Emilio
Camus, BPK, dan Intosai
Dedi Haryadi ; Pegiat Antikorupsi Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
KOMPAS, 26 Mei 2017
Dalam wawancara imajiner saya, beberapa hari, lalu
almarhum Emilio F Camus menyambut baik pergantian kepemimpinan di tubuh Badan
Pemeriksa Keuangan. Sejak April 2017, estafet kepemimpinan di BPK beralih
dari Harry Azhar Azis ke Moermahadi Soerja Djanegara.
Menurut Emilio F Camus (EFC), ketua BPK memang harus
segera diganti karena Harry Azhar sudah jadi beban (liability) bagi organisasi. Selain indepedensinya diragukan karena
ia juga seorang politisi, keberadaan namanya dalam Dokumen Panama telah
merendahkan kepercayaan publik pada profesionalisme dan integritas BPK.
Moermahadi Soerja Djanegara bukan politisi dan tidak
berafiliasi dengan partai politik mana pun sehingga potensial menyumbang pada
independensi kepemimpinan dalam BPK. Independensi ketua BPK merupakan salah
satu dari delapan pilar independensi BPK.
Selain mengapresiasi suksesi kepemimpinan di BPK, EFC juga
menyayangkan kecilnya perhatian publik pada perekrutan dan pemilihan pimpinan
BPK. Padahal, ia sama pentingnya dengan perekrutan komisioner KPK. Siapa EFC sehingga
perlu saya mintai pendapatnya tentang suksesi kepemimpinan di BPK?
Menggagas ”Intosai”
Mendiang EFC lahir di Havana, Kuba, 7 Juni 1898. Ia seorang
visioner yang punya mimpi besar tentang bagaimana seharusnya BPK ada dan
bekerja. Ia ingin membangun tradisi audit eksternal keuangan pemerintah yang
baik dan ajek.
Ada tiga hal penting yang harus dipunyai kalau kita mau
mengelola sumber daya (dana) publik secara optimal, tanpa kebocoran dan
pencurian (korupsi). Pertama, BPK harus profesional, berintegritas,
independen, dan netral secara politik. Kedua, auditornya, selain profesional
dan beritegritas, juga harus independen dari pengaruh politik. Ketiga, ada
mekanisme pertukaran pengalaman dan pengetahuan antar-BPK sedunia sehingga
teori dan praksis audit keuangan pemerintah berkembang terus.
Dua komponen pertama itu menjadi kode etikBPK sedunia: ”It is important to maintain both the
actual and perceived political neutrality of the Supreme Audit Institutions.
Therefore, it is important that auditors maintain their independence from
political influence in order to discharge their audit responsibilities in an
impartial way”.
Komponen ketiga dari mimpinya itulah yang kemudian
melahirkan The International
Organization of Supreme Audit Institutions (Intosai). Pada 1953, sebagai
ketua BPK-nya Kuba, EFC menggagas dan menyelenggarakan pertemuan BPK sedunia
di Havana. Pertemuan dihadiri 34 BPK dari sejumlah negara. BPK kita, yang
dibentuk berdasarkan Surat Penetapan Pemerintah No 11/OEM tanggal 28 Desember
1946, belum bisa hadir dalam pertemuan itu. Sebab, saat itu negara kita masih
sibuk mengurus politik dan kedaulatan. Pada pertemuan ini, 34 BPK yang hadir sepakat
membentuk Intosai. Intosai didesain sebagai perkumpulan BPK sedunia yang
bebas, mandiri, dan nonpolitik.
Intosai memberikan layanan padaanggotanya supaya fungsi
BPK benar dan ajek. Layanan itu antara lain mengembangkan transfer
pengetahuan tentang audit antar-anggotanya, membangun norma, etik, prinsip,
dan standar auditing, serta meningkatkan kapasitas profesionalisme.
Motonya”experiential mutual omnibus prodest”, ingin memastikan bahwa teori
dan praksis audit pemerintah terus berkembang.BPK kita baru bergabung dengan
Intosai—setelah mendapat dukungan dari Badan Pelaksana Intosai—pada Kongres
Intosai keenam di Tokyo,Jepang, pada22 Mei 1968.
Sekarang ini, tantangan besar bagi Moermahadi Soerja
Djanegara adalah bagaimana menegakkan pilar-pilar independensi BPK: status
dan kerangka hukum,sumber daya (keuangan dan manusia), kepemimpinan di BPK,
operasional, akses pada informasi, pelaporan hasil audit, isi dan ketetapan
waktu laporan audit, danefektivitas mekanisme tindak lanjut. Penegakan
pilar-pilarindependensi tersebut akan memengaruhi risiko korupsi dalam
tubuhBPK.
Status dan kerangka hukum BPK kita sudah jelas diatur
dalam konstitusi (UUD 1945). Secara normatif disebutkan, BPK adalah lembaga
yang mandiri dan independen. Dalam perjalanannya, kemandirian dan
independensi BPK bergerak dari satu pendulum berat ke eksekutif di zaman
pemerintahan Orde Baru danberat ke parlemen sekarang ini dizaman reformasi.
Ubah pola perekrutan
Memang bukan tanggung jawab Moermahadi Soerja Djanegara
sendirian mengubah gerakan pendulum ini supaya ke depan lebih seimbang di
antara eksekutif dan legislatif. Akan tetapi, Moermahadi Soerja Djanegara
bisa mengambil prakarsa untukmengartikulasikan kebutuhan ini baik kepada
parlemen maupun pemerintah. Dengan mengubah pola perekrutananggota BPK
sehingga seperti pola perekrutankomisioner KPK sebenarnyabisa menggeser
pendulum itu sehingga berada di tengah-tengah antara pemerintah dan KPK.
Dari segi sumber daya manusia, BPK menghadapi persoalan
kurangnya tenaga auditor, rendahnya proporsi tenaga auditor dan non-auditor.
Pemekaran daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memperumit masalah ini. Belum
lagi kita bicara tentang profesionalisme dan integritas auditor. Munculnya
praktik korupsi audit seperti tecermin dari beberapa kasus jual-beli opini
mencerminkan adanya problem integritas auditor.
Praktik jual-beli opini juga ditemukan dalam kasus korupsi
proyekKTP elektronik. Auditor KPK ditengarai menerima suap dari dua
tersangka, Irman dan Sugiharto, senilai Rp 80 juta. Penyuapan ini memengaruhi
BPK dalam memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap
pengelolaan keuanganDitjen Dukcapil pada 2010.
Cukup mengherankan, penilaian sesama BPKyang dilakukan BPK
Belanda (2009) dan BPK Polandia (2014)—dalam bingkai kerja sama yang dipayungi
Intosai—tidak melihat adanya praktik jual-beli opini ini. Jangan dikira hanya
warga, aktivis, jurnalisatau peneliti yang kesulitan mengakses informasi yang
dibutuhkan dalam kerja-kerja advokasi, jurnalis dan risetnya, BPK pun dalam
kerja-kerja auditingnya dihadapkan pada persoalan yang sama. Hasil kajian
sesama BPK yang dilakukan BPK Belanda, BPK kita juga punya kesulitan
mengakses: (1) data penerimaan pemerintah dariDirektorat Jenderal Pajak,
Kemenkeu; dan (2) data dan informasi proyek-proyek pemerintah yang dibiayai
utang luar negeri.
Yang terakhir ini karena pemerintah dankreditor
bersepakat, yang mengaudit proyek pembangunan tersebut adalah BPKP. Kesulitan
mengakses data dan informasi untuk tujuan audit tersebut juga masih dirasakan
BPK ketika akan mengaudit institusi militer yang kuyup rahasia, seperti
Kemenhan, TNI, dan BIN.
Efektivitas mekanisme tindak lanjut hasil audit juga harus
diperbaiki. Masih banyak rekomendasi BPK yang tidak ditindaklanjuti oleh
auditee (kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten,
BUMN/BUMD).
Sebagai contoh, padaJanuari 2015 ada sekitar86 temuan
senilai Rp3,15 triliun yang bersumber dari APBN (hasil pemeriksaan periode
2009-2014) yang belum ditindaklanjuti oleh 14 BUMN calon penerima Penanaman Modal
Negara (PMN).Beberapa BUMN tersebut di antaranya PT Aneka Tambang, PT Angkasa
Pura II, PT Garam, PT Pindad,PT Kereta Api Indonesia,PTPN IX, danPerum Bulog.
Pada saat itu nilai temuan yang belum ditindaklanjuti
Bulog mencapai Rp 1,7 triliun. Bebas dan independennya BPK tidak seharusnya
menghalangi BPK bekerja sama dengan pemerintah untuk meningkatkan efektivitas
mekanisme tindak lanjut hasil audit.
Kalau Moermahadi dan jajarannya tidak bisabisa memperkuat
penegakan pilar-pilar independensi tersebut, kita bukan hanya akan gagal
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran negara, melainkan
juga berpotensi gagal mencegah dan memberantas korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar