Mendayung
Bahtera Nasionalisme
Ichwan Arifin ; Pegiat
Pergerakan Kebangsaan;
Magister of Science Undip
Semarang
|
JAWA
POS, 20
Mei 2017
Momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei merupakan saat
yang tepat untuk merefleksikan perjalanan bangsa. Jika berdirinya Budi Utomo
pada 1908 disepakati sebagai awal tumbuhnya benih-benih nasionalisme,
perjalanan ideologi itu sudah 109 tahun. Pasang surut mewarnai perjalanan
tersebut yang memanifes dalam beragam bentuk upaya meretakkan ideologi
melalui gerakan separatisme. Seperti pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta), Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sampai perubahan bentuk negara dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Republik Indonesia Serikat
(RIS). Namun, beragam upaya meretakkan batu sendi nasionalisme tersebut tidak
pernah berhasil menggoyahkan keutuhan NKRI sampai sekarang.
Saat ini, di tengah hiruk pikuk gerakan politik yang
membawa isu-isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), juga gerakan
politik internasional yang menginginkan Indonesia menjadi bagian dari Daulah
Khilafah, terasa sangat penting mengetengahkan kembali nasionalisme sebagai
reminder bagi seluruh elemen masyarakat bahwa ada masalah mendasar yang
dihadapi bangsa.
Fondasi Imajiner
Namun, menghadirkan nasionalisme –jika dilakukan tanpa
memperbarui pemaknaan dan penerjemahan ideologi dengan realitas kekinian–
justru akan menambah persoalan. Apalagi, hal-hal yang merekatkan sebagai
ikatan sebagai sebuah bangsa merupakan sesuatu yang bersifat imajiner.
Benedict Anderson dalam Imagined Communities mendefinisikan bangsa sebagai
sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki
kedaulatan. Anderson menambahkan, bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang
karena mustahil bagi individu anggotanya benar-benar pernah berinteraksi.
Merujuk pada konsepsi Anderson tersebut, nasionalisme seakan berpijak pada
fondasi yang rapuh dan mudah rusak manakala imajinasi kolektif tersebut hilang
atau berubah.
Bagi generasi sekarang, mungkin nasionalisme dirasakan
sangat abstrak. Kehadirannya hanya dapat dilihat melalui momentum seremonial
seperti upacara bendera atau pertandingan olahraga antarbangsa. Dalam ranah
politik, menguatnya pragmatisme, politik transaksional, serta sistem dan
budaya politik yang korup semakin menguatkan skeptisime masyarakat terhadap
makna nasionalisme.
Nasionalisme Indonesia juga hadir tidak dalam suatu ruang
kosong, sebagaimana dikemukakan Ahmad Sahal dalam Terjerat Rumah Kaca.
Kolonialisme juga berperan dalam membentuk nasionalisme di negara jajahan.
Sahal bahkan menegaskan bahwa nasionalisme itu sendiri tidak luput dari
persoalan dan mengandung ambivalensi sejak kelahirannya. Misalnya dalam
ungkapan-ungkapan yang menjadi kata kunci nasionalisme seperti perasaan
senasib sependeritaan sebagai bumiputra. Kata-kata tersebut menjadi sangat
relatif maknanya karena dalam struktur sosial masyarakat terdapat kelas-kelas
sosial seperti bumiputra yang buruh dan priayi. Realitas senasib
sependeritaan tentu berbeda di antara keduanya meskipun sama-sama dalam
genggaman kuasa kolonialisme.
Namun, terlepas dari kritik tersebut, nasionalisme
Indonesia hadir pada saat bangsa ini memerlukan suatu ideologi yang mampu
menyatukan segenap elemen bangsa, menjadi satu kekuatan politik perlawanan
terhadap kolonialisme-imperialisme. Pada akhirnya, ideologi itu berhasil
membawa bangsa Indonesia menjadi satu negara merdeka melalui proklamasi 17
Agustus 1945.
Peta Masalah Bangsa
Namun, hanya menyandarkan pada kenangan kolektif masa lalu
untuk merawat nasionalisme tentu tidak cukup. Apalagi, problem kebangsaan
saat ini dan di masa depan sangat kompleks. Pergerakan kebangsaan dalam
Pancasila, Mencari Konstruksi Pemahaman: Pengalaman Enam Tahun Pembasisan
Pancasila mengemukakan peta masalah bangsa. Meliputi, pertama, sisa-sisa
karut-marut kondisi sosial-ekonomi-politik sebagai imbas kegagalan
pembangunan di masa lalu masih dirasakan pada masa sekarang. Pembangunan yang
dipisahkan dari tujuan mewujudkan keadilan sosial telah melahirkan
anyam-anyaman ketimpangan. Yaitu ketimpangan antardaerah, ketimpangan
antarsektor, dan ketimpangan antar-lapisan sosial. Perubahan dari Orde Baru
ke Orde Reformasi masih belum membawa perubahan secara signifikan.
Kedua, gelombang globalisasi. Percepatan proses
globalisasi yang digerakkan dorongan universal liberalisasi perdagangan dan
perubahan teknologi secara terus-menerus telah menurunkan biaya produksi,
transportasi, dan komunikasi. Fenomena tersebut semakin mengintegrasikan
ekonomi bangsa-bangsa ke dalam pelukan kapitalisme global.
Ketiga,demokratisasi dan oligarki. Reformasi telah berhasil memecah
konsentrasi kekuasaan satu polar menjadi beberapa polar kekuasaan. Namun,
fragmentasi itu juga diikuti polarisasi sumber daya politik, khususnya
kekuatan ekonomi dan kekuatan massa. Di sisi lain, partai politik sebagai
pilar demokrasi tak luput dari penyakit oligarkis yang akut. Pada akhirnya,
pemimpin politik yang lahir dari proses politik tersebut cenderung mendekat atau
menjadi bagian dari oligarki.
Situasi itu saat ini diperparah lagi dengan menguatnya
politik identitas sempit yang mengarah pada sektarianisme. Kemenangan politik
dari kelompok yang mengusung politik identitas dalam kompetisi pengisian
jabatan politik seolah meneguhkan kekuatan riil kelompok tersebut. Di sisi
lain, situasi itu seharusnya menjadi early warning bagi kekuatan nasionalis
untuk merefleksikan diri dan menata ulang pergerakan politik kebangsaan.
Karena itu, kekuatan politik nasionalis yang saat ini
memegang kekuasaan politik nasional seharusnya mengambil peran strategis
dalam memaknai kembali nasionalisme yang relevan dengan realitas kekinian dan
menjawab tantangan masa depan. Peneguhan kembali memori kolektif sebagai satu
bangsa yang memiliki satu sejarah yang sama harus dilakukan dalam bentuk
melahirkan kebijakan politik yang mendorong terwujudnya keadilan sosial.
Proses membangun kembali perjalanan satu riwayat tersebut harus terus-menerus
dilakukan untuk mencegah retaknya batu sendi nasionalisme karena perasaan
diskriminasi dan kesenjangan. Realitas tersebut juga disadari pemerintahan
saat ini. Salah satunya memanifes dalam strategi pembangunan yang dimulai
dari daerah-daerah perbatasan/pinggiran sebagai upaya memangkas kesenjangan
antardaerah.
Hal lainnya, semua harus menyadari bahwa tidak ada satu
kelompok pun yang memiliki kemampuan menjadi superhero, mengambil peran
sendiri untuk menjawab peta masalah bangsa. Karena itu, diperlukan integrasi
dan sinergi dari beragam kekuatan sosial politik yang telah bersama-sama
membangun bangsa ini untuk kembali bekerja sama menata dan melanjutkan
riwayat kolektif sebagai satu bangsa. Kompetisi politik dalam sistem
demokrasi adalah keniscayaan dan hal wajar. Karena itu, kemenangan dan
kekalahan tidak perlu disikapi berlebihan yang dapat menimbulkan luka sosial
berkepanjangan. Nasionalisme sejati, sebagaimana dikemukakan Bung Karno dalam
Di Bawah Bendera Revolusi,timbul dari rasa cinta akan manusia dan
kemanusiaan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar