi pengadilan—sungguh merupakan
pendidikan hukum untuk publik yang tak bisa dibenarkan. Mereka membingkai
wacana publik bahwa hukum yang adil adalah hukum yang memuaskan hasrat dan
kepentingan mereka.
Kehadiran negara
Untuk mengobati beberapa luka yang digoreskan politik
elektoral Ibu Kota bagi demokrasi, para politisi dan aktivis sosial harus
membangun inisiatif-inisiatif kecil. Namun, jauh di atas itu semua, negara
harus hadir secara lebih nyata dan menegakkan kembali meruah penegakan hukum
yang adil. Hal itu tak lain untuk menjamin terwujudnya rezim terdemokratisasi
(democratized regime) atau poliarki, yaitu sistem politik yang sangat
inklusif bagi partisipasi publik dan sangat terbuka luas bagi kontestasi
publik.
Dalam konsepsi Dahl (1971), rezim demokratis harus
dibangun dengan memperbaiki derajat keterbukaan pada dua dimensinya yang
utama: kontestasi dan partisipasi.
Dalam perspektif itu, negara harus lebih proaktif hadir
untuk memelihara dan menjaga ruang keterbukaan tersebut dari
tindakan-tindakan intimidasi, pemaksaan, ancaman, teror, dan instrumentasi
kekerasan untuk menghegemoni dan mendominasi ruang itu untuk kepentingan
politik kelompoknya. Misalnya, negara tak boleh diam ketika satu kelompok
menyebarkan ancaman kepada pemilih aktual kontestan politik yang
berseberangan dengan pilihan politik mereka, dengan menyatakan bahwa dia
halal untuk dibunuh, atau jika perempuan halal diperkosa. Fenomena ini marak
pra-Pilkada DKI dan negara membiarkan, sementara para politisi mengambil
keuntungan dari fenomena itu.
Risiko terbesar dari absensi aparatur negara dalam
penegakan hukum dan tertib politik adalah pelumpuhan demokrasi melalui
saluran-saluran yang tersedia di dalamnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar