Keyakinan
yang Terkunci
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28 Mei 2017
Kalau menulis Udar Rasa ini, saya biasanya memulainya
dengan suatu detail, kadang nyentrik, yang lalu saya kembangkan demi
memberikannya makna yang luas. Namun, hari ini, saya tidak bisa. Yaitu
harapan kita untuk meleburkan secara politik kaum "minoritas" ke
dalam mayoritas bangsa ini pupus -untuk sementara atau, bila tidak waswas,
untuk seterusnya.
Di dalam hal pemilihan gubernur DKI Jakarta, jadi untuk
pertama kali di jantung bangsa ini, sebagian besar warga tidak lagi melakukan
pilihan politiknya berdasarkan evaluasi atas kebijakan konkret yang
ditawarkan oleh para calon, tetapi berdasarkan identitas agama calon
tersebut. Di Jakarta, ujung peristiwa ini adalah penahanan Basuki, yang
sejatinya mencoreng segenap asas bangsa ini: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
dan UUD 1945. Apakah hal ini merupakan awal suatu gelombang dahsyat yang akan
meluluh-melantakkan seluruh bangsa Indonesia? Pantas dipertanyakan, tetapi
semoga tidak terjadi.
Untuk melawan evolusi ke arah politik identiter agama itu,
kita harus mengidentifikasi penyebabnya, lalu menawarkan titik-titik
intervensi yang jitu dan sebisanya, nonrepresif. Secara umum, gerakan
identiter dapat dikaitkan dengan guncangan-guncangan struktural makro yang
inheren pada dialektika antara kapitalisme dan globalisasi. Masyarakat
bereaksi terhadap guncangan itu dengan mengonstruksi suatu masa lalu
ideal-betapapun imajinernya.
Namun, di dalam kajian atas pergeseran nilai di atas
terdapat sesuatu yang pada umumnya diabaikan, dan oleh karena itu, gagal
ditanggapi dengan saksama: politisasi agama, khususnya Islam di Indonesia,
telah berkembang selaras dengan perubahan pada modus transmisi pengetahuan.
Sampai 40 tahun yang lalu, hampir semua orang Islam Indonesia adalah entah
"buta huruf" atau berpendidikan primer: sebagian mengakses agama
melalui sarana simbolisme tradisional seperti wayang; sebagian lagi melalui
"guru" yang secara sosiologis mempunyai kuasa spiritual-ekonomi
atas lingkungan cantriknya.
Jadi, pengetahuan agama "dikunci" oleh sang
guru. Di dalam konteks itu, radikalisme tidak ada ruang untuk berkembang.
Namun, kemelekan-huruf pasca Orde Baru mengubah keseimbangan itu: tiba-tiba,
yaitu di dalam rentang waktu 20-30 tahun, "semua orang" bisa
mengakses langsung kitab suci. Di dalam kaitan dengan itu, seperti diketahui
umum, bagi pelajar awal mana pun, kata tertulis cenderung dianggap sebagai
kebenaran mutlak. Jadi, sementara anak muda, yang kian sering pindah ke kota,
kehilangan akses kepada perangkat simbolis lama, mereka mendapatkan melalui
sekolah "kebenaran" mutlak kata tertulis. Akibatnya, pengaruh dari
tafsir simbolis tradisional surut secara drastis untuk diganti oleh tafsir
harfiah. Bahkan, sering kali, ajaran guru tradisional tidak lagi mau
didengar. Disaingi oleh tafsir personal atau/dan tafsir yang ditawarkan oleh
aneka pihak luar melalui terjemahan atau, kini, oleh media sosial. Ekornya
panjang. Wayang, yang dulu merupakan sarana untuk memasukkan agama Islam di
Jawa, kini kerap dianggap penyimpangan dari agama. Adapun ungkapan klasik,
seperti "manunggal kawula-gusti" atau "jati ningsun",
biarpun dicatat sebagai bagian dari perbendaharaan kultural Jawa, kian sering
dianggap kuno. Jadi, dasar sosiokultural dari apa yang disebut Islam
Nusantara rapuh. Adalah suatu ilusi beranggapan bahwa sekolah serta-merta
menghasilkan pencerahan.
Harus segera ditambahkan bahwa fenomena ini bukanlah
ditemui di kalangan Islam saja. Kemelek-hurufan pernah menyertai kemunculan
revivalisme/fundamentalisme Protestan. Zionisme Israel adalah akibat dari
tafsir harfiah atas Al Kitab- yang menjanjikan Tanah Suci pada kaumnya. Dan
radikalisme Hindu yang kini melanda India juga berpangkal pada
"keharfiahan" buku suci Hindu. Fenomena fundamentalisme ini adalah
bagian dari patologi sosial dunia kontemporer kita.
Tentunya hal-hal di atas tidak disadari oleh para
pelakunya: mereka terlalu asyik mengidealisasi kaumnya sendiri dengan bantuan
kata suci terpilih. Apalagi, seperti yang dicatat oleh filsuf Paul Ricoeur
(1984): "Setiap grup/kelompok/kaum
merumuskan keberadaannya melalui pencitraan yang kelewat mengidealisasi
dirinya sendiri. Hasil pencitraan ini lalu turut memperkokoh
identitasnya". Dari memperkokoh identitas, lalu mengonstruksi suatu
kebenaran bagi kaumnya sendiri, dan kemudian merapatkan barisannya, terlihat
suatu evolusi sosiopolitik yang bisa saja berkembang hingga lepas kontrol.
Lalu bagaimana menanggapi hal di atas? Hemat saya, melawan
keharfiahan sedini tingkat SD dan sepanjang proses pendidikan berlangsung.
Muncul pertanyaan: apakah kebijakan terkait bisa disusun? Dan apakah
guru-guru mampu mengimplementasikannya? Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar