Tradisi
Kritis-Profetik Beragama
Achmad Maulani ; Wakil Sekretaris Lakpesdam Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU); Staf Ahli Strategic Policy Unit pada Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
|
KOMPAS, 30 Mei 2017
Dalam beberapa bulan terakhir, kebinekaan bangsa ini
nyaris robek oleh isu-isu SARA, juga pelibatan agama dalam kancah politik. Agama yang sarat nilai-nilai keluhuran, di
tangan sebagian pemeluknya justru telah berubah menjadi malaikat yang selalu
meniupkan terompet kematian bagi siapa pun yang berbeda keyakinan. Perjuangan
menegakkan agama berubah menjadi monster yang begitu menakutkan.
Konflik yang selalu berdalih atas nama Tuhan dan
berlindung di balik jubah agama serta dibungkus dan berkelindan dengan
persoalan politik, terus saja berlangsung. Tengoklah konflik di Timur Tengah
yang telah menghancurkan keluhuran peradaban bangsa-bangsa tersebut.
Di Indonesia, kekerasan dan kasus intoleransi tak
terhitung banyaknya. Maraknya kekerasan ataupun pemaksaan kehendak yang
sering mengatasnamakan agama akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan mendasar;
mengapa kekerasan atas nama agama masih sangat sering terjadi? Apakah agama
memang mengajarkan kekerasan? Dapatkah agama diandalkan untuk menyelesaikan
problem-problem kemanusiaan saat ini?
Pertanyaan-pernyataan bernada gugatan seperti di atas tak
sepenuhnya bisa disalahkan di tengah realitas yang menyodorkan fakta tak
terbantahkan. Jawaban atas pertanyaan tersebut pun bisa ”ya” dan ”tidak”.
Bergantung pada manusia
Dalam konteks perdebatan tersebut, menarik menilik gagasan
Charles Kimball dalam karya monumentalnya, When Religion Becomes Evil (2013).
Atas pertanyaan di atas, misalnya, Kimball tidak ingin terjatuh pada salah
satu jawaban ekstrem.
Secara bernas Kimball ingin menunjukkan bahwa di satu
pihak agama memang sering jadi problem dalam sejarah manusia. Namun, di lain
pihak, agama juga bisa memberikan nilai dan arti bagi hidup manusia. Problem
tidaknya sebuah agama tidak bergantung pada agama itu sendiri, tetapi lebih
pada soal agama kaitannya dengan hidup manusia. Artinya, manusialah patokan
yang menentukan apakah agama itu jadi problem atau tidak.
Karena itu, penting ditegaskan, betapa pun luhur suatu
ajaran agama, betapa pun mulia institusinya, semua hanya akan jadi pembusukan
apabila nyata-nyata menyebabkan penderitaan. Demikian juga jika agama menjadi
korup, maka sesungguhnya bukan agama itu penyebabnya, melainkan manusia
pemeluknya.
Pertanyaan selanjutnya, seperti apakah tanda-tanda
kerusakan agama sehingga bisa dicegah agar tidak menjadi bencana? Kimball
melihat ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama menjadi bencana,
bahkan mengalami kerusakan.
Pertama, agama akan menjadi bencana bila pemeluk agama
tersebut mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan
satu-satunya. Bila hal ini terjadi, maka pemeluk agama tersebut akan membuat
apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya. Sering kali
persoalan kekerasan atas nama agama dan intoleransi, di mana pun, bersumber
dari soal ideologi keagamaan.
Tanda kedua yang menunjukkan bahwa agama bisa menjadi
korup adalah ketika terjadi ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka.
Karena itu, dalam beragama pun penting mengembangkan sikap kritis dan
pemahaman agama yang seimbang, tidak pincang, dan melihatnya dari beberapa
sudut pandang. Ketika itu yang terjadi, maka agama akan menjadi rahmat bagi
sesama. Ujungnya, model- model intoleransi yang mengarah pada kekerasan atas
nama agama dapat dicegah.
Ketiga, tanda yang menunjukkan agama bisa menjadi bencana
adalah jika pemeluk sebuah agama mulai gandrung merindukan zaman ideal,
kemudian dengan segenap cara bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam
zaman sekarang. Tanda ketiga inilah yang sangat sering kita saksikan dengan
sangat telanjang dan terorganisasi secara rapi.
Perjuangan pendirian negara Islam,
penegakan khilafah Islamiyah, serta pembelaan terhadap gerakan Negara Islam
di Irak dan Suriah (NIIS) adalah beberapa contoh yang dapat menggambarkan
betapa ide kembali ke zaman ideal menjadi senjata yang ampuh untuk
menggerakkan umat.
Celakanya, pembenaran dan keinginan tersebut mendorong
para pemeluk agama untuk mendirikan suatu negara agama, negara teokratis.
Kita lantas bertanya, tidakkah kita belajar pada sejarah? Kita bisa melihat
rezim Taliban di Afganistan yang begitu kejam terhadap warganya sendiri demi
ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara. Kita juga bisa
mengambil pelajaran dari koalisi kelompok Kristen Amerika yang didirikan
Pendeta Pat Robertson yang ingin mengubah struktur hukum dan negara dalam
cahaya Injil.
Tanda keempat tentang agama yang korup dan akan menjadi
bencana adalah apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya
”tujuan yang membenarkan cara”. Kerusakan agama di sini biasanya berkaitan
dengan penyalahgunaan komponen-komponen dari agama itu sendiri. Hal yang
paling berbahaya adalah jika untuk meraih suatu tujuan dipakailah segala cara
pembenaran.
Kelima, sebuah agama akan jadi bencana adalah jika perang
suci kembali dipekikkan. Tamsil paling gamblang adalah Perang Salib yang
begitu kejam, atau serangkaian terorisme yang terjadi di Indonesia, yang
memakan banyak korban tak bersalah.
Kritis-profetik
Kelima tanda yang diperingatkan Kimball di atas bertujuan
agar agama justru menjadi agen perubahan yang transformatif serta menampilkan
daya dobraknya melawan ketakadilan. Karena itu, mengembangkan tradisi
kritis-profetik dalam agama dinilai lebih cocok untuk diperjuangkan di tengah
pluralitas masyarakat yang tak mungkin terhindarkan.
Di tengah berbagai persoalan yang tengah membelit bangsa
ini, mulai soal pengangguran, kesenjangan, kemiskinan, merebaknya
gerakan-gerakan fundamental- radikal, dan berbagai persoalan lain, sudah
saatnya agama mampu menyumbangkan apa yang paling dituntut untuk mengatasi
krisis ini. Sumbangan yang paling minim bisa diberikan adalah tidak menuntut
kebenarannya sendiri, tetapi menyumbangkan kebenaran satu sama lain.
Persoalan krusial yang sering terjadi dalam keberagamaan
kita selama ini adalah bahwa agama yang pada mulanya hadir sebagai pembawa
roh peradaban serta tiang penyangga bagi tegaknya etika sosial, sekarang
cenderung menjadi lembaga himpunan dogma teologis dan lembaga layanan ritual
belaka. Agama dalam konteks tersebut kemudian menjadi kehilangan elan
vitalnya.
Karena itu, penting ditegaskan, signifikansi keberadaan
agama sesungguhnya terletak pada keterkaitannya dengan komitmen solidaritas
dan emansipasi. Komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran agama harus
mampu membebaskan manusia dari belenggu zamannya serta mengentaskannya dari
kemiskinan dan keterbelakangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar