Tembakau
dalam Tradisi
Mohamad Sobary ; Esais; Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 27
Mei 2017
Namaku tembakau. Aku hidup dalam tradisi yang penuh warna
rohani, gotong royong, rukun, dan damai di kalangan orang-orang yang hidup
bersaudara.
Tak semua memiliki hubungan darah dari leluhur yang sama.
Juga tak semua diikat oleh tali perkawinan. Namun, ada semangat kebersamaan
yang kuat, kami bersaudara. Tiap orang di sini saudara bagi yang lain. Satu
bermasalah, yang lain datang menolong. Satu sakit, yang lain turut merasakan
derita itu. Petani merupakan saudara bagi petani lainnya. Ini sejarah hidup
petani di sini. Rupanya, saudara tak harus berasal dari ikatan darah. Tak
perlu harus dari perkawinan. Nasib bisa menjadi ikatan lebih kuat, juga
tradisi. Nasib dan tradisi mengikat mereka menjadi saudara, tak kalah dari
ikatan darah dan perkawinan. Itulah hidup petani. Mereka petani tembakau.
Segenap kebutuhan hidup mereka bergantung pada tembakau.
Masa lalu mereka tembakau. Masa kini mereka tembakau. Masa depan mereka pun
tembakau. Aku tembakau. Petani itu pun semua tembakau. Petani bersatu karena
tembakau. Petani bergotong royong karena tembakau. Petani bersaudara pun
karena satu alasan, tembakau. Aku — tembakau— dan mereka —petani— hidup di
sini. Susah atau senang, di sini. Duka cita ditempuh bersama di sini. Petani
hidup di sini. Kelak, pada umumnya, mereka mati di sini. Aku, tembakau,
menjadi saksi. Kematian demi kematian, dalam abad-abad yang lewat, terjadi di
depan mataku. Namun, aku juga saksi kejayaan mereka. Aku saksi yang melihat
dari dekat bagaimana hidup mereka.
Dari dekat? Kata itu boleh jadi tidak begitu tepat. Kata
dekat dipakai kalau ada jarak. Aku dan petani tak pernah berjarak. Tembakau
dan petani itu satu. Kami bagaikan makhluk yang datang dari sejarah yang
sama, memanggul misi hidup yang sama. Kami bertolak dari sini, tapi kami pun
berlabuh di sini. Ibarat kapal, kami bertolak dan berlabuh di sini karena
kami bersaudara. Sekali lagi, petani saudara bagi petani yang lain. Tak
pernah ada orang yang mau membuang waktu memikirkan siapa sebenarnya mereka.
Semua orang sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Tidak ada yang bersedia
membuang waktu menelusuri asal-usul mereka. Tiap orang lahir di sini, besar
di sini, dan mati di sini.
Sekali lagi, itulah hidup petani. Kelihatannya semua sudah
merasa begitu berbahagia dengan kehidupan mereka seharihari. Mereka begitu
tenteram, senang, dan rela menerima apa adanya hidup ini. Hidup untuk
dinikmati dan disyukuri, tak perlu risau tentang sejarah, siapa leluhur
mereka. Para petani itu sudah puas memiliki seorang leluhur mitologis, Ki
Ageng Makukuhan, yang bergelar Ki Ageng Kedu, Sunan Kedu, Prabu Kedu, dan
Wali Kedu, yang dikenal juga sebagai Wali Agung Makukuhan, murid Sunan Kudus.
Apa lagi yang harus dicari, bila kita sudah memiliki sendiri ikatan emosional
dengan seorang tokoh besar seperti itu?
Apa yang kurang pada seorang yang bisa disebut ciri
identitasnya sebagai seorang wali agung? Aku, tembakau, hanya sejenis
tumbuhan di Gunung Sumbing yang anggun, gagah, dan memesona. Dari jauh
warnanya biru, sebiru laut atau langit. Dari dekat sikapnya lembut. Aku,
tembakau, dan para petani, semua dipeluknya erat-erat, dengan embusan energi
hidup yang membuat kami merasa begitu nyaman dalam napas keibuannya. Wali
Agung Makukuhan dan Gunung Sumbing, dua entitas yang terpisah itu, bagi kami
satu. Wali Agung membuat kami bersaudara. Gunung Sumbing mengikat kami dalam
persaudaraan yang sama. Semua menjadi petani. Semua rukun.
Semua saling membantu. Hidup menjadi begitu romantis,
seperti kisah di dalam sebuah dongeng? Tunggu, tunggu. Bukan begitu
maksudnya. Ketegangan, salah paham, dan konflik juga terjadi dalam hidup
mereka. Kemarahan ada kalanya meledak karena suatu persoalan kecil. Ada pula
persaingan dalam hidup mereka sehari-hari, mungkin karena urusan tembakau,
mungkin karena hal yang lain. Namun, konflik itu berhenti pada konflik.
Salah paham berakhir dengan saling pengertian yang
mendalam, dan tak ada kekuatan yang bisa membuat mereka lupa akan
persaudaraan. Dalil bahwa petani merupakan saudara bagi petani yang lain,
sampai sekarang tak berubah. Mungkin, bagi petani, tak ada urusan lebih
penting, lebih besar dibanding persaudaraan. Para petani bersaudara secara
alami. Mereka bersaudara tanpa dibuat-buat. Namun, Gunung Sumbing bukan
Gunung Mahameru, tempat para dewa bersemayam.
Orang Jawa, melalui tradisi sastra lisan yang dimainkan di
panggung dunia wayang, percaya Gunung Mahameru tempat para dewa, tapi Gunung
Sumbing bukan. Di sana hanya ada sebuah petilasan yang ditinggalkan Ki Ageng
Makukuhan, yang bukan dewa, melainkan wali. Para petani yang hidup dalam
pelukan Gunung Sumbing itu pun bukan keturunan dewa-dewa. Mereka hanya
petani. Mereka hidup pada zaman ini, zaman modern, di dunia yang sangat
kapitalistik. Sementara aku, tembakau, di zaman ini bagaikan gadis cantik
yang menawan hati para pedagang. Juga —atau terutama— pedagang asing yang
terkenal dalam hal segi keserakahannya.
Mereka tak mau berdagang kecil-kecilan. Tembakau di seluruh
dunia hendak dikuasainya sendiri. Perdagangan tembakau harus berlangsung di
beberapa tangan pedagang, dengan semangat monopolistik yang disembunyikan.
Monopoli tanda watak serakah tanpa batas. Mereka bisa menguasai negara-negara
di dunia agar tunduk pada keserakahan tadi. Agar cita-citanya menguasai dunia
tercapai, mereka bikin suatu dongeng fantastis yang belum pernah ada di dunia
dongeng anak-anak. Mereka bicara kepedulian untuk menjaga kesehatan penduduk
dunia. Mereka bicara rokok sebagai bencana.
Mula-mula ada penjelasan yang disebut ilmiah bahwa rokok
merusak kesehatan ini kesehatan itu, misalnya mengganggu janin, menimbulkan
impotensi, banyak urusan yang dirusak rokok. Lalu tanpa ba tanpa bu, muncul
dalil baru, merokok membunuhmu. Petani melawan, merokok matek (mati), tidak
merokok matek (mati) maka merokoklah sampai matek (mati). Ini wujud kemarahan
mereka. Karena demi dalil kesehatan tadi, pemerintah mengeluarkan aturan yang
membatasi konsumsi rokok dan mengancam nasib hari depan petani. Mereka
berorganisasi dan bersatu padu melawan kebijakan tadi.
Bertahuntahun petani berjuang untuk menjamin kelangsungan
hidup mereka. Namun, pemerintah yang lebih mendengar suaranya sendiri dan
suara pedagang asing, tak memedulikan mereka. Petani meradang. Teriakan
mereka bukan lagi tentang persaudaraan, tapi tentang perlawanan, melawan
kebijakan asing yang diterapkan dalam kebijakan negara kita, oleh pemerintah
kita, didukung wakilwakil rakyat kita. Perang belum berakhir.
Persaudaraan pun tak tergoyahkan. Sambil tetap waspada
melawan apa yang wajib dilawan dalam hidup mereka, sekarang petani sedang
gigih berjuang menuntut dikeluarkannya undang-undang pertembakauan yang
runyam. Bukan undang-undang yang muncul, tapi politik memperdagangkan konsep
undangundang. Politisi bermain di sini. Petani menanti dalam penantian tak
berujung. Aku, tembakau, hidup dalam tradisi yang begitu dinamis. Tradisi
leluhur penuh bisikan rohaniah, sehingga dalam setiap sajen, kembang yang
“duniawi” sekaligus menjadi yang “surgawi”, kemenyan yang “profan” sekaligus
menjadi yang “kudus”, dan para aktor yang “manusiawi” menjadi sekaligus yang
“ilahi”.
Dalam tradisi dunia bisnis, kebalikannya. Di sini tak
disebut kata “manusiawi” atau “ilahi”. Paksaan, ancaman, dan tekanan begitu
dominan. Namun, paksaan dan tekanan itu sering ditampilkan dalam bahasa duit,
duit, dan duit. Orang tak bicara hitungan kecil. Satuan hitungan mereka,
miliar, atau triliun. Aku, tembakau, cemas. Tapi petani, yang juga cemas, kulihat
masih sibuk melawan dan melawan. Jadi, tembakau dalam tradisi itu cermin
kecemasan yang dalam, tapi juga dinamika perlawanan yang gigih dan pantang
menyerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar