Pezina
yang Diampuni: Belas Kasih dalam Islam
Afi Nihaya Faradisa ; Siswi SMA Gambiran, Banyuwangi yang tulisan-tulisannya
di Facebook mengenai Identitas dan Keberagaman menuai banyak reaksi
|
DETIKNEWS, 29 Mei 2017
"Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di
hari yang panasnya begitu terik. Anjing itu mengelilingi sebuah sumur sambil
menjulurkan lidahnya karena kehausan. Wanita itu segera melepas sepatunya
(untuk digunakan menimba air). Ia pun diampuni karenanya." (HR. Muslim).
Banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan,
terutama ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden
berdarah yang mengatasnamakan agama ini.
Namun, jika kita menelisik sedikit saja lebih dalam, kita
akan menemukan bahwa salah satu doktrin sentral Islam sebenarnya memang
berputar pada prinsip belas kasih.
Kalimat basmalah, yang merupakan pembuka surat-surat
Al-Qur'an dan doa yang paling sering diucapkan umat Islam sedunia, mengandung
dua sifat utama Tuhan: "Maha Pengasih" dan "Maha
Penyayang". Kalimat ini menjadi bukti paling tegas bahwa kasih sayang
adalah jiwa dari seluruh ajaran Islam.
Kisah pezina yang diampuni karena belas kasihnya itu
mengandung banyak pesan. Pertama, anjing adalah hewan yang secara tradisi
dianggap najis dalam Islam. Belas kasih terhadap makhluk yang dianggap hina
sekali pun ternyata memiliki arti.
Kedua, zina juga adalah dosa yang secara tradisi diganjar
hukuman berat, mulai dari cambuk hingga rajam. Namun, belas kasih senilai
seteguk air dianggap mampu menebus 'dosa' tersebut.
Yang menarik, tidak ditemukan kisah serupa yang melibatkan
dosa lain seperti membunuh dan merampok, yang sudah pasti mengabaikan belas
kasih.
Kisah tadi bukanlah satu-satunya dalam Islam. Banyak kisah
lainnya yang memiliki narasi serupa, yang mengindikasikan bahwa belas kasih
dibayar dengan amat mahal dalam Islam.
Kitab Tsalasatul Ushul (Tiga Landasan Utama) karya
Muhammad Abdul Wahab (yang sering dikaitkan dengan Wahabisme, sekte terkeras
dalam Islam saat ini), misalnya, menceritakan satu kisah di mana seseorang
ditolak seluruh ibadahnya, namun diampuni karena menyelamatkan seekor lalat
yang tenggelam di sebuah gelas.
Kitab ini bahkan juga mengutip dorongan untuk berbelas
kasih kepada orang kafir sekali pun. "Kasihilah yang di bumi, maka yang
di langit akan mengasihimu", demikian bunyi lafadz sejumlah hadits yang
menjadi dasarnya.
Sayyidina Ali bin Abi-Thalib ra. juga pernah mengatakan:
"Mereka yang tidak bersaudara dalam iman bersaudara dalam
kemanusiaan."
Kitab Tadzkiratul Auliya (Kisah Para Wali) karya
Fariduddin Atthar menyitir kisah lain tentang satu-satunya orang yang
diterima ibadah hajinya oleh Allah justru karena membatalkan hajinya agar
uang biaya haji itu bisa digunakan untuk menolong tetangganya yang kelaparan.
Kisah semacam itu mungkin akan jarang didengar dan
cenderung tidak disukai di kalangan Islam legalistik yang memiliki pendekatan
sangat kaku tentang benar dan salah.
Saya pribadi mengelompokkan kisah-kisah ini sebagai
post-sharia Islam, atau Islam pasca-syariat. Islam yang tidak lagi berdebat
soal percabangan hukum hingga ke tataran seperti batas aurat dan jumlah
rakaat. Sejenis Islam level berikutnya yang telah melampaui aspek legal
formal menuju sesuatu yang lebih esensial. Dan, esensi itu bernama belas kasih.
Agaknya tidak mengherankan jika tema ini juga ditemukan di
semua agama besar dunia. Mulai dari Yesus yang berdiri membela pezina yang
nyaris dihakimi massa, hingga Guan Yin yang dipuja luas di Asia Timur sebagai
Dewi Belas Kasih yang mendengar penderitaan dunia.
Agama-agama di dunia ini mungkin berbeda pada tataran
syariat dan legal formal, namun melebur dalam esensi yang sama ketika naik ke
jenjang berikutnya. Yakni, cita-cita rahmatan
lil 'alamin (belas kasih bagi semesta alam).
Meski sama-sama berjubah dan berjenggot, akan tetapi
panutan kita dalam beragama adalah Muhammad SAW yang lembut, rendah hati, dan
penuh belas kasih. Bukan Abu Jahal atau Abu Lahab yang licik, sombong, dan
penuh amarah.
Salah satu beratnya menjadi muslim pernah dikatakan oleh
Rasul: "Muslim ialah orang yang menyelamatkan orang lain dari gangguan
lidah dan tangannya."
Masih suka memfitnah? Bergunjing? Menyakiti (bahkan
membunuh) orang lain dengan lidah dan tanganmu? Muslimkah engkau?
Dengan pistol kita bisa membunuh teroris, tapi dengan
pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar