Ramadan:
Sekolah Kemanusiaan
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN Syarif Hidayatullah
dan UMJ
|
KORAN
SINDO, 29
Mei 2017
Ramadan merupakan bulan edukasi multidimensi. Ramadan itu
ibarat sekolah kemanusiaan holistis integratif.
Software Ramadan adalah program dan kurikulum yang akan
diaktualisasikan dalam ibadah Ramadan dalam arti luas, sedangkan hardware-nya
adalah bangunan fisik: ruang kelas, musala, masjid, perpustakaan, kantin, dan
sarana-prasarana pendukung lainnya. Peserta puasa adalah para pembelajar
sekaligus guru yang harus berperan sebagai pendidik diri yang proaktif dan
dinamis. Lingkungan mental spiritual dan sosial yang melingkupinya menjadi
penyempurna sakralitas dan ritualitas sekolah Ramadan.
Sebagai sebuah sekolah, para pembelajar (shaimin) tidak boleh ”bolos berpuasa”,
tetapi harus disiplin bangun pagi, menempa diri, dan membentuk karakter dalam
sekolah kemanusiaan. Saat berada di sekolah, para pembelajar harus jujur dan
mandiri, menjadikan diri sendiri sebagai pembelajar dan sumber belajar dari
”paket kurikulum Ramadan” seperti: menahan diri tidak makan, tidak minum,
tidak berhubungan suami-istri di siang hari, tidak merokok, tidak
menggunjing, tidak mudah marah, tidak arogan, tidak bertindak semena-mena,
termasuk tidak korupsi. Puasa korupsi termasuk pelajaran wajib yang harus
ditaati. Puasa korupsi tidak boleh hanya berlangsung di bulan suci, lalu
kumat lagi selepas Ramadan.
Puasa korupsi harus sukses sepanjang masa. Karena tujuan
utama berpuasa adalah menjadi lulusan Ramadan yang bertakwa sejati,
berkesadaran tinggi (high awareness),
berkarakter positif, dan berintegritas moral mulia. Tujuan puasa sebagai
proses humanisasi idealnya memotivasi shaimin
untuk berhati mulia, bersikap jujur, berpikir positif, dan bertindak penuh
kearifan, mengedepankan etika dan estetika dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dengan rela menunda kesenangan dan kenikmatan
duniawi demi tujuan masa depan.
Kurikulum Ramadan
Paket kurikulum Ramadan tidak hanya dipelajari siang hari.
Pada malam hari, pelajaran penting Ramadan tidak boleh diabaikan.
Menyegerakan berbuka (takjil) saat mendengar azan Magrib merupakan anjuran.
Membendung nafsu makan yang berlebihan dan ”balas dendam” akibat lapar dan
haus saat berbuka juga harus dikendalikan, sehingga kualitas ibadah Ramadan
tidak sebatas ”puasa perut dan di bawah perut”, atau shaum al-‘awam.
Melalui sekolah Ramadan, umat Islam harus melakukan
transformasi dari ”puasa perut”, puasa nafsu syahwat, menjadi puasa hati dan
pikiran, puasa mental-spiritual, puasa lahir batin, sehingga shaimin dapat
merasakan nikmat, berkah, bahagia, dan indahnya sekolah kemanusiaan Ramadan.
Sekolah Ramadan itu sekolah hati, sikap, pikiran, dan perbuatan. Proses
penempaan diri shaimin berfungsi
membebaskan mereka dari sifat-sifat kebinatangan: rakus, tamak, dengki,
munafik, sombong, zalim, dan sebagainya.
Menyekolahkan hati dan pikiran dengan penyadaran mental
spiritual membuat kualitas kemanusiaan ”naik derajat” dengan cara menghiasi
diri dengan sifat-sifat ketuhanan: kasih sayang, empati, pemaaf, bermurah
hati, berbagi, dan sebagainya. Sekolah Ramadan merupakan momentum untuk
melakukan pembebasan diri dari segala bentuk watak tercela dan perilaku
hewani, menuju integritas pribadi yang humanis. Kurikulum Ramadan pada malam
hari harus ditekuni. Salat tarawih, tadarus Alquran, zikir, istigfar, hingga
iktikaf perlu dihabituasi, tidak hanya membuat masjid dan musala ramai dan
penuh jamaah di minggu pertama, tapi penuh dinamika dan budaya islami selama
Ramadan.
Kurikulum Ramadan harus diinternalisasikan dalam ”server
kemanusiaan” kita, sehingga ketekunan, ketaatan, dan kekhusyukan dalam
beribadah membuahkan akhlak mulia yang penuh kasih sayang, damai, dan
toleransi. Nuansa kebersamaan dari salat berjamaah di masjid, seperti salat
tarawih, idealnya melahirkan sikap persatuan, kesatuan, kebersamaan,
kekeluargaan, kerukunan, dan perdamaian dengan sesama. Kurikulum Ramadan
dalam ranah sosial, seperti anjuran memperbanyak sedekah, berempati kepada
fakir miskin, dan membayar zakat fitri dan zakat harta, mendidik shaimin memiliki empati dan etos
berbagi kepada sesama. Makna sosial Ramadan tidak lengkap tanpa ada proses
transformasi sosial dari manusia egois menuju manusia humanis yang memiliki
solidaritas sosial dan kesetiakawanan yang tinggi.
Sekolah yang Mencerdaskan
Sekolah Ramadan adalah sekolah kemanusiaan yang
mencerdaskan. Sekolah ini tidak hanya untuk para shaimin, tetapi juga harus berdampak positif bagi pengembangan
nilai-nilai sosial kemanusiaan universal. Limpahan keberkahan rezeki di bulan
suci bukan hanya untuk para shaimin, tapi mesti berdampak positif bagi para
pelaku ekonomi lintas suku bangsa, lintas budaya, dan lintas agama. Sekolah
kemanusiaan ini menjadi motor penggerak yang memberdayakan ekonomi umat dan
bangsa, sehingga dengan optimalisasi fungsi zakat, infak, dan sedekah (ZIS)
umat dan bangsa menjadi lebih makmur, adil, dan sejahtera.
Sekolah Ramadan itu mencerdaskan shaimin dengan melatih
dan melejitkan multikecerdasan mereka: kecerdasan intelektual, emosional,
ekonomi, ekologi, spiritual, dan sosial. Etos ”iqra’” (membaca, belajar,
meneliti, dan menulis) harus menjadi budaya akademik yang membuahkan
produktivitas keilmuan dan wawasan pengetahuan yang luas dan luwes. Jika
selama Ramadan, Rasulullah mengikuti ”sekolah literasi dan membaca” Alquran
di bawah bimbingan Jibril AS secara langsung, maka keteladanan budaya membaca
itu patut diikuti dan ditindaklanjuti shaimin sepanjang hayat, karena etos
literasi dan iqra’ sejatinya merupakan pilar utama peradaban Indonesia yang
berkemajuan.
Sekolah Ramadan juga meningkatkan kecerdasan emosional
shaimin melalui latihan menjadi penyabar, pemaaf, penyayang, dan pengendali
atau manajer diri sendiri yang handal. Ketika merasa lapar, dahaga, menghadapi
aneka godaan hidup lainnya, shaimin diedukasi untuk menyelami hakikat
”menahan diri” (shiyam). Menunggu
azan Magrib tiba boleh jadi merupakan pembelajaran berharga untuk bisa
bersabar dan memiliki self control yang prima, sehingga proses pencerdasan
emosi itu dapat membuahkan nilai-nilai kejujuran: jujur kepada diri sendiri,
kepada sesama, dan terutama kepada Tuhan.
Bersekolah Ramadan dapat pula melejitkan kecerdasan
spiritual. Nuansa pendekatan diri kepada Tuhan melalui aneka ritualitas siang
dan malam Ramadan, utamanya istigfar dan doa, menjadikan shaimin
berlomba-lomba meraih ampunan Allah. Proses iktikaf, terutama di 10 hari
terakhir Ramadan, merupakan bentuk penyucian diri (tazkiyatun nafs) yang menyempurnakan spiritualitas Ramadan.
Sekolah Ramadan juga mengembangkan kecerdasan sosial,
dengan mendidik dan membiasakan shaimin
untuk gemar berjamaah. Dapat dibayangkan, semarak berjamaah di masjid tentu
tidak seperti di bulan suci ini. Ramadan membelajarkan kepekaan sosial yang
tinggi. Karena sedekah (harta, ilmu, tenaga dan pikiran) yang terbaik adalah
sedekah Ramadan. Pelajaran bersedekah ini perlu dipupuk dan dikembangkan
pasca Ramadan agar solidaritas dan soliditas sosial tetap terjaga.
Paul C. Bragg dan Patricia Bragg dalam bukunya, The Miracle of Fasting: Proven Throughout
History of Phisical, Mental & Spiritual Rejuvenation (2014),
menegaskan bahwa puasa merupakan ibadah sekaligus terapi paling menyehatkan
bagi tubuh manusia. Secara medis, puasa dapat membersihkan dan mendetoksifikasi
racun dan ”sampah makanan” dalam tubuh. Melalui puasa, sel-sel dan hormon
dalam tubuh diremajakan; energi fisik, mental, dan spiritual dibugarkan dan
dilipatgandakan.
Puasa ibarat sekolah militer di mana pembelajar
”berperang” melawan musuh yang ada dalam diri sendiri (hawa nafsu, godaan
setan, energi negatif). Selain itu, puasa menumbuhkan inner spiritual harmony (harmoni spiritual dalam diri), sehingga
dapat membentengi diri dari berbuat jahat dan maksiat. Karena itu, orang yang
berpuasa itu memiliki jiwa pejuang dan pemenang; sanggup menghadapi aneka
ujian kehidupan dan sanggup melawan musuh dalam diri sendiri. Dengan kata
lain, orang yang sukses berpuasa sejatinya sukses memenangi segala bentuk
ujian dan godaan dalam kehidupan ini.
Sekolah Ramadan yang diakhiri dengan ”wisuda” Idul Fitri,
juga harus dimaknai sebagai momentum kemenangan mental, spiritual, sosial,
dan moral dalam rangka memerdekakan diri dari segala penyakit hati yang
tercela dan korup; sekaligus memerdekakan bangsa ini dari segala bentuk
mafia, persekongkolan jahat, dan intervensi asing yang sarat dengan
kepentingan liberalisme dan kapitalisme global. Dengan demikian, dari sekolah
kemanusiaan Ramadan, para shaimin
meraih kemenangan sejati dalam jihad melawan hawa nafsu dan sifat-sifat buruk
dengan kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan luhur: fitrah
mencintai dan mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan: kejujuran, kebenaran,
kedamaian, kebersamaan, kearifan, toleransi, dan keadilan sosial bagi semua
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sekolah Ramadan dengan totalitas puasa yang dijalani:
puasa perut, puasa pancaindra, puasa anggota badan, puasa hati, dan puasa
pikiran dari hal-hal negatif harus membuahkan integritas dan mentalitas
manusia bertakwa sejati. Manusia bertakwa sejati pasti memiliki kesadaran
tinggi untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan kepada sesamanya, jujur,
setia kawan, empati, rendah hati, memaafkan, toleran, penuh kasih sayang,
dengan menunda kesenangan sementara menuju kemenangan, kebahagiaan, dan kemuliaan
hidup jangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar