Mencabik
Keberagaman dengan Hoax Provokatif
Bambang Soesatyo ; Ketua Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 26
Mei 2017
Daya tahan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kodrat dan
identitas bangsa Indonesia sedang mengalami ujian cukup berat. Penyebaran
informasi bohong atau hoax provokatif terus menggempur eksistensi keberagaman
SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), bahkan sudah mengarah pada upaya
merusak sendi-sendi harmoni bangsa.
Demi terjaganya eksistensi NKRI, negara jangan diam. Tidak
bisa dimungkiri bahwa hoax provokatif berkonten SARA akan selalu menjadi
persoalan sangat sensitif bagi sebagian masyarakat. Sejak dulu, kini, dan di
masa yang akan datang, isu yang berkaitan dengan SARA akan selalu sensitive
karena masyarakat Indonesia sangat beragam.
Menurut data hasil sensus penduduk yang pernah dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku di Indonesia yang berhasil
didata sebanyak 1.128 suku bangsa. Akan tetapi, jumlahnya diperkirakan lebih
besar dari angka itu karena pendataan belum menjangkau semua wilayah. Lalu,
negara memberi ruang bagi masyarakat untuk menganut dan mengamalkan enam
agama, meliputi Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta Agama
Kong Hu Cu.
Kumpulan petualang politik dan petualang bisnis melihat
keberagaman ini sebagai titik lemah negara. Dalam persepsi mereka, Indonesia
bisa dirusak dengan menggoreng isu SARA. Cukup dengan menyebarkan hoax
provokatif berkonten SARA, kekacauan akan terjadi. Bahkan, dengan hoax
provokatif pula, konflik horizontal di akar rumput bisa direkayasa. Berkat
perkembangan teknologi, merekayasa konflik horizontal di Indonesia tidak lagi
berbiaya mahal.
Sekarang, ada sarana media sosial yang bisa digunakan
untuk menyebarluaskan berita bohong serta ujaran kebencian dan mengadu domba
kelompok-kelompok di tengah masyarakat. Kalau akhir-akhir ini masyarakat
merasakan tingginya intensitas penyebaran hoax berkonten SARA, itu menjadi
pertanda bahwa keberagaman Indonesia sedang menghadapi ujian.
Ada yang sedang mencabik-cabik keberagaman Indonesia.
Mengacu pada fakta-fakta yang berkembang di ruang publik, bisa dirasakan
bahwa ujian terhadap keberagaman itu sudah memasuki tahapan sangat serius.
Contoh kasus ujian itu sangat beragam untuk dirinci. Paling banyak adalah kasus
ujaran kebencian pada komunitas tertentu.
Namun, dari semua contoh kasus, yang paling berbahaya
adalah hoax provokatif berkonten SARA. Karena hoax provokatif berkonten SARA
itu akhir-akhir ini begitu tinggi intensitasnya, tidak berlebihan untuk
membuat kesimpulan bahwa ada upaya berkesinambungan untuk memprovokasi dan
mengadu domba antarkelompok masyarakat melalui penyebaran berita bohong itu.
Aktor intelektualnya tentu saja para petualang politik dan
petualang bisnis yang mengerahkan sejumlah orang sebagai provokator. Upaya
terbaru para provokator mengadu domba antarkelompok masyarakat tampak sangat
jelas di Pontianak, Kalimantan Barat, pada Sabtu 20 Mei 2017. Sepanjang hari
itu, beredar video yang menggambarkan kerusuhan terjadi di Pontianak. Padahal,
tidak ada peristiwa luar biasa di Pontianak pada akhir pekan itu.
Memang, hari itu, dua kelompok masyarakat sedang melakukan
kegiatan di ruang publik pada waktu yang sama di lokasi berbeda. Sekumpulan
warga Bela Ulama 205 melakukan kegiatan long march pada pukul 13.00 dan warga
Dayak melakukan pawai kendaraan hias pada pukul 14.00, diikuti seluruh
perwakilan kabupaten di Kalbar.
Namun, di media sosial beredar sejumlah video yang memuat
informasi tentang terjadinya bentrokan antara dua kelompok itu di Pontianak.
Kepolisian setempat pun harus buru-buru memastikan video-video itu hoax.
Setelah ditelusuri, video yang viral sepanjang hari itu adalah video lama
yang memuat informasi peristiwa tahun 2015. Penyebaran video hoax itu
jelas-jelas merupakan pekerjaan atau ulah provokator.
Tujuannya pun jelas, mengadu domba antarkelompok
masyarakat. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, negara tidak boleh
diam. Polri dan intelijen negara harus merespons ulah para provokator itu.
Aksi para provokator menebar hoax provokatif berkonten SARA harus segera
dihentikan karena sangat berbahaya. Polri dan BIN (Badan Intelijen Negara)
dituntut mampu mendeteksi aksi para provokator itu.
Kemampuan Polri dan BIN mendeteksi aktivitas provokator
penyebar hoax perlu dibuktikan dan ditunjukkan kepada masyarakat agar tumbuh
efek jera. Dan, jika bukti-buktinya sudah mencukupi, para provokator itu
harus dihadapkan pada proses hukum dengan ancaman sanksi hukum semaksimal
mungkin.
Belajar dari Sejarah
Kecenderungan ini harus ditanggapi dengan sangat serius
oleh Polri dan intelijen negara. Bagaimanapun, harus diakui bahwa situasi
saat ini belum terlalu kondusif. Dalam situasi yang demikian, Polri dan
intelijen negara harus responsif. Ingat, ada beberapa catatan tentang konflik
horizontal yang berdarah-darah karena berlatar belakang masalah SARA.
Tepat 19 tahun silam, persisnya 12 Mei 1998, aksi
mahasiswa memprotes penembakan empat mahasiswa Trisakti justru berbuntut
panjang dan melebar. Ada yang mengeskalasi demonstrasi mahasiswa itu menjadi
konflik antaretnis pribumi versus Tionghoa. Terjadi penjarahan dan pembakaran
aset milik etnis Tionghoa. Massa juga melakukan tindak kekerasan dan
pelecehan seksual terhadap para wanita etnis Tionghoa.
Setahun kemudian, tepatnya Januari 1999, terjadi konflik
bernuansa SARA di Ambon. Tragis. Masyarakat di daerah lain hanya bisa
menangis menyimak rentetan aksi kekerasan yang merenggut banyak korban jiwa
dan merusak hampir semua tatanan kehidupan di Ambon. Banyak warga Ambon harus
melalui tahun-tahun yang sulit untuk bisa menyembuhkan luka batin mereka.
Dua tahun kemudian, tepatnya Februari 2001, terjadi
tragedi Sampit. Tercatat sebagai konflik antarsuku paling berdarah di era
Indonesia modern. Konflik ini dimulai 18 Februari di Kota Sampit, Kalimantan
Tengah, dan meluas ke daerah sekitarnya, termasuk Ibu Kota Palangka Raya.
Cuplikan tentang catatan konflik horizontal berlatar belakang isu SARA ini
sengaja dikedepankan, dan juga sangat perlu, dengan tujuan agar generasi masa
kini mau belajar dan bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi hoax provokatif
berkonten SARA.
Siapa pun tidak ingin konflik berdarah seperti itu
terulang. Maka, peran negara menyelenggarakan langkahlangkah preventif
menjadi sangat penting dan strategis. Dalam konteks penyelenggaraan
langkah-langkah preventif itulah kewaspadaan serta kesigapan Polri dan
Intelijen negara sangat dibutuhkan. Sebab, sekarang ini segala sesuatu bisa
terjadi dengan begitu cepat; dalam hitungan menit atau detik.
Tragedi Mei 1998, tragedi Ambon 1999, dan tragedi Sampit
2001 terjadi ketika hoax provokatif berkonten SARA belum dikenal. Kini, hoax
provokatif berkonten SARA bisa menjadi faktor penggerak massa. Kalau negara,
dalam hal ini Polri dan intelijen, tidak waspada dan tidak sigap, hal-hal
yang tidak diinginkan bisa dengan cepat terjadi.
Artinya, pemerintah, DPR, Polri, dan Intelijen negara
harus menerima kenyataan bahwa hoaxprovokatif telah berevolusi menjadi faktor
yang sangat potensial mendestruksi stabilitas nasional dan ketertiban umum.
Karena besarnya ancaman dari hoax provokatif berkonten SARA itu maka
penyikapannya pun tidak bisa lagi biasa-biasa saja atau ala kadarnya. Kini,
hoax provokatif berkonten SARA harus direspons dengan sangat serius dan
sangat tegas. Rakyat mengandalkan Polri dan BIN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar