Aku
Tua Maka Aku Pintar
Iqbal Aji Daryono ; Praktisi Media Sosial, dan suka
menulis di mana saja;
Kini ia tinggal sementara di
Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 23 Mei 2017
"Pak, Bapak tahu enggak kalau ayam itu sebenarnya
dinosaurus?"
Hoahaha! Saya langsung ngakak mendengar candaan Hayun.
Anak saya itu baru masuk kelas satu waktu bertanya demikian, dan saya menduga
dia habis dapat cerita aneh-aneh dari temannya.
Namun tak dinyana, Hayun langsung protes keras mendengar
tawa mengejek yang keluar dari mulut saya. "Beneraaaaan! Bapak pasti
nggak tahuuu!" dia pun mulai emosi.
Segera saya tenangkan dia. Saya elus-elus kepalanya dan
bicara pelan, lebih kurang, "Sudaaah, jangan marah. Mungkin kamu pingin
Bapak mengalah. Tapi kalau memang yang kamu katakan itu salah, ya Bapak akan
bilang itu salah. Kan Bapak pernah sekolah lama juga, sudah belajar banyak
juga...."
Hayun tetap tidak terima. Dia ngambek. Sementara, saya
tetap kokoh pada pendirian saya. Bagaimana pun saya hidup 29 tahun lebih lama
ketimbang dia. Saya pernah belajar Biologi dengan sangat serius, karena guru
Biologi saya semasa SMP terkenal menyeramkan. Belum lagi waktu kecil, banyak
obrolan ilmu alam saya dapatkan pula dari mendiang ayah saya yang juga guru
Biologi. Saya lumayan percaya diri untuk soal ini.
Hingga kemudian iseng-iseng saya buka Google. Saya ketik
deretan kata "chicken is dinosaurs". Lalu tombol search saya klik.
Dan... astaga! Yang terpampang di hadapan saya adalah
deretan artikel serius dengan judul semacam "Chicken are Closely Related
to Dinosaurs", "How Dinosaurs Shrank and Became Birds", dan
sebagainya. Saya baca sekilas, dan isinya memang menyatakan bahwa menurut
riset-riset palaeoantropologi, ayam merupakan cicit-evolusi dari dinosaurus.
Dengan kata lain, benar kata Hayun, bahwa pada dasarnya ayam adalah
dinosaurus!
Panik, saya pun segera meminta maaf kepada Hayun. Khawatir
sekali rasanya, jangan-jangan anak saya mengalami "keputusasaan
intelektual", gara-gara arogansi orangtuanya yang sok tahu.
Begitu dia mendengar permintaan maaf saya, sambil merengut
dia kasihlah gong itu. "Ya kaaan? Grown up nggak selalu lebih tahu
daripada kids kaaan?"
Jleb banget saya rasakan kalimat itu. Sebelumnya saya
ngotot lebih benar karena merasa, ehm, sudah cukup kenyang makan asam garam
kehidupan. Tapi kemudian anak saya memukul telak dengan kalimat bahwa orang
dewasa tidak selalu lebih tahu ketimbang anak-anak. Hahaha. Sialan.
Begitulah. Ini sebenarnya pengetahuan klasik saja, bahwa
lamanya seseorang dalam menjalani kehidupan tidak otomatis berbanding lurus
dengan kepintarannya. Secara rasional kita semua sangat paham soal itu. Namun
di bawah sadar, acapkali muncul rasa gengsi. Gengsi untuk mengakui bahwa usia
kita yang berjalan sebegini jauh ternyata tidak mampu menjadi jaminan atas
jauhnya pula perjalanan dalam kekayaan pengetahuan.
Mungkin contoh cerita yang saya sampaikan terlalu ekstrem,
yakni antara bapak dan anaknya sendiri. Agaknya itu pun saya pilih lebih
karena saya gengsi mengakui bahwa teman-teman saya, dengan usia mereka yang
lebih muda dari saya, banyak sekali yang jauh lebih pintar dari saya.
Perasaan tidak rela semacam itu selalu muncul. Saya lebih tua, kok saya bego?
Padahal, andai hanya dengan menjadi tua saja manusia
langsung pintar dengan sendirinya, maka sudah pasti intelektual paling moncer
di Indonesia bukanlah Soedjatmoko atau Habibie, melainkan Mbah Gotho dari
Klaten. Beliau hidup sampai umur 140 tahun, lahir pada masa penutupan Tanam
Paksa, dan meninggal baru beberapa waktu lalu.
Sayangnya, usia tidak pernah menjadi jaminan keluasan
pengetahuan. Ada banyak sekali orang yang umurnya panjang tapi tidak punya
kesempatan untuk mempelajari banyak hal. Di sisi lain, tidak sedikit orang
yang punya kesempatan untuk belajar banyak, menemukan peluang yang banyak,
tapi lebih suka bermalas-malasan. Kalau yang itu saya sendiri cocok jadi
contohnya.
Untuk itulah, karena menjadi tua tidak menjamin apa-apa,
seharusnya kita menyingkirkan faktor usia dalam aktivitas-aktivitas
dialektika yang tak henti kita jalankan di zaman kejayaan media sosial ini.
Begitu, bukan?
Hehehe, di antara Anda pasti ada yang langsung paham ke
mana arah obrolan saya. Anda benar sekali. Jujur saja saya sangat terganggu
dengan keriuhan hari-hari ini antara dua orang selebritas dunia maya. Yang
satu masih SMA, yang lain sedang studi master di luar negeri. Saya tidak
sepenuhnya setuju pandangan Si Adek SMA, meski jauh lebih tidak sejalan
dengan cara Mas Master dalam memandang objek dan konteks perdebatan.
Meski demikian, yang paling mencuri perhatian saya justru
gaya tulisan Mas Master yang terasa sekali mengunggulkan senioritasnya. Dalam
tulisan pendeknya, tampak bejibun ungkapan-ungkapan seperti: "Adek belum
tahu? Makanya Kakak kasih tahu."; "Buka mata dan jadilah orang
dewasa dek"; "Makanya banyak baca dek, mumpung masih muda.";
"Adek kayaknya beneran nggak tahu ya...."
Buat saya, itu menggelikan. Sudah jelas ada masalah yang
dibahas. Ada data yang diadu. Ada alur logika yang diperlawankan. Kenapa kita
tidak bisa berkonsentrasi pada sisi-sisi itu, sehingga bisa terbangun suasana
diskusi yang asyik, yang menantang kecerdasan, dan bisa sama-sama dijadikan
ajang belajar oleh siapa pun yang menyimaknya?
Lebih jauh lagi, ungkapan-ungkapan bernuansa seniorisme
semacam itu sesungguhnya bentuk lain dari argumentum ad hominem. Memang
benar, bahwa semua celetukan itu bukan bagian dari konstruksi yang membangun
argumen, bukan pula peluru untuk meruntuhkan pendapat lawan. Namun dengan
tonjokan-tonjokan bernada ganjil demikian, seolah si penulis sedang
mengatakan, "Halah kamu tahu apa sih, anak kecil belajarnya baru seupil.
Aku lebih tua, jadi aku sudah pasti lebih ngerti."
Persis di titik itulah yang terjadi tak lebih dari
serangan personal, usaha mengalahkan (atau meneror?) lawan debat dengan cara
menembak sisi yang tak ada kaitannya sama sekali dengan topik diskusi.
Sebenarnya, ada banyak kasus lain semacam ini yang kerap
kita jumpai. Ungkapan seperti "Ngaji dulu sonooo!"; "Sekolah
yang beneeer!"; sesungguhnya tak lebih dari serangan personal, tradisi
yang sangat buruk dalam bertukar pendapat.
Saat saya menulis ini pun, aduh, saya mati-matian menahan
diri untuk tidak menyerang sisi pendidikan Si Mas Master. Misalnya dengan
mengatakan "Percuma sekolah tinggi sampai ke luar negeri" atau yang
begitu-begitu. Bisa-bisa, ucapan demikian pun jadi bentuk lain dari ad hominem.
Yang saya kritik adalah gaya dia dalam glorifikasi
senioritas. Saya tidak perlu menyerang sisi personalnya, yaitu pendidikan
dia. Toh, pendidikan formal pun kadangkala bukan jaminan apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar