Perppu
dan Era Baru Perpajakan
Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif CITA
(Center for Indonesia Taxation
Analysis) Jakarta
|
KOMPAS, 27 Mei 2017
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk
Kepentingan Perpajakan. Bagi sebagian orang,
terbitnya peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) seperti petir di siang
bolong yang mengagetkan. Sebagian lain dapat memaklumi karena ini sudah jauh
hari diwacanakan. Namun, tetap saja lahirnya perppu ini seperti sebuah
revolusi yang hadir begitu cepat, tiba-tiba, dan semua hanya dapat
mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Apa sebenarnya konteks, maksud, dan
isi perppu, serta langkah strategis yang harus diambil DPR dan pemerintah?
Seharusnya tidak sekarang, kita belum siap! Ucapan ini
kerap kita dengar saat ide keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan diwacanakan beberapa tahun silam. Sejatinya kita tak akan pernah
siap karena telah berada di zona nyaman yang amat nikmat. Rezim kerahasiaan (secrecy) telah bertahun-tahun mewarnai
kehidupan kita dan berlindung di balik klaim penghormatan hak milik pribadi (privacy). Berbagai alasan yang
disodorkan pun benar belaka: ketidaksiapan regulasi dan infrastruktur,
mentalitas aparatur negara yang rawan penyimpangan, pelarian uang ke luar
negeri, mengurangi daya saing investasi. Namun, dari perjalanan politik
bangsa ini kita melihat, bahkan ide sepenting dan semendesak nomor identitas
tunggal pun segera dibelokkan menjadi proyek KTP-el yang cacat dan menjadi
bancakan menjijikkan.
Data amnesti pajak mengonfirmasi kemendesakan itu. Tak
kurang Rp 2.900 triliun aset keuangan dideklarasikan selama program
berlangsung, mencapai 56 persen dari total deklarasi harta, dan Rp 2.100
triliun di antaranya ditempatkan di dalam negeri. Ini mengonfirmasi stagnasi
rasio pajak dan rendahnya pencapaian target penerimaan, yakni keterbatasan
akses Ditjen Pajak ke data/informasi keuangan. Alih-alih menangkal praktik
penghindaran pajak dengan mengejar data/informasi harta di luar negeri, yang
di depan mata saja tak dapat dijangkau/disentuh.
Hingga saat ini, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) mengatur akses data melalui permintaan (by request) dan hanya mencakup tujuan pemeriksaan, penyidikan,
dan penagihan pajak. Justru di sini letak persoalannya, ketiadaan data awal
akurat membuat pemeriksaan pajak tak efektif dan rawan menimbulkan sengketa
yang berliku tanpa ujung. Efektivitas pemungutan pajak harus ditopang
strategi mengawinkan identitas (siapa) dengan aktivitas (melakukan dan
memiliki apa).
Angin segar berembus saat negara-negara yang tergabung
dalam OECD berketetapan hati mengejar pelaku aggressive tax avoidance yang modusnya kian canggih dan
jangkauannya melampaui batas-batas negara. Pada 2013, Base Erosion and Profit
Shifting Action Plan, salah satunya tentang pertukaran informasi keuangan
otomatis (Automatic Exchange of
Information/AEOI), mulai dirintis dan kini berbuah. Indonesia, bersama
ratusan negara lain, sepakat berpartisipasi dalam inisiatif global ini. Tentu
kita pun harus tunduk pada standar yang telah ditetapkan agar sepenuhnya
masuk kategori patuh (compliant),
salah satunya meniadakan aturan kerahasiaan untuk kepentingan perpajakan.
Perppu lahir dalam kemendesakan itu karena kita harus memenuhi tenggat 30
Juni 2017 agar tak dianggap cedera janji/dicap tak kooperatif.
Isi perppu dan tindak lanjut
Dalam konteks di atas, perppu ini memenuhi persyaratan
dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time. Kita menghadapi
tuntutan komitmen di tingkat global dan kebutuhan peningkatan penerimaan
pajak untuk pembangunan.
Perppu ini setidaknya mengatur (i) kewenangan Ditjen Pajak
mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam
rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan (kebutuhan domestik) dan pelaksanaan perjanjian internasional di
bidang perpajakan, (ii) Lembaga jasa keuangan–meliputi perbankan, pasar
modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain yang dikategorikan
lembaga keuangan–melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara berkala wajib
menyampaikan laporan berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor
rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening
keuangan, dan penghasilan yang terkait rekening keuangan, (iii) perlindungan hukum
bagi pejabat maupun para pihak yang melaksanakan kewajiban, dan sanksi bagi
lembaga jasa keuangan dan para pihak yang tak memenuhi kewajiban, (iv)
pencabutan pasal-pasal kerahasiaan di UU KUP, UU Perbankan, UU Pasar Modal,
UU Perdagangan Berjangka Komoditi, dan UU Perbankan Syariah.
Tentu saja, perppu ini baru mengatur hal-hal normatif,
khususnya kewenangan akses Ditjen Pajak terhadap informasi/data keuangan
melalui peniadaan pasal-pasal kerahasiaan. Langkah strategis perlu segera
diambil. Pertama, DPR perlu segera memberikan dukungan pada penuntasan
reformasi perpajakan dengan mengesahkan perppu menjadi UU dan bersama
pemerintah menyelesaikan revisi UU KUP dan UU Perbankan, termasuk segera
menyetujui RUU Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, kewenangan yang besar dan tuntutan transparansi ini
harus diimbangi akuntabilitas, yaitu perlindungan data nasabah/WP (confidentiality and data safeguard)
dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition) dan pertanggungjawaban pemanfaatan data keuangan.
Harus diakui, keragu-raguan publik terhadap integritas aparatur negara sangat
beralasan sehingga perlu segera dibuat regulasi yang secara eksplisit
mengatur perlindungan data, sistem administrasi yang transparan dan akuntabel
dalam mengawasi pemanfaatan data, serta formulasi sanksi yang berat bagi
pihak yang menyalahgunakan kewenangan.
Ketiga, Kementerian Keuangan segera menerbitkan aturan
pelaksanaan yang memberi kepastian. Lalu, bersama-sama BI dan OJK segera
melakukan sosialisasi yang masif dan menjangkau masyarakat luas agar
kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi dan moneter tak terganggu. Di sisi
lain, aturan ini menjadi peluang baru bagi pemerintah untuk menarik dana yang
selama ini disimpan di luar negeri, atau dana di dalam negeri yang akan
disalurkan di sektor produktif. Maka, reformasi sistem keuangan agar lebih
kredibel, akuntabel, dan kompetitif melalui perbaikan skema insentif,
kepastian hukum, penyederhanaan administrasi mutlak diperlukan.
Keempat, masyarakat–baik sebagai nasabah maupun WP–tak
perlu khawatir berlebihan. Era keterbukaan ini fajar yang menyingsing dan
menerangi seluruh belahan dunia. Maka, respons yang tepat bukan bersiasat
untuk mempertahankan zona nyaman kerahasiaan (secrecy), melainkan ikut merawat perlindungan data pribadi (privacy). Kebijakan ini justru
meneguhkan semangat pengampunan pajak. Jika WP selama sembilan bulan telah
diberi kesempatan melaporkan harta yang belum diungkap dan diampuni, maka
kini tak ada alasan dan cara lain, kecuali melakukan penegakan hukum yang
adil.
Kunci pembuka
Dari sudut pandang stick and carrot, inisiatif ini
merupakan keadilan dan fairness bagi para WP yang telah mengikuti program
amnesti mau pembetulan SPT dengan jujur, dan sebaliknya menjadi disinsentif
atau hukuman bagi mereka yang memilih tak jujur. Apalagi, mengiringi perppu
ini Ditjen Pajak akan mengimplementasikan compliance risk management yang
akan memanfaatkan informasi keuangan ini sebagai data awal untuk keperluan
profiling kepatuhan WP. Bagi yang profilnya sudah sesuai akan termasuk
klasifikasi patuh dan tanpa risiko, justru berhak mendapatkan layanan prima.
Bagi yang tak patuh dan berisiko tinggi, ini akan menjadi petunjuk untuk
pemeriksaan pajak dengan meminta pembukaan rekening ke OJK. Bukankah ini yang
memenuhi rasa keadilan dan memberikan kelegaan?
Di balik semua ikhtiar ini, terselip satu prasyarat bahwa
seluruh proses penting ini dipandu kepemimpinan yang baik. Pemerintah perlu
segera membuat peta jalan reformasi perpajakan dan keuangan yang menyeluruh,
terukur, dan terarah. Kepastian hukum, transparansi, administrasi yang
sederhana, aparatur negara yang kompeten dan berintegritas–tidak boleh lagi
menjadi barang mewah di negara ini. Maka, alih-alih berpuas diri, perppu ini
baru kunci pembuka sebuah era baru yang keberhasilannya perlu dibuktikan
dalam implementasi. Kita semua diundang untuk menjadi pemain di lapangan
terbuka, bukan sekadar penonton yang bersorak di tepian, apalagi penumpang
gelap yang mendompleng manfaat uang pajak yang diperuntukkan bagi kesejahteraan
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar