HTI,
Ideologi Transnasional, dan Geopolitik Global
Ribut Lupiyanto ; Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity
Acceleration)
|
DETIKNEWS, 24 Mei 2017
Era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
menyebabkan sekat geografis semakin pudar. Sekat tersebut hanya berlaku
secara administrasi dan politik pasif. Dinamika kontemporer telah menjadikan
dunia dalam satu sistem saja yaitu global village. Namun demikian sekat
ideologis secara global masih kentara meskipun semakin tidak tegas.
Ideologi internasional telah dan akan mendonamisasi
peradaban global, antara lain Islam, kapitalisme, sosialisme, dan lainnya. Di
antara mereka tidak bisa lepas dari saling interaksi dan dialektika. Lantas
di mana dan bagaimana posisi Indonesia?
Indonesia mesti diakui belum menjadi pusat peradaban
global. Ideologi yang berkembang dan disepakati juga merupakan ramuan dari
berbagai ideologi internasional yang ada. Meskipun demikian Indonesia kaya
khasanah sosial budaya yang dapat mencirikan kekhasan ideologi bangsa.
Kekhasan tersebut bahkan berpotensi menjadi rujukan global.
Ideologi Indonesia adalah Pancasila. Mayoritas warganya
adalah muslim. Islam yang berkembang juga merupakan hasil akulturasi budaya
Nusantara. Ideologi Islam jelas pusat dan asalnya dari Jazirah Arab.
Dinamika Ideologi
Belakangan ini muncul isu terkait dinamika ideologi
trans-nasional. Sekali lagi globalisasi menjadikan kehadirannya keniscayaan
di Nusantara. Batasan yang rinci penting disepakati dan dipahami terkait
ideologi ini. Ideologi trans-nasional lebih banyak disematkan untuk Islam.
Ideologi ini juga dominan hadir sebagai gerakan politik.
Islam pada dasarnya merupakan ideologi trans-nasional.
Hanya saja belakangan, ideologi trans-nasional difokuskan pada paham gerakan
politik Islam internasional yang berusaha mengubah tatanan berdasarkan
ideologi keagamaan fundamentalistik, radikal dan puritan.
Salah satu ideologi trans-nasional yang sedang hangat
dibicarakan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemerintah berencana membubarkan
HTI melalui pengadilan. Menkumham Wiranto menyatakan bahwa HTI
anti-Pancasila. Pemerintah juga meyakini HTI telah melanggar UU No 17 Tahun
2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Hizbut Tahrir (HT) sendiri didirikan oleh Taqiuddin
al-Nabhani di Palestina pada 1953. Penyebarannya kini telah mencapai lebih
dari 50 negara, dengan jumlah anggota mencapai jutaan orang. Pelarangan HT
terjadi di Yordania, Suriah, Libanon, Mesir, juga di Turki, Libya, Arab
Saudi, Pakistan, Rusia, negara-negara pecahan Soviet, Jerman, Belanda, dan
Bangladesh. Sedangkan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, HT
masih bebas beroperasi.
Pemahaman di lapangan terkait definisi ini perlu dilakukan
secara hati-hati guna meminimalisasi generalisasi dan label yang tidak
substansial. Jangan sampai sangat mudah melabelkan Islam radikal terhadap
suatu entitas, ormas, atau lainnya. Sama halnya dengan ketidaksukaan publik
terhadap kelompok yang mudah melabelkan ahlul bid'ah dan lainnya.
Isu ini jangan sampai dimanfaatkan pihak tertentu dalam
skala internasional juga guna menyemai konflik dan memudahkan pengambilalihan
aset ekonomi. Kuncinya adalah kekuatan dan kesatuan Indonesia sendiri dalam
memperkokoh ideologinya. Ideologi final adalah Pancasila. Pancasila sendiri
mendudukkan ideologi keagamaan pada posisi sentral.
Indonesia penting memetakan konstalasi geopolitik global.
Ratzel (1844 – 1904), sebagai salah satu tokoh pencetus teori geopolitik
memaparkan bahwa negara harus mengambil dan menguasai satuan-satuan politik yang
berkaitan terutama yang bernilai strategis dan ekonomis demi membuktikan
keunggulannya. Hanya negara unggul yang bisa bertahan hidup dan menjamin
kelangsungan hidupnya.
Penyikapan Bijak
Penyikapan ideologi trans-nasional mesti profesional dan proporsional.
Parameternya mesti rinci dalam mengidentifikasi. Isu ini jangan sampai
menjadikan paranoid sosial. Ciri-ciri fisik mestinya tidak menjadi dasar
utama, misalnya jenggot, cadar, celana cingkrang, dan lainnya. Penting
diantisipasi adanya skenario de-Islamisasi.
Iklim diskusi dan dialektika antargagasan penting
dikembangkan. Hal ini juga menjadi penciri karakter budaya Nusantara.
Prinsipnya ambil yang positif dan buang yang negatif. Agresivitas penting
ditunjukkan guna mengembalikan paham-paham yang dipandang keumuman
menyimpang. Sekali lagi dasarnya tetap konstitusi dan berjalan di atas rel
regulasi.
Refleksi internal juga penting dilakukan. Penguatan
pemahaman keagamaan penting menjadi benteng interaksi dan mesti dilakukan
sejak dini. Alih-alih melawan suatu ideologi trans-nasional, jangan sampai
justru mengendorkan penguatan ideologi bangsa, apalagi justru permisif dengan
ideologi trans-nasional lainnya.
Dikotomi Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam
abangan, Islam anyaran, atau lainnya mesti semakin dikikis. Dakwah Islam
tetap berada pada jalur memperkuat spiritualisme individual dan sosial dengan
tetap menjaga toleransi yang asasi.
Umat Islam di Indonesia masih punya banyak pekerjaan
rumah. Seperti pengentasan kemiskinan, kebodohan, korupsi, bencana
lingkungan, kriminalitas, dan lainnya. Semua ini membutuhkan kontribusi semua
golongan.
Penyikapan terhadap ideologi trans-nasional yang dianggap
sebagai ancaman juga mesti melalui rumusan bersama. Sekali lagi jangan sampai
isu ini menjadi jebakan geopolitik internasional.
Pihak berwenang mesti bersikap tegas dan adil. Jika memang
diindikasikan adanya ideologi yang bertentangan dengan konstitusi, maka mesti
tegas untuk ditindak. Proses ini mesti dilakukan adil terhadap semua pihak.
Aksi main hakim sendiri di lapangan akan terhindari dengan profesionalisme
aparat tersebut.
Indonesia dengan mayoritas muslimnya berpotensi masuk
dalam jajaran atas dalam percaturan peradaban global. Kuncinya mesti
mengendalikan geopolitik internasional, tidak sebaliknya, dikendalikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar