Muhammadiyah
pun Melakukan Rukyat
Agus Mustofa ; Inisiator Astrofotografi
Indonesia;
Penulis buku ’’Mengintip Bulat
Sabit sebelum Maghrib’’
|
JAWA
POS, 26
Mei 2017
TIGA hari menjelang
Ramadan 1438 H saya memperoleh tembusan surat edaran yang dikeluarkan oleh
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Isinya adalah ajakan kerja sama kepada tim
astrofotografi untuk melakukan observasi astronomi menjelang Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah.
Sungguh ini sebuah langkah maju yang
menggembirakan. Sebab, selama ini, dalam menentukan awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah, Muhammadiyah selalu mendasarkan ketetapannya kepada hisab hakiki
dengan metode wujudul hilal. Tetapi, tahun ini agak berbeda. Selain
mengumumkan penetapan melalui metode hisab hakiki, Muhammadiyah melakukan
rukyat. Ya, rukyat dengan menggunakan peralatan astrofotografi yang saya
perkenalkan ke publik Indonesia sejak 2014.
Ini tentu sangat menarik. Sekaligus
menggembirakan umat Islam yang merindukan penyatuan metode hisab-rukyat dalam
menetapkan awal bulan Hijriah di Indonesia. Sebab, ini bukan sekadar diskusi
pinggiran atau obrolan informal. Melainkan surat resmi yang ditandatangani
oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof Dr
Syamsul Anwar MA.
Isi surat edaran itu penugasan dan ajakan
kerja sama kepada sejumlah tim pengamat hilal dengan menggunakan teknik
astronomi modern, memanfaatkan peralatan astrofotografi. Ada delapan lokasi
yang akan dijadikan tempat pengamatan, yaitu Jogjakarta, Jakarta, Surakarta,
Surabaya, Malang, Gresik, Purwokerto, dan Medan.
Tentu saya amat gembira menyambut berita
ini. Sebab, ini sebuah langkah maju untuk menyelesaikan dualisme hisab-rukyat
yang selama ini membebani umat Islam Indonesia. Lima di antara delapan lokasi
itu bekerja sama dengan tim astrofotografi, lengkap dengan peralatan teleskop
ala Thierry Legault.
Thierry Legault adalah pemegang rekor dunia
yang berhasil memotret bulan sabit pada siang hari, saat terjadinya ijtimak
alias konjungsi pada 2013. Praktisi astrofotografi Prancis itu dua kali saya
undang ke Indonesia untuk menularkan ilmunya kepada sejumlah praktisi rukyat
Indonesia dari berbagai ormas keagamaan dan lembaga astronomi yang berminat
mendalami teknik modern tersebut untuk kepentingan rukyatulhilal.
Ada delapan peralatan yang saya beli
darinya dan kemudian saya hibahkan kepada sejumlah tim astrofotografi didikan
Thierry. Selama tiga tahun terakhir delapan tim tersebut terus mengasah
kemampuan astrofotografi dengan harapan suatu saat skill mereka dibutuhkan
oleh pemerintah atau lembaga keagamaan dalam penetapan awal Ramadan, Syawal,
dan Zulhijah yang sering terjadi perbedaan itu.
Keputusan Muhammadiyah melakukan rukyat
tahun ini, menurut saya, adalah keputusan besar dan strategis. Kini tidak ada
lagi barrier yang membatasi antara hisab dan rukyat, yang dahulu terasa
sangat rigid. Walaupun, saya melihat masih ada beberapa masalah yang
berkaitan dengan perbedaan metode. Tetapi, itu cuma masalah ’’teknis’’ yang
jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan masalah ’’psikologis’’ yang selama
ini menghadang. Dan tak jarang lantas merambah ranah politis yang semakin
rumit.
Ungkapan dalam surat edaran tersebut, yang
melatarbelakangi keputusan hisab-rukyat itu, pun terasa menyejukkan dan
mendasar. Karena itu, gemanya akan jauh ke masa depan sebagai sebuah
kebijakan yang bersifat jangka panjang dari Muhammadiyah. Di antaranya, saya
kutipkan berikut ini.
’’Dalam astronomi modern, perhitungan dan
pengamatan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Ini disebabkan formulasi
ilmu hisab yang ada sekarang didapatkan dari hasil pengamatan dalam waktu
yang panjang. Selain itu, Muhammadiyah melalui perguruan tinggi yang telah
memiliki pusat kajian astronomi perlu menggiatkan kegiatan observasi hilal
guna melengkapi dan mendukung hisab yang selama ini dipedomani.’’
Alhamdulillah, satu langkah besar untuk
menyatukan hisab dan rukyat telah dilakukan. Berikutnya adalah upaya
terus-menerus untuk menyamakan metode penetapan awal bulan Hijriyah berdasar
kepada perpaduan hisab dan rukyat dengan berbasis pada pengamatan-pengamatan
astrofotografi. Bukan hanya menunggu datangnya hilal saat matahari tenggelam,
melainkan juga melakukan pemotretan-pemotretan hilal di siang hari.
Sebab, salah satu keistimewaan peralatan
astrofotografi ini adalah kemampuannya memotret bulan sabit tipis pada siang
hari. Justru karena hal itu, Thierry Legault dinobatkan sebagai pemegang
rekor dunia. Semoga Allah memberkati langkah penyatuan hisab-rukyat ini. Dan
melimpahkan rahmat yang besar untuk umat Islam Indonesia maupun di seluruh
dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar